Bus: Pengisahan dan Tangisan

Begitu gagal mendapatkan kampus impian selepas lulus SMA dengan ikut SNMPTN dan SBMPTN, akhirnya sehabis lebaran tahun 2013, aku memutuskan ikut saudara ke Jakarta. Itu adalah perjalanan pertama kali menuju Jakarta. Hanya bermodal uang saku dari orang tua, ijazah SMA, dan kemampuan menulis surat lamaran, aku tak memiliki bayangan apa pun ketika ke Jakarta kecuali lekas mendapatkan pekerjaan layak, bergaji besar, dan kerasan di sana.

Beberapa hari di sana aku hanya mendekam di indekos dengan bayangan nasib buruk. Aku merasa bodoh dan tak lekas beradaptasi di sana. Pendidikan mengenai cara kerja dan hidup di Jakarta yang tak pernah kudapat di kampung halaman menjadi biangnya. Banyak saudaraku berada di Jakarta, namun dengan lulusan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama membuat nasib menerima pekerjaan “keras”.

Secara radikal, setelah pikiran panjang—ketimbang tak lekas mendapatkan kerja, akhirnya aku ikut saudaraku yang bekerja di gudang kain. Hari-hari kemudian banyak bersentuhan dengan gulungan kain yang beratnya di kisaran 25 – 35 kg. Betapa beratnya bagi diriku yang tak biasa memikul beban dengan angka itu ketika di rumah. Kadang aku tak kuat. Memanggul gulungan kain perlu berhenti dalam beberapa kesempatan.

Aku masih terus berpikir untuk bisa melanjutkan kuliah, meski dalam tradisi keluarga belum pernah terjadi. Boro-boro kuliah, di mata keluarga bisa menyelesaikan sekolah menengah pertama saja sudah syukur, kemudian mencari pekerjaan. Pada 2013, aku memimpikan kuliah di Institut Pertanian Bogor dengan jurusan Teknologi Industri Pertanian. Aku dibesarkan oleh keluarga yang berprofesi menjadi petani. Institut Pertanian Bogor menjadi imajinasi dengan cita-cita menjadi Menteri Pertanian.

Di Jakarta, aku hanya bisa bertahan selama sepuluh hari. Aku menyerah. Mudah menyalahkan situasi. Tak ada kenangan istimewa selama di Jakarta, selain kekaguman terhadap gedung-gedung tinggi dan nama-nama daerah yang sebelumnya hanya mengenal di siaran televisi. Di luar itu, pengalaman yang miris aku dapatkan, salah satunya adalah melihat secara langsung seorang pengendara motor tertabrak kereta karena menerobos palang saat gugup di tengah kemacetan.

Pada sebuah sore, aku naik bus dari daerah Pluit, Jakarta Utara dengan tujuan akhir Terminal Tingkir, Kota Salatiga. Pulang ke rumah adalah pilihan terbaik. Bus membawa pada permenungan panjang dalam fase kehidupan. Entah mengapa, kemudian waktu aku merasa mudah menangis saat menaiki bus. Di bus, aku mudah menemukan permenungan terhadap banyak hal. Wah, nasib buruk di tahun 2013. Cita-cita kuliah tak kesampaian. Mau bekerja juga belum siap mental.


Bus mengingatkanku pada seorang antropolog dari Belanda, Roanne Van Voorst. Ia pernah ke Jakarta dengan melakuan riset yang tak banyak orang (mungkin) memikirkannya. Ia melakukan riset di sebuah daerah yang ia sebut “Pinggiran Bantaran Kali”. Pengalamannya terekam di buku Tempat Terbaik Dunia: Pengalaman Seorang Antropolog Tinggal di Kawasan Kumuh Jakarta. Buku diterjemahkan dari bahasa Belanda yang terbit di 2016 oleh Martha Dwi Susilowati dan diterbitkan pertama kali oleh Marjin Kiri pada 2018.

Pada 2018 aku sudah tahu buku itu, namun mengurungkan niat sebelum pada Juni 2023 akhirnya membeli dengan sampul baru. Aku berterima kasih dengan seorang kawan yang pernah bercerita tentang buku ini. Kalau boleh bercerita, tiga hari dapat mengkhatamkan, aku bisa menemui tangis. Duh, dasar cengeng! Namun, memang Roanne meracik tulisan dengan gamblang, penuh cerita, dan menggerakkan kita untuk terlibat dalam pengisahannya.

Wah, aku ingat, dalam prolog yang dituliskan Roanne dibuka dengan percakapan yang ditemuinya dalam sebuah bus. Ia bertemu dengan seorang pengamen dengan nama yang disamarkan berupa Tikus. Tulis Roanne: “Mau ikut?” TERIAK SEORANG PEMUDA KE ARAH saya, suaranya menerabas bisinnya deru bus kota yang saya tumpangi.

Bus membawa Roanne pada percakapan panjang, pertemuan demi pertemuan, penelitian, dan penulisan akan kisah hidup yang dialami di sebuah wilayah kumuh yang sering kebanjiran dan daerah kemiskinan. Di Jakarta, kisah itu hadir dan perlu diceritakan. Kita perlu menunda dan tak perlu ke Jakarta (mungkin) kalau hanya ingin mendapat dapat cerita tentang kemiskinan dan kesengsaraan.

Dalam teks sastra, kita juga mudah menemui Jakarta. Aku kagum pada sosok Ahmad Tohari. Beberapa buku yang pernah ditulisnya pernah aku khatamkan. Dua judul kumpulan cerita pendeknya: Mata yang Enak Dipandang dan Senyum Karyamin membuatku menangis. Aku membeli kumpulan cerita berjudul Senyum Karyamin pada 2016. Buku diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama telah masuk cetakan kesembilan pada 2013 dari cetakan pertamanya di tahun 1989.


Kita menemukan kisah tentang Jakarta lewat cerita pendek berjudul “Ah, Jakarta”. Cerita itu merekam kepiluan hidup di Jakarta. Kematian seseorang di Jakarta belum tentu dipikirkan oleh orang lainnya. Cerita itu mengisahkan seorang yang akhirnya menguburkan kematian temannya yang merupakan seorang gali dengan penggambaran kesendirian dan hanya menjadi tontonan orang-orang. Cerita membawa pada permenungan besar: di kota besar, kita mudah terkurung pada kesepian dalam penderitaan.

Oh, di cerita lain berjudul “Pengemis dan Shalawat Badar”, kita juga menemui pengisahan Jakarta. Cerita terbuka dengan kalimat: “Bus yang aku tumpangi masuk terminal Cirebon ketika matahari hampir mencapai pucuk langit.” Bus itu bergerak menuju ke Jakarta. Ahmad Tohari dengan jeli menyajikan cerita dengan kisah demi kisah di dalam perjalanan bus. Singgah di terminal, keberadaan tukang asongan, hawa panas dengan keringat yang kecut, ketergesaan untuk segera sampai tujuan, hingga munculnya pengamen.

Di sebuah waktu, seorang pengamen membawakan suaranya kepada penumpang dengan “Shalawat Badar”. Pengamen itu di tengah perjalanan dimarahi oleh kondektur karena tak lekas turun. Namun, yang terjadi bukanlah dia tak ingin turun, melainkan sopir yang mengemudikan bus itu dengan kecepatan tinggi dan seolah tak memberi waktu sejenak dengan menurunkan kecepatan dan memberikannya kesempatan.

Kisah demi kisah terus terjadi. Hingga kemudian bus itu kecelakaan dan mengakibatkan banyak penumpang tergeletak mendapati kematian. Tokoh “Aku” dalam cerita menjadi saksi dalam cerita itu. Ia menjadi sosok yang selamat dari kecelakaan itu. Ia menyaksikan betul pengemis tadi dengan tenang berjalan kembali ke arah Cirebon. Di cerita kita mendapatkan keterangan: Telingaku dengan gamblang mendengar suara lelaki yang terus berjalan dengan tenang ke arah timur itu: “shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah…”

Roanne Van Voorst dan Ahmad Tohari, meski aku mendatangi tulisan-tulisanmu karena kepamrihan terhadap keberadaan bus, aku berterima kasih telah disajikan tulisan yang menggungah diri untuk menjalani kehidupan. Di bus, saat mengunjungi nama-nama kota, aku terkadang mudah menemui tangis. Kecengengan itu terkadang tak terlepas dari ratapan nasib, kisah, dan pengalaman yang ada di Jakarta. Sejak sekolah dasar, di depan layar televisi bapak memengaruhi kebudayaan sepak bola dalam diriku. Ia menjadi pendukung Persija sejak dulu dan terwariskan pada diriku. Aku kerap ingat lirik sebuah lagu yang biasa didendangkan oleh The Jakmania: “Siapa yang suruh datang ke Jakarta…”[]

 

*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak