“Waktu itu aku masih terlalu lugu untuk mempercayai
kebejatan seorang laki-laki. Bagaimana tidak, dia adalah seorang aktivis
mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri yang terkenal di kota ini.
Gayanya simpatik dan menawan; sebuah perangkat yang cukup ampuh untuk memikat
hati seorang gadis yang baru setahun memakai seragam SMA. Aku pun jatuh cinta
kepadanya, dan cintaku tak bertepuk sebelah tangan” (Pengakuan Sisi, 2002).
Kutipan itu adalah pengakuan seorang gadis bernama
Sisi. Kota yang ia maksud tentu adalah Yogyakarta. Penjelasan kita dapatkan
dalam buku berjudul Mampir Mas!
Spiritualitas dan Dunia Bathin Perempuan Pelacur (Lapera Pustaka Utama,
2002). Buku itu berasal dari tugas “Menulis Etnografi” ketika Wahyudin menempuh
studi di Program Pascasarjana Antropologi Universitas Gajah Mada. Wahyudin
melakukan riset di sebuah lokalisasi yang berada di Pasar Kembang.
Sisi adalah satu dari sekian nama yang ia temui dalam
proses penelitian tersebut. Buku dengan ketebalan 130 halaman itu memberi
sedikit rekaman akan realitas lokalisasi yang ada di Yogyakarta. Di pengantar,
Wahyudin menulis: “Dalam buku ini akan banyak dijumpai pengakuan-pengakuan,
suara hati, dan ungkapan-ungkapan perasaan perempuan-perempuan pelacur Pasar
Kembang, yang dengan sengaja saya rekonstruksi dalam bentuk prosa, puisi, dan
dialog singkat. Semua inilah yang saya maksudkan dengan dunia batin. Dengan ini
saya berharap ada semacam perspektif baru untuk memandang, menilai dan
menyikapi pekerjaan mereka.”
Di keterangan yang ditulis oleh Wahyudin mengenai
pengakuan Sisi—menjadi pelacur tersebabkan keharusan menyambung nyawa dan
memenuhi kebutuhan hidup anaknya yang baru berumur tiga tahun. Sisi telah
ditinggal oleh lelaki yang menghamilinya. Laki-laki itu tak bertanggung jawab.
Kenangnya: “Anak itu lahir dari benih seorang laki-laki brengsek yang telah
melayap entah ke mana.”
Terhadap gejolak yang ia terima dalam hidupnya, di
sana kita menemukan keterhubungan hidup terhadap lanskap dunia otomotif. Tiada
lain adalah bahwa selepas perginya lelaki yang pernah menyetubuhinya itu, ada
sosok lelaki yang mau menjadi teman hidup. Lelaki itu tak disebutkan namanya,
hanya disebutkan profesinya sebagai seorang teknisi di sebuah dealer kendaraan bermotor.
Penjelasan lengkap berupa: “Kebetulan atau tidak, ada
seorang laki-laki yang mau menjadi gandhengan-ku.
Sudah satu tahun kami hidup bersama. Kenyataan ini sungguh membahagiakanku,
karena selain meringankan beban pekerjaanku dengan penghasilannya sebagai
seorang teknisi di sebuah dealer
kendaraan bermotor, laki-laki itu dengan rendah hati mau mengakuiku sebagai
isterinya dan anakku sebagai anaknya.”
Motor dan kehidupan menyuguhkan kisah yang barangkali
orang-orang jarang merenungi dengan landasan keberangkatan diri dengan
merendahkan sesuatu akan bernama dunia lacur. Kita kemudian ingat Muhidin M.
Dahlan. Pada 2003, ia menerbitkan novel Tuhan,
Izinkan Aku Menjadi Pelacur!. Novel
berkisah tokoh bernama Nidah Kirani. Pada 2016 aku bertemu Muhidin pertama kali
di kampus Universitas Sebelas Maret. Muhidin hadir di Student Center untuk
bedah buku terbarunya, Inilah Esai:
Tangkas Menulis Bersama Para Pesohor.
Di tempat acara bedah buku, aku membeli buku itu seharga
Rp50.000,-. Sebagai mahasiswa yang mulai gandrung dalam membaca, tentu bertemu
dengan penulisnya menjadi peristiwa penting. Namun, aku tak sempat berfoto
bersama Muhidin. Aku meminta tanda tangan—ia membubuhkan dan memberi tulisan “Salam
dari Selatan” dan berlanjut membuka obrolan kecil mengenai novel Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! yang telah
aku baca di kurun waktu tahun 2015. Aku tak begitu paham tentang sastra. Aku
sengaja bertanya apakah novel itu benar diangkat dari kisah nyata.
Muhidin mengiyakan dan menceritakan sosok perempuan
yang menemui jalan dalam hidupnya—lurus dan terjal. Ia adalah seorang aktivis—sebut
Muhidin: “organ mahasiswa yang dipayungi Nahdliyin” di Yogyakarta yang kemudian
terperangkap dalam gerakan Islam yang memiliki misi menjalankan syariat Islam
di Indonesia. Wah, di bagian dalam buku, kita mudah menemukan pengisahan yang
dilatari otomotif.
Walaupun, di buku Inilah
Esai, Muhidin memberi fakta bahwa penulis yang menekuni dunia transportasi
sangatlah sedikit, namun ia memberi porsi dalam pentingnya keterlibatan jenis
transportasi dalam babak demi babak di novelnya. Di Inilah Esai, Muhidin menulis: “Tak banyak esais spesial di ranah
transportasi ini.” Ia kemudian menyebut beberapa nama: Darmaningtyas, Chappy
Hakim, dan Taufiq Hidayat.
Di bagian bab pertama dalam novel, kita langsung
disajikan pengisahan mengenai bus. Keterangan itu berupa: “MASJID Tarbiyah
Yogyakarta di pagi hari. Aku baru saja turun dari bus kota ketika di hamparan
halamannya yang luas dan berdebu kulihat perempuan-perempuan berjubah besar
berjalan berombongan menuju pelataran masjid.” Bus itu tentu menjadi pembuka
dalam kisah-kisah pilu dan kelam.
Pada bagian lain, kita mendapatkan babak cerita yang
dilatari keberadaan mobil. Di novel, kita dapatkan keterangan: “Seorang ikhwan
mengeluarkan secarik kain hitam yang langsung membekap pandanganku. Gelap
seluruhnya. Dan kurasai aku dipapah menuju sebuah mobil. Setelah itu aku tak
tahu apa-apa. Hanya guncangan dan suara mobil kudengar menderum membelah
jalanan aspal.” Nidah telah yakin untuk dibaiat. Mobil menjadi saksi jalan raya
dan jalan dakwah.
Wah, kukira masih banyak pengisahan mengenai otomotif
dalam novel itu. Mungkin, mafhum, kalau tak sedikit dari kita sangat menunggu
dirilisnya film garapan Hanung Bramantyo dengan mengangkat cerita dalam novel
itu. Ingat mobil, kita diingatkan kumpulan cerita garapan Haruki Murakami diterjemahkan
ke bahasa Indonesia oleh Ribeke Ota, Lelaki-lelaki
Tanpa Perempuan. Kumpulan cerita itu diterbitkan pertama kali oleh
Kepustakaan Populer Gramedia pada April 2022.
Di cerita berjudul ”Drive My Car” kita menemukan tokoh
Kafuku yang mengisahkan mobil dengan membagi cara menyetir dalam dua kategori.
Yakni; agak terlalu berani dan agak terlalu hati-hati. Setelah Kafuku ditinggal
istrinya, ia berniat mencari sopir. Ia bertemu Oba pengelola bengkel dan
menyambungkannya pada Misaki, seorang perempuan yang kemudian diterimanya
menjadi sopir.
Dalam perjalanan, Kafuku mengingat kenangan bersama
istri. Di cerita terdapat keterangan: “Ketika ia membeli mobil itu dalam
kondisi baru, istrinya masih hidup. Istrinyalah yang memilih badan mobil warna
kuning. Selama tahun-tahun awal mereka berdua sering bepergian dengan mobil
itu. Karena istrinya tidak bisa menyetir, Kafukulah yang selalu memegang
kemudi. Beberapa kali mereka juga pernah menempuh perjalanan jauh dengan mobil
itu.” Mobil terkenang. Otomotif menggerakkan perempuan dan laki-laki menemui kisah.
Kisah yang beragam, berliku, dan terkadang penuh kepiluan.[]
*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).