Polisi dan Lalu Lintas

Dalam kurun waktu satu tahun terakhir, ketika mengingat polisi, kita akan ingat gas air mata. Oh, karena ini sudah berada di pinggir jurang, saya hendak mengingat masa sekolah dasar saja. Rupanya, sejak sekolah dasar hingga menengah atas, saya tak pernah mengisikan “Menjadi Polisi” dalam kolom cita-cita. Selain karena tidak punya uang—itu pasti, saya mengalami kendala fisik. Pikir saya, tinggi badan sudah tidak memenuhi. Maka, ketimbang menyesal di kemudian hari, alangkah lebih baiknya saya menghapuskan “Polisi” dalam kamus cita-cita saya.

Tetapi, ada suatu hal yang mengherankan. Di usia beranjak ke dewasa, saya sadar bahwa menjadi polisi masih bisa. Khususnya adalah “Polisi Moral”. Entah, istilah itu kapan mulai dicetuskan, saya kira Anda semua telah memahami. Dalam babak kemenduaan dunia digital, kemerosotan konfirmasi, hingga monokultur keberagaman, kita mudah merasa jadi orang yang paling benar di dunia.

Orang lain adalah salah dan dosa. Saat orang lain melakukan kesalahan, kita mudah menyalahkan, menghakimi, dan menyerang. Abad digital menjadikan kita menjadi beringas. Keberingasan itu melebihi apa yang terjadi di jalan raya. Aku ingat dengan keberadaan “Polisi” yang sesungguhnya dan keterhubungannya pada jalan raya. Konon, ada masanya banyak pengendara mudah takut ketika dari kejauhan melihat polisi berada di pinggir jalan raya.

Ketakutan itu pertaruhan dari para pengemudi berhubungan dengan kelengkapan alat mengendara dan surat-surat yang berhubungan dengan kendaraan. Bahasa umum yang kita sepakati adalah “tilang”, meski dalam bahasa daerah kata itu terserap sedemikan rupa. Di tempatku mengenalnya dengan “cegatan”. Ketika di Solo, saya mendengar untuk pertama kalinya kata yang menggambarkan itu berupa “Mokmen”.

Benarlah demikian, jalan mempertemukan polisi dan lalu lintas. Berlalu lintas harus tertib. Kata “Tertib” mudah menjadi kata kerja bagi polisi berupa “Penertiban”. Di Majalah Tempo edisi 24 Mei 1986, ada sebuah iklan layanan masyarakat yang berketerangan: Iklan Layanan Masyarakat ini dipersembahkan oleh Majalah Tempo bekerjasama dengan Metro Advertisting. Tak ada keterangan polisi.


Kita mudah menduga, maksud iklan itu baik sebagai pengingat kepada masyarakat umum. Apalagi di iklan tercantum kalimat berupa: “Patuhilah Rambu Lalu Lintas Tanpa Petugas”. Meski tak diakhiri tanda seru, iklan itu tentu bersifat perintah. Perintah menjalani sesuatu hal tanpa mendasarkan ada petugas yang mengawasi.

Sama halnya mungkin adalah saat Anda mengerjakan ujian. Harusnya kejujuran itu telah menjadi kebiasaan, tanpa keberadaan pengawas. Mungkin analogi itu yang menjadikan kemunculan pertama kali “Kantin Kejujuran”. Dengan barang yang dijual tanpa ada penjualnya, pembeli dipersilakan memilih barang dan diharapkan membayar sesuai harga yang tertera. Walaupun, kita juga berhak bertanya: seberapa murah, sih, kejujuran di negeri ini?

Kejujuran di negeri ini nampaknya masih mahal harganya. Sebab, yang pasti murah hanya satu: buku bajakan yang dijual di lokapasar itu. Dalam suasana pendidikan saja masih sering terjadi. Saya teringat ketika masa-masa sekolah. Ketika selesai memberi penjelasan materi, guru biasanya berucap, “ada pertanyaan?”. Seketika murid-murid menunduk pasrah dan malu. Berselang dari itu guru melanjutkan bertanya, “sudah paham?”. Sontak, satu kelas bergemuruh menjawab “paham”. Padahal yang sebenarnya terjadi ada banyak ketidakpahaman yang bertumpuk.

Biar pembahasan tidak merembet pada guru, karena dalam wisata otomotif ini akan ada bahasan mengenai keberadaannya, marilah kita kembali pada polisi. Dulu, polisi pamrih akan pembinaan watak dari para pengendara di jalan raya. Selain dengan keberadaan personel yang memikul tugasnya, yang menarik adalah polisi bergerak pada buku-buku. Polisi berpikiran kata-kata untuk terbaca di hadapan kita semua.


Terbaca buku berjudul Jadilah Pengemudi yang Baik garapan H. Hadiman. Buku itu diterbitkan oleh Dislitbang Polri pada tahun 1988. Penulis tiada lain merupakan anggota polisi yang dalam buku berketerangan: Brigade Jendral Polisi. Di prakata, kita menemukan uraian yang ditulis oleh penulis. Keterangan demi keterangan mengesahkan misi kehadiran buku itu.

Kita mengutip: “Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dislitbang Polri selama dua tahun terakhir, maka kekurang taatan terhadap ketentuan/peraturan berlalulintas sebagian terbesar disebabkan oleh ketidak tahuannya dan kurang dipahaminya ketentuan/peraturan berlalulintas. Karenanya, perlu dilakukan usaha penyuluhan yang seluas-luasnya dan berkesinambungan.”

Keterangan itu kemudian membawa kita menuju isi buku. Pembabakan buku memuat hal-hal teknis bagaimana seorang pengendara dalam mengemudikan di jalan raya. Pembaca diajari langkah yang mesti dilakukan, baik sebelum berkendara maupun saat berkendara. Polisi pamrih akan keselamatan, dengan dilengkapi keterangan-keterangan seperti upaya pertolongan pertama saat terjadi kecelakaan. Pembaca juga diberi keterangan yang berisi peringatan keras.

Misalkan berhubungan dengan helm. Di buku terdapat keterangan: “Bahwa penyebab kematian dari kecelakaan sepeda-motor terutama adalah akibat cedera/tarauma di kepala! Karena itu, bila mengendarai sepeda-motor, lindungilah kepala anda menggunakan HELM!” Kalimat penting dan perlu untuk terus kita renungi dan lakukan sampai saat ini.


Pada kesempatan lain, kita bertemu sebuah buku berjudul Tertib Lalu-Lintas (Balai Pustaka, 1989). Buku itu garapan dua polisi, Prof. Dr. Bahar Harahap dan Dra. Ny. Amirul. Yang menarik, buku itu ditujukan kepada murid-murid sekolah dasar. Di pengantar dari pihak penerbit, kita mendapatkan keterangan: “Buku, Tertib Lalu-Lintas, yang kami tertibkan ini ditujukan untuk murid-murid Sekolah Dasar dengan maksud agar sedini mungkin mereka telah mengenal serta mengetahui peraturan dan tanda-tanda lalu lintas tadi.”

Penulis pamrih menyajikan maksud dengan kemasan cerita berhubungan dengan lalu lintas kepada anak-anak. Penyusun memberi penegasan: “Lalu-lintas makin ramai, murid-murid sekolah bertambah. Kecelakaan di jalan raya tidak hanya menimbulkan kerusakan kendaraan, tetapi juga korban manusia.” Penulis berpikir jauh, tak sekadar jalan raya, namun juga terkat pendidikan dan nasib anak-anak di jalan.

Kita patut berterima kasih pada Ibu dan Bapak Polisi. Duh, saya jadi teringat pengalaman mendapati tilang dari Polisi di Kabupaten Karanganyar pada tahun 2017. Setelah lelah berkegiatan di Kecamatan Tawangmangu, perjalanan menuju ke Solo tertilang di daerah Kota Karanganyar. Saat itu saya tidak membawa STNK. Perlu Ibu/Bapak Polisi ketahui, STNK motor saya ketika itu sedang digunakan untuk mengurus bayar pajak kendaraan ke Jakarta.

Walhasil, dengan godaan untuk membayar, saya terlibat perdebatan kecil yang akhirnya saya tidak membayar dan memilih ikut persidangan dengan jaminan Surat Izin Mengemudi (SIM). Meski, pada pengadilan itu saya tak menghadiri sidang, yang membuat SIM saya yang harusnya pada 2018 harus diperpanjang, sampai saat ini tak terambil. Maafkan saya Ibu/Bapak Polisi, saya kurang tertib.

Omong-omong, kalau boleh bertanya, ada dua pertanyaan pada Ibu/Bapak Polisi. Pertama, berapa ya biaya sekarang untuk membuat SIM C? Kedua, mengapa, ya sering terjadi vandalisme yang berada di banyak sudut bangunan kota itu berketerangan: “Membaca jadi pintar, malas membaca jadi Polisi"? Lho, apa gak membahayakan masa depan literasi dalam korps kepolisian, Ibu/Bapak Polisi? Bukankah sejarah telah membuktikan? Salam presisi.[]

 

*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak