Di
rumah, kita punya kepingan kenangan dan ingatan peristiwa-peristiwa lampau.
Kelak, ingatan itu secara tidak sadar menjadi obrolan dengan orang-orang baru.
Rumah mengikat tiap diri seseorang, setidaknya sepanjang dia masih berumah.
Tempaan pendidikan dari pola asuh orang tua, teman bermain, hingga dirinya
melewatkan tumbuh dan kembang menuju seorang dewasa.
Satu
hal tak boleh dikesampingkan terhadap semua itu adalah keberadaan teknologi
yang harus diakui menunjang orang di rumah. Pernyataan tersebut tentu saja
memberikan penegasan bahwa sejatinya rumah berperan penting dalam memberi babak
pengenalan terkait ilmu pengetahuan dan teknologi. Pantaslah, seorang
Archimedes berucap “Eureka” yang berarti “Aku Telah Menemukannya”
Kisah
itu merupakan satu dari kesekian penemuan luar biasa yang mengisi lembaran demi
lembaran sejarah di kehidupan. Namun, sejauh mana kita kerap memberi perhatian
pada hal itu? Kita mungkin terkesan urusan ilmu pengetahuan dan teknologi
tatkala menapaki pendidikan di sekolah.
Itu benar, namun terdapat dimensi lain yang harusnya membentuk kesadaran
kita betapa ilmu pengetahuan dan teknologi telah tersampaikan pada diri sejak
kecil.
Mari
kita menengok ke dapur. Di sana ada sederet nama peralatan untuk memasak. Ada
sendok, piring, wajan, serok, panci, pisau, centong, talenan, saringan, garpu,
spatula, ceret, teko, hingga mungkin kompor. Apa kita tak pernah berpikir
sederet nama benda itu bagian dari teknologi yang terlahirkan ilmu pengetahuan?
Sebaran buku dan majalah barangkali akan memperkuat dugaan kita memberikan
jawaban: iya!
Keberadaan
peralatan rumah tangga menjadi basis pengetahuan mengingatkan sebuah buku Pengetahuan Alat-Alat Rumah Tangga garapan F. Gouw Tjoe Nio dan R. S. Wirajat
diterbitkan oleh Penerbit Tarate Bandung pertama kali pada 1957. Buku memberi
informasi dan pengetahuan terkait sederet nama peralatan rumah tangga. Sejak
awal, buku sudah terlihat menyasar kaum ibu.
Penjelasan terdapat di dalam bagian pengantar: “Gunanja ialah: Untuk mengenal dan membanding-bandingkan alat2 rumah tangga jang baik daripada jang buruk, mengtahui jang dibutuhkan sesuai dengan keadaan dalam rumah tangga, supaja djika berbelandja, dengan fikiran dan tak akan mudah tertipu. Njonja rumah dengan tjara ini akan menghemat uang karena hanja membeli barang2 jang tahan udji dan tentu dapat dipergunakan lebih lama.”
Sementara
itu, kita kemudian sengaja menengok sebuah buku berjudul Buku untuk Ibu, seri Pedoman Rumah Tangga jilid 4 terbitan Dinas
Penerbitan Balai Pustaka cetakan tiga pada 1959. Kita tertuju pada bagian
“Penerangan dalam Rumah”. Para ibu diajak memikirkan perihal cahaya, jenis
lampu beserta kapnya, hingga matahari. Ilustrasi terlampirkan seorang ibu
memposisikan diri dengan sudut yang pas.
“Disini
dapat anda memperlihatkan bakat seni anda sebagai pengurus rumah tangga.
Warna-warna
merah, hidjau dan biru sama sekali tak baik untuk kap lampu.Merah dan merah
djambu akan gelap rupanja kalau mendapat sinar lampu, sedangkan hidjau dan biru
akan memberikan tjahaja putjat.
Pada
waktu ini banjak pula dipakai kap lampu dari plastik,” begitu salah satu bagian
penjelasannya.
Di
bagian lain dalam buku itu memuat dua tema penting, yakni anak dan makan. Pada
halaman demi halaman itu, alat tersebutkan di antaranya: timbangan, alat bakar
sate yang berasal dari seng dan besi, botol, hingga gelas. Penjelasan mengenai
penyimpan makanan baru sebatas pada kaleng stoples, kaleng, besek, kentong
kain, hingga rak papan. Kita belum menemukan istilah kulkas maupun mesin
pendingin lain untuk menyimpan bahan makanan.
Kita akan mengerti bagaimana rumah memikul
tugas pendidikan terkait dengan pangan. Keluarga mesti mengerti kandungan gizi
pada hidangan yang disajikan. Pengetahuan itu tentu tak bisa hanya lisan ke
lisan. Kita akan menyadari betapa pentingnya episode buku dan majalah yang
memuat informasi maupun pengetahuan berhubungan dengannya.
Pada babak komersialisasi produk maupun alat berkaitan dengan rumah tangga, kita kemudian menyaksikan dengan penuh perkembangan teknologi merambat pada ajakan ibu untuk memedulikan alat-alat rumah tangga. Bahasa iklan tentu saja merayu maupun membujuk sepenuhnya bahwa seiring majunya teknologi, peralatan rumah tangga perlu diperbarui. Ibu perlu berunding dengan pihak lain dalam keluarga. Gejolak kadang kala muncul atas debat harga dan prioritas.
Kita
malah menemukan salah satu iklan di Majalah Mingguan
Pagi edisi 25 September 1955. Di sana iklan menawarkan beberapa jenis
kebutuhan rumah tangga. Iklan dengan judul “KERADJINAN ALMUNIUM” dari Toko Borobudur,
Jogjakarta itu berketerangan: “Terukir baik sekali, sangat memuaskan untuk
dipakai sehari2 atau penjuguh tamu. Warnanja putih bersih, tidak bisa luntur
selamanja”.
Ajakan dan godaan kedapa kaum ibu untuk memiliki. Ibu disasar dengan keterampilan dan pengetahuan pada banyak hal, tak terkecuali berhubungan dengan alat rumah tangga. Kelak, mereka pulalah yang secara tidak sengaja menjadi pembantu para pengiklan itu memperkenalkan perputaran produk teknologi di pasaran dalam obrolan maupun pertemuan di banyak ruang. Rumah tak sederhana. Menyimpan banyak hal.[]
*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan.