Ketiklah “Slamet Soeseno” dalam mesin pencari di gawai Anda! Apa yang yang disajikan oleh mesin pencari mengenai sosok tersebut? Paling pasti, kita akan dapat menemukan beberapa keterangan mengenai buku-buku yang pernah dituliskan olehnya. Namun, kita agaknya hanya sedikit mendapatkan informasi mengenai biografinya. Kenyataan itu mungkin memberi makna yang gamblang bahwa sosok Slamet Soeseno akan mudah dilupakan begitu saja.
Namun, kiranya menarik jika kemudian kita mencari tahu akan sosok tersebut. Saya memiliki dugaan, terlepas minimnya informasi di internet saat ini adalah dampak perlakuan dalam buku-bukunya. Dari beberapa buku garapannya yang saya koleksi, jarang di bagian halaman belakang maupun sampul belakang tercantum informasi tentang penulis. Dari buku yang saya koleksi, saya hanya menemukan dalam buku berjudul Kemah Mereka di Tepi Danau. Buku itu diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun 1982. Pada bagian sampul belakang, kita dapat menemukan informasi singkat mengenai Slamet Soeseno.
Ia lahir di Madiun pada 16 Juni 1927. Menempuh pendidikan di Akademi Pertanian Bogor dan menyelesaikannya pada tahun 1956. Riwayat pengalaman kerja yang tertulis di sana, masing-masing adalah (1) Hidrobilog di Lembaga Penelitian Perikanan Darat di Bogor pada 1956-1959, (2) Guru di Sekolah Perikanan Darat Menengah Atas Bogor pada 1959-1965, (3) Asisten Ahli/Dosen Tetap di Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor pada 1965-1972, (4) Kepala Dinas Penyuluhan, Direktorat Penyuluhan, Direktorat Jenderal Perikanan di Jakarta pada 1972-1975, dan (5) Kepala Bagian tata Usaha, Direktorat Bina Produksi, Direktorat Jenderal Perikanan di Jakarta (1979-sekarang), dalam konteks tahun terbit buku.
Jika Anda lekas meminta saya untuk menyimpulkan siapa sosok Slamet Soeseno, tentu saja saya tak sanggup. Namun saya ingin mengajak Anda berkunjung pada dua halaman di Majalah Intisari edisi Februari 2001. Tepat di halaman 30-31, kita mendapat pemberitaan kematianya. Ia meninggal pada Selasa, 23 Juni 2001 dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Di halaman lain, ucapan duka dari pihak majalah berketerangan: “Delapan belas tahun bersama tak terasa…. Terima kasih dan selamat jalan, Rekan!” Keterangan tersebut memberi penjelasan relasi antara Slamet Soeseno dengan Majalah Intisari.
Secara khusus sejak 1970-an, di sekian edisi Majalah Intisari kita akan mudah menemukan tulisan-tulisannya yang berhubungan dengan ilmu biologi. Ia secara rutin kemudian bergerak tentang tema flora dan fauna. Dalam prosesnya, Slamet Soeseno kemudian menjadi bagian redaktur dari majalah. Delapan belas yang dimaksudkan dalam majalah, bisa jadi adalah masa Slamet Soeseno menjadi bagian redaktur. Selain di Intisari, ia juga pernah menjadi redaktur di Majalah Trubus, majalah yang menaruh fokus pada pertanian. Itu menjadi bukti upaya Slamet Soesno menggelorakan pengetahuan dalam tulisan ilmiah populer. Para pembaca di zamannya mudah dibuat takjub akan struktur tulisan dan gaya yang ia bawakan.
Salah satu tokoh yang menulis obituari atas meninggalnya Slamet Soeseno adalah Andi Hakim Nasoetion, cendekiawan penting di Indonesia yang pernah menjabat rektor di Institut Pertanian Bogor pada 1978-1987. Ia menulis esai berjudul “Kecil Teranja-anja, Besar Terbawa-bawa”. Tulisan itu termaktub dalam kumpulan tulisan Andi Hakim yang dijadikan menjadi buku berjudul Pola Induksi Seorang Eksperimentalis (IPB Press, 2002). Andi menjelaskan bahwa sosok tersebut merupakan kakak kelas semasa sekolah di SPMA Bogor.
Sentuhan terhadap Slamet Soeseno menjadikan Andi berbagi kenangan saat di sekolah. Slamet Soeseno semasa sekolah merupakan pimpinan redaksi di majalah sekolah yang bernama Dewi Sri. Inilah proses penting yang membuat gaya kekepenulisan Slamet Soseno terbentuk. Cerita yang disajikan oleh Slamet Soeseno dalam majalah tersebut kenang Andi Hakim selalu memancing senyum pembacanya. Andi kemudian menyebut sosok guru yang membuatnya kagum, dan guru itu ternyata juga dikagumi Slamet Soseno.
Ia menulis: “Entah kebetulan atau tidak guru yang sangat dikaguminya adalah guru yang saya kagumi juga, yaitu Ny. Annie Vaas-van Oven, guru Zoologi dan Ilmu Perairan Tawar atau Limnologi yang di dalam kelas selalu mengambil contoh bahasan dari lingkungan yang langsung dapat diamati. Guru itu juga membuatnya mengenal buku ‘Bacterieën Jagers’ karangan Paul de Kruyff dan beberapa buku zoologi populer lainnya.”
Kekaguman pada guru yang suaminya adalah ahli biologi air peraiaran tawar serta kenangan terhadap buku-buku yang memikat pada masa sekolah adalah proses di mana kemudian hari Slamet Soeseno kemudian memiliki kecakapan dalam dunia perikanan darat. Mari kita tengok beberapa buku yang pernah ditulisnya. Masing-masing adalah Dasar-dasar Perikanan Umum (CV Yasaguna, 1977), Pemeliharaan Ikan Mujahir (CV. Yasaguna, 1980), serta Budidaya Ikan dan Udang dalam Tambak (Gramedia, 1983). Dua judul buku awal itu pada masanya digunakan sebagai keperluan belajar di sekolah-sekolah. Sementara buku yang ketiga merupakan buku bacaan umum hasil Sayembara Penulisan Naskah Buku Ilmiah dalam Bahasa Indonesia yang diselenggarakan oleh Pemerintah DKI Jakarta Tahun 1981/1982.
Slamet Soeseno juga turut membesarkan dan memuliakan anak-anak pada masanya dengan menyajikan bacaan anak dengan tema besar flora dan fauna. Ini tak lepas dari serangkaian proses yang dilalui olehnya, bahwa ia tak sematas mahir dalam kecakapan menyajikan tulisan ilmiah persoalan ikan. Beberapa buku yang dalam kategori bacaan anak itu di antaranya adalah Bertamasya ke Pulau Panggang (Pustaka Jaya, 1974), Kemah Mereka di Tepi Danau (Balai Pustaka, 1982), Sepekan Bersama Gajah (Pustaka Jaya, 1986), dan Burung Cenderawasih yang Mempesona (Pustaka Jaya, 1986).
Dalam buku-buku itu, Slamet Soseno mengemas dengan sederet cerita demi cerita yang bersambung dan sedemikian itu membentuk kesatuan yang utuh. Cara mengungkapkannya dengan berlandaskan ilmu dan pengetahuan. Itu berarti, kerangka teks yang dihadirkan olehnya adalah menjadi landasan penting dalam melatih imajinasi dan meneroka pengetahuan ilmiah sesuai tema-tema yang digarapnya. Cara itu menarik, terlebih dihadirkan kepada anak-anak. Cerita itu yang dapat menumbuhkan imajinasi mereka untuk menyelami ilmu dan pengetahuan.
Pada aspek flora, Slamet Soeseno pernah menulis buku berjudul Bercocok Tanam Secara Hidroponik (Gramedia, 1985). Buku tersebut mendapat stempel dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk digunakan di sekolah. Ketika orang mudah menggampangkan akan persoalan bercocok tanam, Slamet mmelakukan ajakan pada teks akan hal itu secara keilmuan. Itu pula yang disajikan olehnya ketika menulis dalam tema perikanan. Entah, masih menjadi misteri sampai hari ini, buku-buku mengenai budidaya ikan tak terkecuali ikan lele menjadi pemeo maupun ejekan bagi aktivis kampus dan mahasiswa filsafat. Ada pernyataan yang kerap muncul, selama kuliah rakus mengenai buku-buku filsafat, teori kritis, hingga perubahan sosial. Ketika lulus kuliah pada akhirnya membaca buku budidaya ikan.
Satu hal yang tak boleh dilewatkan adalah Slamet Soeseno menulis buku berjudul Teknik Penulisan Ilmiah Populer (Gramedia, 1980). Buku itu mengesahkan baginya, selain mahir menulis ilmiah populer, ia menyajikan gagasan dalam proses kreatif dalam membuat tulisan ilmiah populer. Buku itu menjadi pedoman penting untuk berbagai kalangan akan pentingnya kalangan ilmuwan maupun cerdik cendikia di bidang sains dalam menyajikan gagasan yang mudah dipahami oleh kalangan publik. Itu tentu saja sebagai upaya untuk menjadikan bahasa Indonesia mampu menjadi bahasa keilmuan. Kalau boleh memberi usul maupun saran, pihak penerbit Gramedia perlu menerbitkan ulang di masa kini.
Proses kehidupan yang dilalui oleh Slamet Soeseno pernah menjadikan seorang pembaca Majalah Intisari mengirim surat pembaca di edisi Januari 2004, tepat tiga tahun setelah meninggalnya sosok itu. Pembaca itu bernama Chris Sumardhi dari Purwokerto. Dalam surat pembaca berjudul “Rindu Slamet Soeseno” itu ia berkesan mengenai kemasan baru Intisari sejak 2003. Ia kemudian mengungkapkan: “Setelah melewati titik vakum yang panjang, saya rindu sekali pada gaya penulisan Slamet Soesno (alm.) dan gaya bertutur HOK Tanzil.” Momentum itu tentu saja memberi gambaran mengenai pengaruh dan gaya tulisan yang pernah disajikan olehnya. Ia terus dikenang, meski berkemungkinan terlupakan.[]
*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir dan Budayawan.
Menulis Buku Sekadar Mengamati: Tentang
Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022) dan Bersandar
pada Sains (2022).