Mahbub Djunaidi, Mobil, dan Budi Pekerti

Perundungan, kini agaknya makin tidak mengenal status—antara yang miskin dan kaya, antara yang jomlo dan berpasangan, maupun antara yang makan bubur diaduk dan dicampur. Semua pihak bisa kena. Para perundung bermunculan tiada lain adalah disebabkan akumulasi dari berbagai faktor. Setidak-tidaknya, ia memiliki surplus kemarahan, konsep kekuasaan, tamak, gengsi, menang sendiri, dan paling mendasar adalah dahaga pujian.


Siapa yang dapat mengatasi kesemrawutan yang terus-menerus menggelombang itu? Jika pelaku itu dari kalangan anak maupun remaja, apakah lantas kemudian perlu menyalahkan pihak sekolah, para guru, maupun orang tua? Tidak semudah itu. Penguraian terhadap masalah tersebut kiranya membutuhkan relasi dari berbagai pihak dengan dasar keterbukaan dan kemauan menyangsikan fakta objektif.

Mari kita sejenak menengok konsep pelajaran budi pekerti, yang konon diyakini menjadi sarana pembentukan watak untuk generasi muda dalam proses pendidikan di sekolah-sekolah. Kita justru ingat sebuah esai yang pernah ditulis oleh Mahbub Djunaidi di Majalah Tempo edisi 12 November 1977. Kita tahu, tulisan berjudul “Sekitar Kepercayaan” itu juga termaktub dalam buku Kolom Demi Kolom (Haji Masagung, 1986).

Renungkanlah bagian tulisan berikut: “Mula-mula namanya moral Pancasila. Wah, ini dia yang kucari, jeritnya. Pancasila tanpa moral sama saja dengan baju tanpa kancing. Tak lama kemudian berganti jadi judul Budi Pekerti. Masih bolehlah, pikirnya. Orang tanpa budi pekerti sama saja dengan mobil tanpa lampu.”

Tanya mengemuka, apa sebenarnya yang dimaksud dengan budi pekerti? Kalau boleh meminjam uraian Ki Hadjar Dewantara, dalam tulisan berjudul “Pengadjaran Budipekerti” dalam buku Karja Ki Hadjar Dewantara: Bagian Pertama Pendidikan (1962), ia mengartikan: “menjokong perkembangan hidup anak-anak, lahir dan batin, dari sifat kodratnja menudju kearah peradaban dalam sifatnja jang umum.”

Ki Hadjar memasukkan budi pekerti sebagai bagian adab. Di bagian lain, ia menulis beberapa uraian lebih lanjut: “Mengandjur-andjurkan atau kalau perlu memerintahkan anak-anak untuk: duduk jang baik, djangan berteriak-teriak agar tidak mengganggu anak-anak lain, bersih badan dan pakaiannja, hormat terhadap ibu-bapa dan orang-orang tua lainnja, menolong teman-teman jang perlu ditolong, demikian seterusnja, itulah semuanja sudah merupakan pengadjaran budi pekerti.”

Berlatih, berlatih, dan berlatih. Itu pokok persoalannya. Untuk menjadi baik, konon terjadi karena melakukan kebaikan itu telah menjadi kebiasaan. Untuk bersikap jujur, tersebab kejujuran telah menjadi laku dalam jalan hidup. Untuk menjadi manusia yang senantiasa memiliki rasa welas asih, tentu karena itu menjadi kebiasaan yang akhirnya membentuk jatidiri hidupnya.

Yang kita hadapi saat ini adalah kita hidup dalam surplus seruan akan pentingnya melakukan kebaikan, kejujuran, kewelas asihan, walakin kita semakin sulit menemui keteladanan. Ungkapan klise penuh peorasi dari mulut berbusa-busa menjadi lagak tokoh publik sebagai imajinasi khalayak umum. Kurang ajarnya, dalam dekapan perkembangan dunia digital, kebenaran, kebaikan, kesantunan, dan kewelas asihan telah dimanipulasi sebagai rekaan untuk mengundang jutaan mata menontonnya.

Orang-orang dibuat terharu, sedih, dan meneteskan air mata dari tayangan-tanyangan berkedok “anjuran kebaikan”. Itu tidak jauh berbeda dengan konsep pendidikan kepada anak yang syarat “harus”. Nak, kamu itu jadi manusia harus berbuat baik. Kamu jadi manusia harus jujur. Kamu jadi manusia harus sabar. Kamu jadi manusia harus welas asih. Kamu jadi manusia harus berani.

Pertanyaannya, seberapa pengaruhkah seruan klaimat-kalimat seperti itu? Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang. Kisanak, bukankah lebih penting kalau kita melakukan refleksi lebih lanjut? Tidak salah bila kita berpikir mengenai budi pekerti tadi erat kaitannya dengan kecerdasan emosional. Jentakanya, kata “emosi” itu telah menjadi tafsir tunggal yang memiliki beban konotasi buruk.

Itulah mengapa, I Ketut Sumarta lebih tertarik menggunakan kata “Rasa” dalam tulisannya, “Pendidikan yang Memekarkan Rasa”, termaktub di buku Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita (Kanisius, 2000). Di tulisan, ia berbagi gagasan tentang budi pekerti mengacu beberapa tokoh. Selain Ki Hadjar Dewantara, ia juga menyebutkan Daniel Goleman yang terkenal dengan salah satu karyanya berupa Emotional Intelligence.

Ketut menulis: “Untuk konteks Indonesia kini, istilah kecerdasan rasa kiranya lebih tepat daripada kecerdasan emosi, mengingat sudah sebegitu jauhnya istilah emosi dalam khaanah bahasa Indonesia disimpangkan maknanya dari kondisi atau suasana hati yang sebenarnya netral dan kompleks menjadi terbatas untuk merujuk sikap dan perilaku yang temperamental, bahkan cenderung terbatas diartikan “suka marah”. Dalam percakapan sehari-hari, kini istilah emosional, misalnya, sering digunakan untuk merujuk pengertian orang yang marah-marah saja.”

Bung Mahbub benar, membuat analogi keberadaan budi pekerti ibarat lampu dalam mobil. Lampu itu berurusan dengan cahaya. Ia dapat memberi terang dalam jalan yang ditempuh, apalagi berada di dalam kegelapan. Namun, Bung Mahbub perlu tahu realitas saat ini. Kini, terlampau banyak lampu yang menggelimang dalam hidup manusia. Dan, Bung perlu mengerti, banyak manusia sudah lupa menggunakan lampu sebagaimana mestinya.

Ilusi superioritas, keserakahan tanpa kendali, hingga imajinasi berkuasa adalah tiga hal yang mengemuka saat ini. Mereka sama-sama mengusung semangat pseudo-budi pekerti, pseudo-etika, dan pseudo-kejujuran dengan berlindung di bawah ketiak moral dengan slogan yang ritmis, anggun, dan memesona. Mereka gemar membuat parade kesantunan, kebaikan, dan kewelas asihan. Namun, di balik itu sejatinya sedang menjalankan tindakan yang sebaliknya.[] 

 

*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak