Barangkali Anda mudah menemukan sosok bernama Karlina Supelli melaui ceramah ilmiah dalam sekian forum lewat algoritma digital. Ia kerap menghadirkan daya pukau kepada para hadirin saat menyampaikan gagasannya dalam sekian bidang. Ia memiliki kefasihan dalam menghadirkan teks dan laras dalam penggunaan bahasa Indonesia, tanpa membatasi bidang keilmuan. Sebagaimana yang kerap diutarakannya adalah pelibatan ragam keilmuan dalam memahami sesuatu hal dan mencari makna—transdisiplin ilmu pengetahuan.
Perempuan yang lahir pada 15 Januari 1958 itu kemudian mendapati banyak sematan. Mulai seorang kosmolog, filsuf, dan feminis. Yang pasti, jejak panjang karier intelektualnya memang memperkuat hal itu. Namun, kiranya menarik jika kita menyengaja untuk menilik jauh masa lalu melalui sekian arsip teks yang memberi rekaman jalan yang ditempuhnya. Jejak demi jejak itu tentu akan membabarkan bahwa ia adalah seorang intelektual yang paripurna.
Lahir di Jakarta, Karlina menikmati masa kecilnya di sebuah daerah bernama Selabinanta, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Masa kecil Karlina, sebagaimana anak-anak pada umumnya. Meski demikian, ia punya kenangan khusus mengenai masa kecil. Proses itu rupanya yang kemudian memberikan dampak pada masa dewasanya. Adalah kebiasaan berimajinasi, berupa kegemaran melihat bintang pada malam hari.
Ia pernah diprofilkan dalam Majalah Zaman edisi 16 Juli 1983. Pada tulisan berjudul “Alam Semesta itu Indah Luar Biasa” tersebut menjelaskan sepotong kisah kehidupan Karlina. Sejak usia 9 tahun ia suka melamun memandang bintang-bintang di Sukabumi. Dengan ayunan ritmis lingkungan dan peranan keluarga, masa kecil Karlina adalah masa yang telah menaruh kegemaran membaca. Selain itu, ia rupanya juga memiliki kegemaran berkebun.
“Barangkali karena saya suka baca tentang biografi orang-orang terkenal seperti Madame Curie, hingga tertarik terus menggali ilmu pengetahuan,” begitu pengakuannya dalam majalah. Ya, Marie Curie adalah ilmuwan perempuan kelahiran Warsawa, Polandia pada 7 November 1867 tersebut sering disebut pionir seorang perempuan yang menjadi saintis. Kisah Curie memang sejarah panjang yang menautkan salah satu masalah di dalam sains adalah dominasi kaum laki-laki.
Di Polandia sendiri, dalam hidupnya, Curie dengan kegigihannya membongkar stigma yang mengakar di dalam sosial masyarakat bahwa perempuan tidak perlu menempuh pendidikan yang tinggi. Keputusannya melanjutkan studi di Prancis kemudian membentuk nalar keilmuannya. Curie adalah seorang ilmuwan yang kemudian meraih penghargaan Nobel sebanyak dua kali untuk bidang ilmu fisika dan kimia, masing-masing pada tahun 1903 dan 1911.
Kisah perjalanan hidup Curie memberi inspirasi bagi seorang Karlina. Setelah menyelesaikan sekolah menengah atas. Pada 1974-1975 ia bersekolah di SMA N XI Jakarta dan kemudian pindah ke SMA Negeri II Bandung (1975-1976), sampai akhirnya menyelesaikan dan lulus. Lalu, ia melanjutkan studi di Institut Teknologi Bandung dengan mengambil jurusan Kosmologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Departemen Astronomi.
Dalam kurun empat tahun, ia menyelesaikan studinya. Ia menamatkan tepat pada bulan Oktober 1981 dengan skripsi berjudul “Runtuh Gravitasi, Singularitas dan Problema Lubang Hitam”. Di sekitar tahun itu pula, Karlina telah muncul di media cetak, masing-masing Majalah Intisari dan Majalah Aku Tahu. Di Majalah Intisari ia mengasuh rubrik bernama “Apa yang Anda Ketahui?”. Sementara di Majalah Aku Tahu, ia mengasuh Majalah “Astronomi”. Ketika terjadi Gerhana Matahari Total pada 18 Maret 1988, ia adalah sosok penting yang memberikan pecerdasan kepada publik lewat tulisan-tulisannya.
Di buku berjudul Buku dalam Indonesia Baru (Yayasan Obor Indonesia, 1999) yang berisikan bunga rampai sekian tokoh, Karlina menulis esai berjudul “Membaca dan Menulis: Sebuah Pengalaman Eksistensial”. Ia berbagi pengalaman begitu luas terkait membaca dan menulis. Mulai dari bacaan masa kecil yang memengaruhinya, peran keluarga yang menautkan kebudayaan membaca, hingga telaah filosofis mengenai keduanya.
Kenangan semasa kecil mengenai bacaan senantiasa terngiang. Ia memberikan penjelasan: “Saya teringat kembali sesuatu yang personal, pengalaman masa kecil. Sebelum kepala saya terisi dengan cerita-cerita yang saya baca dari buku-buku, di dalamnya sudah ada berbagai dongeng, kejadian, dan cerita-cerita yang dikisahkan oleh ibu atau kadang-kadang kakak saya. Kadang ibu membaca dari buku, tetapi sering sekali bertutur saja di tepi tempat tidur tanpa membaca.”
Ibu membentuknya melalui dongeng dan buku. Kelak, istilah “ibu” ini diperluas Karlina dalam serangkaian peran dalam demonstrasi di era Orde Baru. Tiada lain dan tiada bukan adalah “Suara Ibu Peduli”. Akan tetapi, perlu kita ingat bahwa dalam sejarah, Orde Baru melahirkan “Ibuisme Negara”, di mana Orde Baru menempatkan perempuan dalam posisi subordinat, berupa penekanan fungsi reproduksi dan kodrat perempuan untuk melayani. Secara detail “Ibuisme Negara” ini dikaji oleh aktivis feminis, Julia Suryakusuma.
Pertanyaannya, apa yang terjadi pada “Suara Ibu Peduli”? Mula-mula kita mesti paham latar belakang keberadaan gerakan tersebut. Suara Ibu Peduli lahir dari keresahan berbagai pihak yang kemudian terakomodir dalam satu gerakan. Simpul-simpul yang ada di Suara Ibu Peduli meliputi kader Posyandu, kelompok ibu-ibu pengajian, ibu-bu rumah tangga, dan kesusteran paroki. Tiga penggerak penting, masing-masing adalah Karlina Supelli, Gadis Arivia, dan Wilasih Noviana.
Rekaman kisah gerakan tersebut terekam dalam buku Catatan Perjalanan Suara Ibu Peduli (Yayasan Jurnal Perempuan, 1999). Penyematan istilah “Ibu” menarik, sebagai upaya menafsirkan kembali peran semestinya yang telah direnggut oleh kekuasaan. Di dalam buku termaktub tulisan Melani Budianta, berjudul Suara Ibu Peduli: Panggilan Nurani Warga”. Ia menyebut, gerakan Suara Ibu peduli mengilhami “pergeseran dari suatu masyarakat yang bertumpu pada kekuasaan negara, menjadi masyarakat yang memberdayakan dirinya sendiri melalui partisipasi warga.”
Salah satu hal yang disuarakan dalam aksi Suara Ibu Peduli adalah langkanya susu di 1998. Aksi yang mereka lakukan di tanggal 23 Februari 1998 di bundaran Hotel Indonesia (HI). Namun, ternyata tak sebatas itu. Isu kelangkaan susu adalah bagian kecil saja sebagai narasi besar atas otoritarianisme Orde Baru. Sejarah yang telah berlangsung itu senantiasa memberikan cerita di kemudian waktu, yang mungkin saja bisa dibilang dating terlambat. Saat peringatan 25 tahun reformasi, Majalah Tempo menerbitkan edisi khusus “Setelah 25 Tahun Reformasi” edisi 22-28 Mei 2023.
Ada liputan berjudul “Protes Susu Kaum Ibu”. Karlina menjadi narasumbernya. Ia berbagi pengalaman akan caranya saat mengingat demonstrasi pada 1998. Tepatnya saat diinterogasi polisi agar meyakinkan bahwa ketika itu tidak sedang berlangsung demonstrasi. Sebab, betapa pun jika jujur mengatakan sedang berdemonstrasi, tentu akan gagal dalam misi untuk bergabung dengan kaum ibu lainnnya.
Di liputkan terdapat keterangan penting: “Menjawab interogasi itu, Karlina berdalih sedang mengikuti sesi pemotretan. Lalu ia mengembangkan payungnya. Tanpa diberi aba-aba, para juru foto di sekitar Karlina sedang menimpali bahwa dia model kalender. Jadilah Karlina berpose layaknya peragawati dan fotografer bergantian menjepretnya. Cekrek! Cekrek! Polisi percaya dan membiarkan ia berlalu.” Aneh juga mengenai polisinya. Padahal itu sudah bulan Februari juga.
Karlina dengan segala jejak di catatan, liputan, gagasan, dan gerakannya memberi ketegasan ia adalah seorang intelektual yang lengkap. Kendati secara latar belakang keilmuannya adalah sains, namun ia turut membangun kesadaran dalam mendialogkan pada lainnya. Baik itu sosial, hukum, dan kebudayaan. Kekuatan itu juga ditopang dengan studi S3-nya mengambil jurusan filsafat. Wajar, dalam menyajikan tulisan dan memberikan ceramah ilmiah, gagasannya terstruktur dan menggugah para pembaca dan pendengar.[]
*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir dan Budayawan.
Menulis Buku Sekadar Mengamati: Tentang
Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022) dan Bersandar
pada Sains (2022).