Oleh : Joko
Priyono
Melalui
dialektikanya dengan Yai Sudrun, Cak Nun menyuguhkan kumpulan esai dengan meletakkan isu poligami pada konteks
kemasyarakatan. Dengan menggunakan bahasa yang begitu satire, Cak Nun
memaparkan ihwal poligami mulai dari asal mula turunnya ayat yang mengatur,
kewajiban manusia terhadap sesamanya, prasangka manusia yang membutakan, hingga
konsep cinta dalam berbagai bentuk.
Salah satu
ungkapan yang cukup menarik adalah sebagaimana terdapat dalam esai yang
berjudul “Tiga Negeri Poligami” pada halaman empat, “Pokoknya, tokoh ini mengatakan ‘saya berpoligami karena menjalankan
syariat Islam’, tokoh yang itu yang berseberangan ideologinya menyatakan
‘bagaimana mungkin orang memeluk agama yang membolehkan poligami dan
peperangan’. Yang satu omong ‘berpoligami lebih bagus dan selamat daripada
selingkuh dan melacur’, lainnya bilang ‘poligami itu melanggar hak asasi
perempuan’. Di sebelah sana diungkapkan ‘hak asasi wanita memberinya hak untuk
menjadi pelacur ataupun menjadi istri kedua’, di seberangnya terdengar ‘kalau
lelaki punya hak berpoligami, wanita juga punya hak untuk berpoliandri”.
Disadari
maupun tidak disadari, pembahasan mengenai pro dan kontra akan poligami, memang
sering kita temui baik di obrolan warung HIK, kafé, opini-opini di media
sosial, makalah diskusi seminar dalam kampus maupun ruang intelektual yang
lain. Di sisi lain, dalam sebuah tulisan yang lain, Cak Nun juga menyampaikan
bahwa banyak dari kita dirundung dengan kemalasan belajar sejarah, kesadaran
dalam berpikir, serta tak merasa penting dalam mempelajari suatu persoalan
dengan pemikiran seksama. Beliau menganalogikan dengan ungkapan “kalau ada buah busuk, mereka beramai-ramai
sibuk mengutuknya, membuangnya, menghina buah itu, tanpa sedikit pun ingat
pohonnya apalagi akarnya, terlebih lagi tanahnya-jangankan lagi pencipta tanah
itu”.
Membahas
poligami, seharusnya tidak membiarkan akal menjadi berhenti dalam berpikir,
tidak membiarkan sejarah mandek
begitu saja. Namun sebaliknya, harus ada view
sejarah, wacana-wacana yang tidak hanya pada bagian kulitnya agar mendapatkan
landasan hukum pada khazanah agama, ideologi maupun filsafat. Relevan dengan
ungkapan yang disampaikan sebelumnya, membahas poligami kita akan dihadapkan
dengan beragam pendapat dengan berbagai ragam landasan dasarnya. Namun,
lagi-lagi kita selaku manusia yang pada dasarnya hidup di dunia ini untuk
tujuan ‘menghamba’ atau dalam idiom jawa ada sebuah falsafah “urip iku mung mampir ngombe”.
Selebihnya adalah bagaimana kita harus mau terus belajar dan belajar dengan
kondisi yang kita hadapi saat ini.
Buku ini
juga berkisah dari beberapa rangkaian perjalanan spiritual yang dialami selama
hidup. Bagaimana melakukan sebuah manajemen di dalam internal rumah tangga.
Bagaimana melakukan sebuah manajemen bersama Kiai Kanjeng. Serta bagaimana
melakukan manajemendalam berjuang dalam melakukan syiar dan dakwah. Maka tak
salah ketika judul buku yang diangkat adalah “Istriku Seribu”. “Rahman dulu, baru Rahim. Beres cinta sosial
dulu, barulah ketentraman abadi” (hlm. 65).
Judul : Istriku Seribu
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Bentang Pustaka
Kota Terbit : Yogyakarta
Cetakan : Kedua, 2016
Jumlah Halaman : 98 halaman
ISBN : 978-602-291-117-3
Tags
Kabar Buku