“Kendaraan utama pengetahuan dan ilmu adalah bahasa dan dalam batas tertentu juga matematika”
(Dali Santun Naga)
Lahir di Tolitoli, Sulawesi Tengah pada 22 September 1934, Dali Santun Naga kiranya adalah cendekiawan penting dalam kesejarahan Indonesia. Ia mengabarkan kisah penting bahwa intelektual tak sebatas dari Jawa. Hal itu juga memberi pesan penting, bibit ilmuwan di Indonesia itu berserakan di mana-mana. Namun, acapkali kita terpasung pada satu narasi tunggal yang memandang remeh temeh bagi mereka yang ada di pinggiran. Betapa berbahayanya narasi sentralistik ini.
Karier intelektual Dali dapat kita baca saat setelah lulus dari sekolah menengah atas, ia melanjutkan studi di jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) dan selesai pada 1960. Melanjutkan pendidikan hingga memperoleh gelar doktor di IKIP Jakarta dan selesai pada 1980. Sosok itu lengkap akan kecakapan intelektualnya. Mulai dari matematika, ilmu alam, komputer, bahasa, hingga fiksi ilmiah.
Satu hal yang pasti, ia turut menggerakkan ilmu dan pengetahuan melalui produksi teks yang tersebar baik di buku, majalah, hingga koran. Di dua majalah ternama pada masanya, Dali terlibat dalam keredakturan. Masing-masing adalah Majalah Aku Tahu (1984-1995) dan Majalah Komputer dan Elektronika (1985). Di Majalah Aku Tahu, Dali juga menjadi penulis tetap, dengan mengasuh tiga rubrik sekaligus, yakni “Sejarah Penemuan”, “Serba-Serbi Matematika”, dan “Serba-Serbi Kata”. Selain di dua majalah tersebut, Dali juga terlibat di Majalah Matematika & Komputer dan Majalah Parameter.
Dalam rubrik “Sejarah Penemuan”, Dali memperkenalkan nama-nama ilmuwan dari bidang sains dengan kiprah yang dilalui tiap mereka dan persembahan gagasan keilmuan bagi peradaban. Sementara dalam rubrik “Serba-Serbi Matematika”, ia menyuguhkan tulisan kepada para pembaca mengenai hal yang berhubungan dengan tokoh dan teori tentang matematika. Ciri khas tulisan Dali adalah tulisan ilmiah populer yang mudah dipahami oleh para pembaca. Hal yang menarik adalah di rubrik “Serba-Serbi Kata”, ia, meski berlatar belakang keilmuan sains pamrih mengurus akan persoalan bahasa Indonesia.
Pada tahun 1980, ia mempersembahkan sebuah buku teks berhubungan dengan matematika dengan judul Berhitung: Sejarah dan Perkembangannya. Buku itu pertama kali diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dan memperoleh penghargaan dari Yayasan Buku Utama. Buku itu bisa dikatakan buku penting yang mempelajari kesejarahan akan berhitung yang merupakan bagian penting dari peradaban matematika.
Penulisan buku itu tentu juga bukti Dali, sebagai bagian dari intelektual Indonesia yang mau menyajikan pengetahuan dalam bahasa populer. Sebab, harus kita pahami, semangat kalangan intelektual Indonesia di bidang sains dan teknologi kadang masih kurang untuk melakukan produksi teks. Selain itu, gagasan dalam buku garapan Dali juga memberikan pengabaran akan kontekstualisasi keberadaan matematika. Antitesis terhadap anggapan matematika yang kerap mudah dicap kering dan abstrak.
Bukti itu diungkapkan oleh Dali dalam bagian pengantar di buku tersebut. Ia menulis: “Sampai pada waktu sekarang ini sejarah berhitung atau sejarah matematika relatif tidak banyak ditulis orang; apalagi sejarah berhitung yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Demikian pula di dalam pelajaran matematika atau pelajaran berhitung di sekolah-sekolah sejarah berhitung tidak banyak disinggung untuk tidak mengatakan bahwa sejarah berhitung itu tidak disinggung sama sekali.”
Dari matematika, Dali juga bergerak pada persoalan komputer. Tentu itu tak lepas akan keberadaan matematikanya dengan sistem logika yang sangat berguna bagi pemahaman akan komputer. Pada 1983, ia dapat melakukan penerjemahan bahasa standar operator yang digunakan untuk menjalankan perintah komputer. Istilah itu dalam sistem Beginner’s All Purpose Symbolic Information Code (BASIC) menjadi Kaidah Informasi Lambang Aneka Nalar dan Guna (KILANG), secara spesifik kemudian disebut KILANG 001.
Dalam Majalah Tempo edisi 25 November 1989, terdapat liputan yang disusun oleh Bambang Harymurti dan Tommy Tamtomo. Liputan tersebut berjudul “Selamat Datang, Fiksi Hiper” membabarkan tema mengenai komputer dan pengaruh pada keberadaan karya sastra, yang disebut dengan fiksi hiper (hyperfiction). Itu sebenarnya tak lain mengacu perkembangan sastra yang mengacu pada perkembangan teori ilmiah, atau lazim kita kenal dengan fiksi ilmiah maupun fiksi sains. Perkembangan komputer tak terkecuali berpengaruh, dengan penyebutan daftar karya sastra yang mengacu pada adaptasi dan pengimajinasian akan perkembangan komputer. Bahkan, tak tanggung-tanggung di dalam liputan disebut dengan “sastra komputer”.
Di liputan tersebut, Dali dimintai pendapat mengenai hal itu. Proses penyusunan fiksi hiper bagi Dali cukup memakan waktu yang lama, dengan alasan bahwa karya model itu mengandaikan karya yang tak biasa. Menembus imajinasi dan lompatan daya kreativitas yang ketat di dalam menggambarkan akan keberadaan teknologi. Setidaknya teknologi yang dimaksudkan adalah pada peluang dan tantangan bagi kehidupan dan peradaban manusia itu sendiri.
Pendekatan yang lazim biasanya adalah pemunculan makhluk asing hingga robot dalam kehidupan normal manusia. Walaupun begitu, dalam kesejarahan, keberadaaan fiksi ilmiah itu sudah berlangsung cukup lama. Fiksi ilmiah mula-mula digambarkan sebagai optimisme teknologi modern yang membuka kemungkinan-kemungkinan baru serta gambaran fantastis akan masa depan manusia. Di buku berjudul Mark Wilshin berjudul Sinema dalam Sejarah: Fiksi Sains & Fantasi (Kepustakaan Populer Gramedia, 2010) hasil terjemahan tata! memberi gambaran itu.
Wilshin memberi penjelasan bahwa kelahiran fiksi sains generasi awal telah terjadi di akhir abad XIX, tepatnya pada tahun 1899, sutradara Amerika Serikat Wallacea McCutcheon menggarap film berjudul “The X-Ray Mirror”. Kemudian di tahun 1902, sutradara asal Prancis Georges Méliès membuat film berjudul “A Trip to the Moon” yang mengisahkan para astronot yang melakukan perjalanan ke bulan dengan kapsul luar angkasa yang terbuat dari baja. Film tersebut diadaptasi dari novel Jules Verne, From the Earth to the Moon (1865) dan sekuelnya, Around the Moon (1870).
Dalam konteks Indonesia, memang harus diakui bahwa fiksi sains tak cukup banyak yang menggarapnya. Butuh upaya penerokaan akan pengetahuan ilmiah yang detail dan ketat agar sebuah karya dapat memberi sebuah pendekatan. Pelibatan Dali S Naga sebagai narasumber di dalam majalah dengan disebut sebagai sorang pengarang fiksi ilmiah menjadi hal yang penting. Ini memberi bukti bahwa di tengah kesibukannya mengurus tema-tema matematika dan sains, ia juga bergerak pada fiksi sains. Secara khusus adalah ketika ia pernah menulis fiksi ilmiah berupa novel berjudul Kamar Dua Ratus Empat Belas yang pada bulan April, 1980 menjadi cerita bersambung di Harian Kompas.
Dali Santun Naga adalah sosok intelektual yang lengkap. Ia berangkat dari ketekuanan akan sains dan teknologi namun mamppu menjembatani pada aspek sosial humaniora. Upaya itu dilakukan dengan kemauannya dalam mengurus sastra, pendidikan, filsafat, bahkan bahasa. Hal itu menjadi kombinasi yang komprehensif dalam membangun kerangka analisis untuk membaca perkembangan zaman. Tindakan yang tidak mudah dilakukan banyak orang, namun Dali Santun Naga telah melakukannya. Pelajaran yang berharga bagi kita semua.[]
*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir dan Budayawan.
Menulis Buku Sekadar Mengamati: Tentang
Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022) dan Bersandar
pada Sains (2022).