Truk, Traktor, dan Pelajaran Menggambar

Setelah bertahun-tahun melewati sekolah dasar, apakah dirimu masih punya ingatan akan pelajaran menggambar? Aku ingat dengan sebuah buku gambar bersampul warna kuning dengan pensil dan pulas seadanya. Dulu, memiliki alat menggambar yang lengkap di masaku adalah hal yang tak lazim. Sebab, hanya beberapa bocah saja dengan kemampuan finansial lebih dari orang tua yang memiliki. Bocah beralat lengkap adalah citra keluarga kaya.

Meski begitu, aku dan dirimu pasti ingat satu hal: bahwa bukan didasarkan pada status miskin dan kaya, sekolah mengajarkan keseragaman dalam pelajaran menggambar dengan objek yang sama. Di sekolah dasarku kalau tidak salah yang membuatku ingat sampai saat ini adalah menggambar gunung dengan di tengah-tengahnya ada sebuah jalan berkelok. Bersamaan itu, di samping jalan ada sawah dan pepohonan yang rindang.

Terkadang, bagi bocah yang kreatif, ia akan menambahi gambar awan, burung-burung, dan matahari yang nampak tersenyum seperti halnya di film Teletubies. Bertahun-tahun berlalu, dari pikiran yang agak “liar”, sampai saat ini aku memiliki pertanyaan: apakah dalam kurikulum pelajaran menggambar memang semua murid se-Indonesia hanya diajarkan menggambar gunung? Kalau diingat-ingat, kebetulan saja, keluar dari kelas saat masa sekolah dasarku di sisi barat dapat melihat Gunung Merbabu dan Gunung Merapi yang berdampingan.

Atau mungkin, ini juga tak terlepas dari pengalaman guru. Barangkali ia pernah menjadi aktivis pencinta alam, yang dengan sendirinya membentuk keterhubungannya terhadap gunung. Situasi-situasi itu bila lazim terjadi, tentu kemudian membuat kita bertanya-tanya: bagaimana nasib mereka yang dalam kesehariannya tidak pernah melihat gunung? Inilah permasalahan dalam pendidikan, yang cenderung semua hal ingin diseragamkan. Konon, terkadang pendidikan belum menyentuh pada keterhubungan dengan lingkungan sekitar.

Wah, pantas saja, ahli matematika Iwan Pranoto dalam pidato berjudul “Kesalingterhubungan Pemikiran” yang disampaikan di Sutan Takdir Alisjahbana Memorial Lecture pada 6 Desember 2022 dengan tegas memberikan kritik: “Kurikulum di Indonesia masih satu dari Jakarta. Keberagaman pendidikan seperti apa yang kita harapkan dari sana?”. Iwan menganggap bahwa dalam banyak hal kehidupan di Indonesia cenderung berwujud cerita tunggal.

Lepas landas dalam konstruk ikatan terhadap alam, murid-murid Indonesia masuk dalam imaji ilmu dan teknologi. Mereka mengenal otomotif, diajak berimajinasi, dan mengalami dalam sebuah tindakan. Penerbit Erlangga menjadi salah satu pihak dalam keberadaannya menyapa anak-anak Indonesia dengan buku yang diterbitkan. Pada 2005, sebuah buku garapan Rebecca Gilpin, dalam bahasa Indonesia berjudul Ayo Melukis Truk dan Traktor.


“Ternyata, melukis truk dan traktor sangat mudah! Dari buku ini, kamu dapat mempelajari cara melukis berbagai truk dan traktor yang hebat, seperti truk bongkar muat truk sirkus, traktor merah besar, dan truk serta traktor lainnya. Petunjuk melukis dalam buku ini juga dijelaskan dengan sangat mudah dan cepat. Kamu pasti akan sangat terkejut melihat hasil lukisanmu sendiri yang sangat menakjubkan,” begitu tulisan di sampul belakang.

Di buku, kita mudah mengenal ragam maupun jenis dari keberadaan truk dan traktor. Bila kita menyigi lebih mendalam tentu buku memiliki motif dalam keterhubungannya pada anak-anak. Adalah menggambar yang menadi titik sentralnya. Pada edisi Juli 2002, Majalah Intisari memuat artikel berjudul “Pentingnya Menulis & Melukis” garapan RR. Ardiningtyas Pitaloka. Tulisan menyoal aktivitas menggambar dan anak.

Sebuah penjelasan disampaikan: “Saat seorang anak memasuki usia balita, tidak jarang ia mencoret dinding-dinding rumah, yang bagi orang dewasa dianggap sebagai tindakan mengotori dan merusak pemandangan rumah. Namun, ketika kita tanya soal ”lukisan”-nya ia akan menceritakan karyanya menurut imajinasinya. Ia menunjukkan betapa hebatnya daya imajinasi anak-anak.”

Anak-anak berhak merdeka dalam mengembangkan imajinasinya. Kita masih perlu mengurai pola asuh orang tua berhubungan dengan imajinasi dan daya kreativitas. Mafhum, C. J. Simister pun melalui bukunya yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Amanda Setiorini dengan judul Anak-anak Cemerlang: Aktivitas dan Permainan Menyenagkan untuk Membimbing Pikiran dan Sikap Anak (Serambi, 2009) mengutarakan menggambar sebagai hal penting.

Di buku Seri Pustaka Dasar berjudul Petani dan Pertanian (Gramedia, 1979) kita menemukan gambar-gambar. Bacaan anak itu memang tidak mengajak anak-anak untuk menggambar. Melainkan dari itu, keterangan-keterangan seputar pertanian dengan gambar alat pertanian yang disebutkan. Kita dapat menemukan gambar traktor. Keterangan dalam buku: “Kebanyakan petani jaman sekarang menggunakan traktor. Traktor itu kuat sekali, dan sanggup menarik apa saja.”


Gambar traktor telah memacu pikiran anak-anak terhadap dunia pertanian. Bisa jadi anak-anak sudah tidak memiliki ingatan terhadap para petani yang sedang menggarap sawah dengan membajak menggunakan tenaga sapi maupun kerbau. Traktor bukan sebatas urusan gambar, namun ia menjadi cara pandang baru dalam meneroka dinamika kehidupan.

Hampir sama, truk di mata bocah pun juga begitu. Truk menjadi kebudayaan bocah dengan memunculkan mainan yang mulanya dari kayu—biasanya atas kreativitas orang tua hingga ranah produk buatan dari industri. Mereka kemudian memainkannya dengan teman-temannya. Mereka melakukan simulasi pengangkutan bahan bangunan, barang, memosisikan pada jalur semestinya untuk berjalan, hingga meratapi beratnya saat membawa muatan.

Kita hampir lupa, dalam kemajuan teknologi digital, banyak dari orang tua merasa perlu meminta bantuan pengasuhan pada anaknya dari wahana media sosial. Jika tidak salah, video maupun tayangan untuk anak-anak yang berhubungan dengan truk, traktor, dan jenis kendaraan lain menjadi tontonan anak-anak yang populer. Orang tua senang saat anaknya bahagia melihat tontonan itu. Pun juga para pembuatnya, yang tidak sedikit meraup keuntungan darinya. Dalam kecepatan teknologi digital, mungkin melukis truk dan traktor bisa kalah dari kebiasaan melihat dalam bentuk audiovisualnya.[]

 

*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak