Bermasker di Jalan

Bumi-bumi/ Rumah kita/ Rumah satu-satunya/ Bumi-bumi/ Rumah kita/ Rumah satu-satunya/ Usia bumiku hm//. Melalui lagu “Rumah” (2022), Theresia Margaretha Gultom atau Dere mengajak kita melakukan permenungan terhadap keberadaan Bumi. Dulu, saat merebak wabah generasi tuna pengetahuan dan penyebar pseudosains, dengan mudah melenggang dalam wacana publik dengan pembuatan narasi kiamat, matahari sebentar lagi akan terbit dari selatan, hingga tak ada lagi populasi kaum jomlo di dunia.

Betapa visionernya mereka, meski di sisi lain menampakkan kecacatan akan logika. Barangkali, cara yang mereka lakukan adalah upaya radikal dan progresif supaya orang-orang berpikir akan masa depan Bumi. Bagaimana tidak, toh, bila kita mundur ke belakang, kita sedikit sadar akan masa depan Bumi dan kehidupannya saat terjadi wabah corona. Situasi mencekam, menakutkan, dan suram sampai akhirnya banyak dari kita memilih bermasker.

Pada konsep pengetahuan mengenai keberadaan virus, tentu masker bukanlah obat. Namun, ia sebentuk antisipasi untuk mencegah interaksi agar menghambat dan mencegah terjadinya penularan. Kita berdoa, melakukan tindakan, dan saling menguatkan untuk menghadapi masa-masa sulit. Orang-orang kemudian lazim bermasker di jalan, saat mereka mengenakan kendaraan. Jalan itu makin hari tidak sehat. Jalan itu biang masalah pernapasan. Kita mudah menyebut udara di jalan kotor dan penuh polusi.

Dalam struktur ilmu kimia—setidaknya yang pernah aku pelajari—salah satu senyawa kimia itu berupa karbon monoksida (CO). Senyawa itu tidak berwarna dan tidak berbau, namun beracun dan membahayakan kesehatan. Bagaimana literatur keberadaan zat tersebut dalam keterubungannya dengan jalan dan kendaraan? Di Majalah Tempo edisi 17 Maret 1979 memuat liputan berjudul “Awas, Bahaya Knalpot”.

 Liputan berkisah jalan dan kendaraan di Jakarta dengan penekanan pada knalpot. Keterangan itu berupa: “Dari sekian banyak knalpot, berhamburan CO (karbon monoxida), semacam gas beracun. Makin macet lalu-lintas, makin banyak pula CO itu mengepul, yang pasti terhirup oleh para pengendara mobil, sepeda-motor, helicak dan para penumpang biskota.”

Keterangan terlihat paradoks dalam logika pembuangan. Biasanya membuang itu mendapatkan keuntungan bagi dirinya, namun ini juga menjadi perkara pembuangnya. Tidaklah seperti membuang sampah sembarangan, yang memberikan dampak kerugian besar bagi orang lain. Atau bahkan membuang kecemasan dalam kerasnya kehidupan, yang membuat diri kita lebih tangguh dan berani membaca keadaan.

Satu hal yang menarik dalam liputan itu adalah pengetengahan risiko yang mungkin bagi kalangan anak bila terpapar CO. Penjelasannya berupa: “Asap knalpot, meskipun berbahaya bagi kesehatan, di Indonesia belum serius dipersoalkan orang. Tapi, seperti kata Prof. Derick Bryce-Smith dari Inggeris, anda mungkin saja merusak otak anak-anak ketika menyetir mereka pergi ke sekolah. Bila asap itu banyak terhirup, katanya, anak anda bisa menjadi dungu, setidaknya kecerdasannya berkurang.”

Pada 1996 knalpot masih perlu disuarakan. Di Majalah Forum Keadilan edisi 6 Mei 1996, kita bisa membaca sebuah tulisan berjudul “Usul Knalpot ke Atas” di rubrik “Forum Pembaca” kiriman dari Abdul Rivai Harahap dari Yogyakarta. Abdul menyumbang saran pada kebijakan pemerintah. Tulisnya: “Sebagai orang kecil, saya mengusulkan agar segera ada surat keputusan bersama oleh Menhub, Menkes, Menperindag, dan Meneg LH tentang keharusan memanjangkan knalpot ke atas hingga menonjol sedikit di atas atap belakang bagi kendaraan-kendaraan bermesin diesel atau penghasil CO dan CO2.”

Tentu saja, apa yang dituliskan oleh Abdul tersebut memiliki landasan kuat dalam cakupan ilmu dan pengetahuan. Ia pun juga menaruh harapan, yang tiada lain adalah mengenai kesehatan. “Saya yakin, keputusan itu sangat bermanfaat dalam menunjang kesehatan masyarakat, di samping mengurangi kecelakaan, karena asap langsung terbuang ke atas dan tidak menghalangi pandangan yang di belakangnya,” jelasnya.

Abdul memberi penegasan bahwa jalan dan kebudayaan berkendara adalah persoalan ilmu pengetahuan yang menyangkut kebijakan dan keselamatan. Sebagai pembaca dan kalangan masyarakat, ide yang ia usulkan adalah sarana membuka dialog, meski harus menerima kenyataan tak digubris. Namun, sekali lagi, hidup itu tiada lain adalah kemauan untuk terus berusaha dalam mengubah sesuatu menjadi yang lebih baik.

Sama halnya mungkin adalah apa yang dilakukan oleh Daniel M. A dalam rubrik tanya jawab di Majalah Bobo. Dugaan kita Daniel pada masanya adalah bocah yang kasmaran terhadap ilmu dan pengetahuan. Ia pernah mengajukan rasapenasarannya terhadap udara. Pertanyaannya termaktub di dalam buku Ensikklo Bobo (2002). Pertanyaan itu berupa: “Samakah udara dengan karbondioksida? Kalau berbeda, apa sebabnya?”.

Beruntungnya Majalah Bobo adalah keterhubungan bocah dengan perjumpaan pada dialog terhadap ragam ilmu dan pengetahuan. Daniel mendapatkan sebuah jawaban: “Udara berbeda sama sekali dengan karbondioksida. Karena sebenarnya udara adalah campuran dari berbagai gas, antara lain nitrogen, oksigen, karbondioksida dan lain-lain. Di antara gas-gas itu yang terbanyak adalah nitrogen sebesar 78%, oksigen sebanyak 21% dan sisanya 1% adalah gas-gas lain termasuk helium, neon, hidrogen, dan lain-lain.”

Di Majalah Intisari edisi Desember 2004, kita menemukan pengisahan lain mengenai udara melalui produk minuman dengan jenama “SUPERO2” yang berslogan: Air Minum Penambah Oksigen. “Karena kita setiap hari berada di dalam gedung/mobil dengan menghirup Udara bekas yang sama tanpa pertukaran dengan udara segar, kita kekurangan oksigen dan berakibat stamina menurun, cepat letih dan daya tubuh melemah,” jelas iklan.


Bahasa itu di satu sisi dilandasi pada perangai ilmiah akan produk yang dipromosikannya, dalam makna lain menjadi sebuah argumen dalam mewacanakan akan udara segar. Di jalan dengan penuh kendaraan yang terkadang membuat kita tak bergairah, kita menemui udara kotor yang membuat kekesalan. Selepas wabah corona berakhir, kita masih memilih bermasker di jalan. Mentupi hidung dan mulut untuk mempersempit senyawa kimia jahat yang bisa merusak tubuh. Meski, kita sedikit terkendala dalam sirkulasi pernapasan.[]

 

*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak