Knalpot "Brong" dan Amar Ma'ruf Nahi Munkar

Kenyamanan terkadang menghanyutkan. Ia bisa menjadi kutukan bagi liyan. Banyak orang mengagumi senja, tapi tidak bagi mereka yang mengalami rabun senja. Sekian orang merasa bahagia dan takjub saat memandangi pelangi, namun itu belum tentu dirasakan oleh mereka yang menderita buta warna. Anak-anak kerapkali merasa nyaman bermain ketika hujan tiba. Hujan itu berurusan pula dengan petir yang berisiko pada keselamatan.

Aku teringat mendiang Mbah Yatmi. Ia adalah kakak dari nenekku dari jalur ibu. Saat hujan tiba, ia seakan mendapati sebuah masalah dalam hidupnya. Ia trauma dengan suara keras. Petir di saat hujan yang menyertakan gemuruh suara menjadi perkaranya. Dalam hidupnya memang belum pernah tersambar petir. Gemuruh petir adalah trauma dari masa lalu yang ia alami semasa hidup di zaman pendudukan Jepang.

Pada sebuah waktu, ia pernah berbagi ingatan bagaimana hidup di zaman penjajahan Jepang. Ia kerap mendengarkan letusan meriam, suara tembakan, bom, hingga ragam suara dari jenis senjata lain. Kekesalan dan kesaksiannya terbawa sampai tua. Saat ada petir, ia segera berlindung di samping dipan dan meminta anggota keluarga untuk menutupinya dengan tampah dalam ukuran besar beserta beberapa lembar kain.

Sepanjang petir menggelegar bersama hujan tiba, ia mengerang kesakitan. Ia begitu menderita. Hujan, baginya adalah kutukan. Kisah ini barangkali berkait kelindan bagaimana kita menyoal suara kendaraan di jalan-jalan. Para mujahid jalanan atau pengendara kendaraan tak sedikit memang memilih “melenceng” dari aturan dan tata sosial dalam kehidupan. Mereka mengingkari standar produk yang menjadi setelan pabrik kendaraan.

Wabah itu dalam kebudayaan jalan salah satunya ditandai dengan penggunaan knalpot “brong”. Knalpot “brong” adalah entitas kenyamanan yang membentuk generasi tuna toleransi dengan imajinasi keren, kemegahan, dan pujian di jalan. Namun, mereka lupa bahwa jalan itu bukanlah miliknya saja. Jalan berhubungan dengan perumahan, orang lain, dan tatanan struktur kebudayaan.


Di sebaran iklan, acapkali pengiklan memberikan keterangan mengenai suara. Suara itu godaan, rayuan, dan hasutan. Dalam dunia pemasaran, lisan dan lidah adalah sambungan antara produsen ke konsumen. Dulu, kita pernah kenal motor dengan nama produk berupa Shogun. Pada edisi 22 November 2000, Di Majalah Panji Masyarakat dapat kita temukan iklan motor keluaran dari Suzuki tersebut. Di iklan, kita mendapat keterangan: “Suaranya mantap keluar dari knalpot baru yang trendi dan sportif”.

Shogun memberi kisah akan suara, kendaraan, dan jalan. Tentu saja, Shogun tidak mengajak kita untuk mengganti knalpotnya dengan knalpot “brong”. Pelajaran suara dalam almanak kehidupan manusia, aku kira terjadi dalam banyak ruang. Baik itu di keluarga, masyarakat, hingga pendidikan. Bahkan dalam tataran politik, suara  itu diperebutkan dalam kepentingan kekuasaan dan jabatan.

Agaknya, secara mendasar, dalam kontestasi kebudayaan knalpot “brong” yang diberhalakan para mujahid jalan itu, kita perlu menitikkan satu hal. Bisa jadi kelemahan yang mungkin menyebabkan kebodohan akut itu adalah mereka gagal mempelajari ilmu fisika. Bahwa dalam skema pendidikan, setidak-tidaknya ihwal suara termasuk di dalam materi gelombang. Dengan konsep itu, suara berhubungan pula dengan telinga dan kesehatan.


Buku garapan Friedrich Nikol (1990) yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Agus Setiadi dengan judul Mengapa Bisa Begitu? Serba-Serbi Fisika Sehari-Hari (Gramedia, 1992) rasanya penting dibaca. Salah satu keterangan ia tulis: “Setiap nada ditimbulkan oleh benda yang bergetar. Semakin banyak getaran yang terjadi dalam waktu sedetik, semakin tinggi pula nada yang terdengar. Jumlah getaran per detik itu disebut frekuensi; satu getaran per detik disebut “1 Herzt”. Telinga manusia hanya bisa menangkap nada-nada yang memiliki frekuensi dari sekitar 20 Herzt sampai 20.000 Herzt.”

Keterangan terlalu saintifik, yang terkadang mudah dienyahkan dan membuat tuduhan fisika itu memuakkan. Mari kita mengambil benang merahnya: bahwa dalam sistem pendengaran yang diemban oleh telinga itu ada batasan dalam hitungan frekuensi. Dengan kata lain, suara keras itu berbahaya. Mari kita menilik liputan tentang bahayanya suara keras. Di rubrik “Kesehatan” Majalah Tempo edisi 22 Januari 2006, terdapat tulisan berjudul “Bahaya Suara Keras”.

Di liputan, kita mendapatkan keterangan penelitian di Ohio State University, Amerika Serikat mengenai penyakit berupa acoustic neuroma atau tumor lunak dalam saraf pendengaran. Di mana dalam tulisan tersebut, penyakit itu disebabkan oleh dua hal. Pertama adalah kebiasaan mendengarkan musik dengan volume yang tinggi. Kemudian kedua berhubungan dengan kendaraan sebagaimana tertulis: “Peringkat berikutnya adalah orang yang sering mendengar suara mesin dan bunyi perkakas pembangunan kontruksi, disusul orang yang kerap mendengar suara motor”.


Di edisi 8 November 2000, Majalah Panji Masyarakat pamrih mengabarkan suara. Di tulisan berjudul “Waspada Suara Bising”, kita mendapat penjelasan data mengenai intensitas suara dengan tingkatan risikonya. Di angka kurang dari 80 desibel merupakan batas aman. Di antara 90 desibel – 110 desibel menyebabkan risiko gangguan. Sementara itu, angka lebih dari 120 desibel menyebabkan gangguan bagi sistem pendengaran.

Untuk memulai membentuk kesadaran toleransi suara, para mujahid knalpot “brong” itu sejatinya tak perlu langsung belajar akan ilmu fisika. Mereka cukup menyandarkan pada logika dakwah. Bila kendaraan yang ia gunakan itu sebagai alat berdakwah di tengah jalan yang lurus, berkelok, dan terjal, maka knalpot itu adalah corong suaranya. Konon, dakwah itu perlu dilakukan dengan santun. Tidak perlu menggunakan suara keras apalagi kemudian dilakukan dengan cara kekerasan. Bukankah selama itu terjadi justru terkesan menakutkan?

Para mujahid knalpot “brong” perlu meresapi makna amar ma’ruf nahi munkar. Bahwa memang sejatinya memikul tanggung jawab untuk mengajak dalam kebaikan dan mencegah kemungkaran. Di mana itu perlu dilandasi dengan cara-cara yang baik. Sepanjang jalan yang mereka tempuh, tentu tidak perlu kita kemudian merincikan ukuran desibel dari jenis-jenis knalpot “brong”! Mari para mujahid knalpot ”brong”, kita terus berlomba-lomba dalam kebaikan dan tak boleh berlama-lama mendekam dalam tuna pengetahuan.[]

 

*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak