Keanekaragaman Hayati dan Penghormatan Alam: Mengkaji Antroposen untuk Berpikir dan Bertindak di Kepunahan Keenam

 


Masyarakat adat dalam melestarikan keanekaragaman hayati (National Geographic Indonesia)

Di wahana media sosial, kita mudah terpukau tatkala menonton aktivitas para fotografer puspa dan satwa bekerja di hutan. Mereka menghadirkan kepingan imajinasi yang indah dan memesona sebagai ajakan untuk mengerti dan meresapi keanekaragaman hayati (kehati). Di kesempatan lain, kita juga mudah menemukan beberapa kalangan yang mengoleksi jenis puspa dan satwa liar di rumah mereka dipamerkan lewat media sosial. Dengan dalih merajut relasi terhadap keberadaannya, namun di sana terjadi sebuah perubahan makna dari hakikat tugas manusia terhadap lingkungan alam.

Konsep alam yang terumahkan ini menjadi sebuah dilema jika terus dibiarkan ke depannya. Alih-alih memiliki klaim peduli terhadap alam, kenyataannya hal tersebut menimbulkan masalah besar bagi keberlanjutan nasib keanekaragaman hayati. Tidak kalah penting dari itu, hal tersebut kemudian membawa pada ingatan akan hutan, sebagai rumah bernanung satwa dan puspa dalam tegaknya keanekaragaman hayati.

Hutan secara makna bagi kehidupan modern nampak mengalami perubahan makna. Manusia terlihat makin menjauh dari ikatan terhadap hutan. Dua peristiwa di atas layak menjadi bukti penting, saat kerinduan terhadap puspa dan satwa kemudian mengharuskan orang-orang menghadirkan di dalam rumahnya. Ironi. Sedangkan di sisi lain, fenomena tersebut secara langsung berpengaruh pada perburuan dan perdagangan satwa dan puspa yang sejatinya dilindungi terus marak terjadi.

Sejak masa lalu, hutan memberi ikatan penting bagi kehidupan. Selain menyediakan banyak bahan makanan untuk keberlangsungan hidup manusia, hutan telah menjadi habitat bagi beragam tumbuhan dan hewan. Kemudian kita tahu, krisis iklim dan deforestasi telah mengubah semua dengan memiliki dampak panjang menurunnya populasi dan kepunahan. Permasalahan itu hendaknya menjadi refleksi penting guna meneroka kemungkinan demi kemungkinan yang bisa dilakukan di masa depan agar setidaknya meminimalisir risiko yang terjadi.

Rheza Maulana, S. T., M. Si dari National Geographic Indonesia (5 Desember 2024) dalam materi “Keanekaragaman Hayati Indonesia: Tantangan dan Upaya Pelestarian”, menyampaikan poin penting akan terjadinya perubahan sudut pandang terhadap keanekaragaman hayati. Dikatakan olehnya, “Dahulu satwa liar dianggap lebih dari “binatang”, dihormati, disegani, diberi gelar seperti “datuk”. Ada pula konsep “hutan larangan”, dilarang menebang dan memburu, khawatir menimbulkan bala. Satwa liar yang tadinya dihormati dan dilindungi, kini menjadi objek untuk dimiliki dan dieksploitasi. Masyarakat yang tadinya perawat dan pelindung, kini menjadi penakluk dan perusak.”

Pernyataan tersebut tentu sangat berhubungan erat pada aspek kebudayaan manusia terhadap alam. Tak dapat dipungkiri, tentu ini disebabkan pula akan keberadaan fase antroposen, yang menjadi penyebab utama pada masa yang sampai saat ini kita hadapi bersama, berupa kepunahan keenam. Jurnalis dan penulis berkebangsaan Amerika Serikat, Elizabeth Kolbert menuturkan akan keberadaannya telah berlangsung sejak Revolusi Industri kemudian diperkuat ledakan penduduk pasca Perang Dunia II.

Di dalam salah satu buku garapannya, yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Zia Anshor, dengan judul Kepunahan Keenam: Sebuah Sejarah Tak Alami (Gramedia Pustaka Utama, 2020), Kolbert memberikan penjelasan: “Kata “Antroposen” adalah ciptaan Paul Crutzen, ahli kimia Belanda yang turut menerima Hadiah Nobel karena menemukan efek senyawa kimia yang melubangi lapisan ozon. Penemuannya tidak bisa dianggap remeh; andai tidak ditemukan—dan andai zat-zat kimia perusak ozon terus diguakan secara luas—“lubang” ozon yang membuka tiap musim panas di Antartika akan melebar sampai akhirnya meliputi seluruh Bumi.”

Crutzen pada tahun 2000 menggunakan istilah Antroposen bagi era geologi yang didominasi oleh manusia. Era ini ditandai perubahan-perubahan signifikan ekologi global akibat pencemaran, perubahan muka bumi oleh perkotaan dan pertanian, kepunahan spesies dan invasi spesies asing, serta perubahan iklim (Arisetiarso Soemodinoto, 2018).

Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia ini tentu menjadi ruang berdialog yang secara berkolaborasi untuk mencari titik tengah dalam membahas keberadaaan permasalahan keanekaragaman hayati di Indonesia. Cara-cara yang dilakukan tentu mengandaikan adanya transdisiplin pengetahuan. Bahwasannya di dalam meneroka tantangan dan peluang yang ada, membutuhkan beragam pisau analisis dari berbagai bidang keilmuan. Tak terkecuali bagaimana perkembangan wacana mengenai antroposen.

Nampaknya, pengertian antroposen masih kerap digeneralisasi, dengan artian semua perubahan dan bahkan kerusakan di Bumi, tak terkecuali berhubungan dengan keanekaragaman hayati dipukul rata pelakunya adalah setiap manusia. Generalisasi tersebut didasarkan pada pandangan humanisme universal. Pandangan tersebut perlu kita telaah lebih lanjut. Kritik terhadap wacana humanisme universal dari bergulirnya antroposen pernah dikemukakan seorang cendekiawan, Siti Murtiningsih. Ia menulis sebuah opini berjudul “Manusia dan Perubahan Iklim” di Harian Kompas edisi 8 Agustus 2023.

Ia menjelaskan: “Wacana humanisme universal mengaburkannya. Seolah semua manusia yang menyebabkan perubahan iklim dan semua manusia pula yang akan terdampak efek negatifnya. Padahal, tidak semua manusia menggunakan bahan bakar fosil, juga tidak semua manusia melakukan penggundulan hutan. Orang-orang yang tinggal di pedalaman, yang daerahnya bahkan belum terjangkau listrik, tidak pernah menikmati manfaat penggunaan bahan bakar fosil. Pihak yang melakukan penggundulan hutan biasanya bukan individu, melainkan korporasi dengan modal besar.”

Dari sana kita paham, bahwa kerusakan alam yang sedang berjalan mengandaikan definisi yang ketat dan detail. Pertama, pentingnya mendefinisikan tindakan yang menyebabkan kerusakan. Satu hal yang tak dapat dipungkiri jika berkaca pada beberapa tahun terakhir tentunya keberadaan perusahaan yang menyumbang emisi karbon hingga menimbulkan kerusakan alam. Mereka sangat bersentuhan pada pembukaan hutan di banyak wilayah yang ada di Indonesia.

Maka, satu hal mendasar yang perlu dilakukan tentu saja adalah regulasi yang ketat, adil, dan berpihak pada kalangan masyarakat kecil. Sebab, tidak sedikit kerusakan hutan dengan dalih industrialisasi telah mengancam dan memperburuk kalangan masyarakat dan lingkungan adat. Cerita lama ini terus berlangsung saat pembangunan mengabaikan kemanusiaan. Sedangkan mereka kalangan masyarakat dan lingkungan adat di banyak wilayah di Indonesia tak sedikit pula yang mempertahankan kebudayaan dan pengetahuan lokal yang berguna untuk menjalin terhadap alam dan menghargai keanekaragaman hayati.

Legalitas aturan dan perundangan belum optimal menjamin kelestarian kehati. Oleh karena itu, usaha tambahan perlu diupayakan. Salah satunya adalah memanfaatkan peran budaya dan kearifan tradisional guna pelestarian kehati di tingkat ekosistem, jenis, maupun genetika. Berdasar studi linguistik, Indonesia mempunyai 726 aneka bahasa yang tergolong menjadi 336 kelompok etnik budaya (Lewis 2009 dan Mittermeier et al. 1997).

Kebudayaan dan pengetahuan lokal sangatlah penting dan perlu terus dijuarakan. Hal tersebut seturut dengan sebuah naskah susunan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang berjudul Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia 2014 (2014). Dijelaskan, “Kebinekaan budaya Indonesia ini mengandung pengetahuan tradisional yang selaras dengan pemberdayaan dan pelestarian kehati.” Pernyataan tersebut membuka keran akan penghormatan terhadap kebudayaan dan pengetahuan lokal yang tidak mengandaikan adanya cerita tunggal.

Setiap masyarakat memiliki ritus dan upaya sakral untuk mempertahankan relasinya terhadap alam dari godaan janji-janji pembangunan yang dapat memberi ancaman. Seperti misalkan riset yang pernah dilakukan sekian ilmuwan yang termaktub dalam buku berjudul Situs Keramat Alami: Peran Budaya dalam Konservasi Kenekaragaman Hayati (2009). Penerbitan buku tersebut atas kerja sama antara Yayasan Obor Indonesia, Komite Nasional MAB Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Conversation International Indonesia.

Ervizal A. M. Zuhud (2007) memetakan konservasi tumbuhan kedawung di Taman Nasional Meru Betiri dengan penerapan stimulus alamiah, manfaat, dan religius (kerelaan berkorban/keikhlasan) yang mengiringi pengelolaan di dalam hutan. Darmanto (2007) meriset bagaimana hutan di Pulau Siberut, Sumatera Barat menjadi tempat keramat dan perubahan sosial yang menjadikan masyarakat setempat senantiasa mengedepankan asas keseimbangan. Sementara Rio Rovihandono (2007) melalui riset dan pengalamannya berkisah mengenai keberadaan situs keramat alami menjadi landmark budaya dari beragam adat, kearifan pengelolaan sumber daya alam, dan nilai budaya komunitas adat yang luhur dalam menjunjung pengalaman dan praktis secara ekologis melindungi alam.

Keberadaan pengetahuan lokal tersebut perlu menjadi perhatian yang serius dari berbagai pihak sebagai kesadaran bahwa tiap nilai dan tradisi mampu melahirkan prinsip dalam menjaga keseimbangan. Pengetahuan lokal itu pula kemudian menjadi modal sosial dalam merangkul keberagaman. Penghargaan terhadap pengetahuan lokal adalah satu langkah dalam penghormatan akan alam, keanekaragaman hayati, dan keberlanjutan kehidupan dengan pengarusutamaan keseimbangan antara satu dengan yang lainnya.

Pada praktiknya, penjagaan pengetahuan lokal tidak bisa hanya sebatas dijalankan oleh tiap komunitas masyarakat. Namun, melainkan dari itu, keberadaannya dapat merangsek dan memberikan kontribusi pada relasi sistem sosial dalam masyarakat. Mengacu pada keperluan penafsiran keberadaan wacana antroposen, maka pengetahuan lokal dan juga kebudayaan harus diresapi oleh para kapital maupun pemilik modal. Di mana dalam aspek ini, pemerintah menjadi jembatan melalui peraturan yang ketat dan berpihak pada kelompok masyarakat adat.

Pemahaman terhadap kebudayaan dan pengetahuan lokal tersebut menjadi sebuah kebajikan saat mengambil sebuah kebijakan. Kebijakan, atas nama pembangunan harus taat dan jujur pada fakta objektif yang ada. Asas keadilan dan keberlanjutan lingkungan hidup harus menjadi prioritas. Dengan demikian tidak memberikan ruang manipulasi dan memaksakan kehendak untuk kelompok semata, yang dalam jangka panjang melahirkan kerusakan dan masalah sosial dalam berbagai dimensi kehidupan.[]


*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir dan Budayawan. Menulis Buku Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022) dan Bersandar pada Sains (2022).


Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak