Ingatan
apa yang masih melekat dalam benak kepala Anda ketika pada suatu masa kita
diberi cerita, kisah, hingga pengetahuan dari orang tua tentang bulan dan
bintang yang terlihat di langit ketika malam tiba? Kita mungkin merasakan malam
yang meski sunyi namun penuh damai dan imajinasi. Kita mengeja kemungkinan demi
kemungkinan dalam keluasan alam semesta ini dengan kata dan ucapan yang
sederhana.
Tiba
pada suatu masa, kita menjajaki halaman demi halaman penuh ilmu pengetahuan.
Tak terkecuali berhubungan dengan alam semesta. Kita menyimak sebuah buku
garapan Felix Pirani dan Christine Roche yang diterjemahkan oleh Andang L.
Parsan dan diterbitkan penerbit Mizan pada tahun 1997. Mulanya buku berjudul The Universe for Beginners yang telah
terbit setahun sebelumnya kemudian terbaca Mengenal
Alam Semesta for Beginners.
Tentu,
menghiraukan sematan “for Beginners” berarti kita teringat sejarah dalam
perbukuan di Indonesia ada masa berbagai wacana keilmuan dalam bentuk buku
dengan menggunakan judul yang tersematkan frasa itu. Baik itu sains, sosial
humaniora, filsafat, hingga sastra. Kita terpikir bahwa ilmu pengetahuan
ternarasikan punya level maupun tingkatannya, yang mungkin juga bisa dikatakan
feodal.
Kita
tak perlu memperpanjang bahasan itu. Kita ingin segera menjumpai halaman demi
halaman buku yang disuguhkan dua penulis tersebut. Buku ingin menunjukkan bahwa
alam semesta penuh pertanyaan. Tak mengherankan, ketika kita mau berani
menyengaja, selain uraian maupun penjelasan, kalimat bernada tanya dengan
ditandai tanda maupun tidak akan terhitung. Setidaknya kalimat bernada tanya
sejumlah enam puluh satu.
Buku
terbuka dengan sebuah pertanyaan khas filsafat: “Apa sih, yang ada?” kemudian
bersambung pada uraian: “Lebih dari sekadar yang tampak. Yang dapat terlihat di
luar atmosfer Bumi hanyalah Matahari. Bulan, sejumlah bintang, setengah lusin
planet, dan sejumlah nebula, kadangkala ada komet. Astronom memperkuat
kemampuan mata telanjang dengan teleskop, spektograf, piringan radio, dan
bertangki-tangki cairan pembersih (untuk lensa, dan lain-lain). Mereka
menempatkan peralatan itu pada roket dan satelit, dan di permukaan tanah. Jadi
‘penglihatan’ mereka tidak sama dengan penglihatan kita sehari-hari.”
Penjelasan
membawa pembaca untuk berpikir keras berkait dengan penglihatan. Penjelasan itu
pula yang akan menegaskan penemuan teleskop menjadi sejarah terpenting dalam bahasan
penglihatan di benak manusia. Teleskop menjadi bagian penting sebagai upaya
manusia dalam melakukan pemotretan sistem alam semesta untuk memahami bahwa
keberadaannya punya sejarah.
Halaman
demi halaman menjadi perjalanan panjang bagi pembaca untuk memahami
perkembangan teori, penemuan tokoh demi tokoh, kronik, bahkan perdebatan yang
berkait antara sains dengan teologi. Buku itu kendati dibingkai untuk “pemula”
setidaknya kurang tepat. Lebih-lebih buku perlu dijadikan sebagai satu sumber
yang kemudian memancing keterikatan diri untuk terus bergairah dalam pencarian
demi pencarian. Barangkali itulah makna ilmu pengetahuan, jalan sunyi untuk
tidak cepat merasa puas.
Dalam
tataran ilmu pengetahuan, kita diperkenalkan kosmologi tersebut sebagai ilmu
yang mempelajari alam semesta. Kosmologi menyejarah dalam runtutan pembahasan
dari masa demi masa. Terbaca sebuah penjalasan di dalam buku: “Kosmologi barat
dimulai dengan filsuf-filsuf dari Miletus, sebuah koloni Yunani kuno di Asia
Kecil. Thales, konon yang paling awal di antara mereka, diyakini sebagai yang
pertama menolak sudut pandang mistik kosmologi dan mulai menyusun gambaran
sekuler mengenai Alam Semesta.”
Beralih
dari sana, kita justru teringat salah satu edisi Majalah Hai. Di terbitan No. 1, Tahun ke-IV. 29 Januari 1980, majalah
tersebut menerbitkan edisi khusus berjudul Menjelajah
Alam Semesta. Gambar sampul memuat wajah Galileo Galilei, salah satu sosok
penting dalam dunia astronomi. Pembaca setia majalah tentu dimanjakan dengan
wacana ilmu pengetahuan sejumlah 34 halaman tersebut.
Gagasan
ilmu yang berkembang di masa Yunani tersampaikan. Penjelasan tersampaikan: “Orang
Yunani masa itu sudah cepat melepaskan gambaran bahwa bumi itu datar. Bumi mestinya
berbentuk bundar, karena bayangannya yang nampak di bulan berbentuk lingkaran.
Dan jika bumi datar, apa sebabnya kapal yang berlayar menjauh nampak seakan
‘tenggelam’ di balik batas pandangan?”
Penjelasan
membawa pada kehadiran perdebatan maupun sanggahan yang lahir dalam teori
astronomi. Itu pula yang menandaskan bahwa pengetahuan ilmiah tidak memberi
jaminan kebenaran mutlak, namun sementara. Dalam artian lain sebagai sebuah
kebenaran dalam dunia ilmiah masih bisa disanggah selama ada data, fakta, dan
metode yang lebih lengkap dan sempurna. Majalah menjelaskan sosok Nicolaus Copernikus,
sebagai sosok pendobrak ajaran keliru.
Salah
satu gagasan pentingnya tentu saja adalah mengawali situasi pembuktian bahwa
matahari sebagai pusat semesta. Paragraf dalam majalah tertulis: “Pada suatu
hari ketika sedang menyimak naskah-naskah kuno, Kopernikus menemukan catatan
saran yang dulu dikemukakan oleh Aristakhus, yang mengatakan bahwa mungkin saja
matahari merupakan pusat alam semesta. Kopernikus memikirkan saran itu dan
membandingkannya dengan pengamatan-pengamatan yang dilakukan kemudian.”
Nama
demi nama lain tersebutkan. Baik itu Tycho Brahe, Johannes Kepler, hingga
Galileo Galilei. Galileo berkait dengan revolusi teropong. Di majalah
menjelaskan: “Lalu pada tahun 1608, seorang di antara mereka – yang bernama Hans Lipperhey – secara kebetlan
meemukan teropong….Dan orang yang pertama-tama memanfaatkan teropong atau
teleskop untuk mengamat-amati cakrawala, adalah Galileo Galilei.”
Meski
melakukan terobosan yang menggerakkan pencarian ilmu pengetahuan, nasibnya
kurang beruntung sampai akhir hayatnya. Ia ketika itu mendapat pertentangan
dari pihak gereja hingga mendapatkan hukuman tahanan rumah. Baru setelah 359
tahun pihak gereja memberikan pengakuan bahwa salah setelah pada 1633 dituduh
“kafir” melalui Lembaga Inkuisisi karena mendukung astronom Copernius. Teori
Copernicus dianggap bertentangan dengan Injil.
Abad
ke-16 menjadi masa yang disebut dengan zaman pencerahan dengan berjalannya
revolusi ilmiah. Tak terkecuali bagi perkembangan kosmologi. Masa di mana ilmu
pengetahuan juga saling sambut antara satu dengan lainnya, meski tiap zaman
harus dikatakan selalu ada tantangannya. Dunia astronomi terus berkembang
menjalar pada waktu demi waktu dengan perkembangannya hingga abad-XXI ini. Di
halaman buku Felix Pirani dan Christine Roche, mereka terus mengurai,
menjelaskan, dan menafsir.
Sederet
nama tokoh di tiap abad tersebutkan. Para ilmuwan terus mencoba untuk membuka
tabir yang menyelimuti alam semesta dengan teori dan penggambaran yang lengkap.
Felix dan Roche menulis: “Belum ada tanda-tanda akhir bagi kosmologi, atau
sebuah teori yang “lengkap”. Seperti cabang sains yang lain, kosmologi terus
tumbuh. Selama masih ada manusia, sains akan terus tumbuh.” Pernyataan yang
menegaskan bahwa alam semesta senantiasa mengajak untuk terpikirkan, sekalipun
bagi kita “para pemula”.[]
*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan.