Sejarah Januari adalah sejarah Indonesia, yang ketika masih berada di bawah kolonialisme mengenal langit. Langit yang memantulkan cahaya melalui bintang-bintangnya ketika malam hari. Suasana yang dirindukan kita semua ketika masih menjadi bocah. Ya, tepatnya pada 1 Januari 1923. Di ketinggian 1.310 meter di atas permukaan laut itu di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat itu, Observatorium Bosscha menjadi bukti pijakan pengetahuan astronomi kita sejak abad XX.
Situasi historis itu yang menautkan Bandung dan Amsterdam, Belanda sebagaimana kenang Bambang Hidayat, Direktur Observatorium Bosscha 1968-1999. Astronom kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 18 September 1934 itu menuliskan dalam sebuah buku berisi kumpulan tulisannya, berjudul Kepalungan Budaya: Batas Pengetahuan, Pemberdayaan Iptek dan Ilmuwan Masa Depan (Pustaka Jaya, 2022).
Bambang menulis untuk mengenang sejarah: “Para ahli fisika di Bandung telah meneliti sinar kosmik pada ketinggian 20 km pada awal tahun 1920-an. Kota ini yang terletak beribu kilometer jauhnya dari pusat metropolis, Amsterdam, mempersembahkan cabang pengetahuan baru bagi dunia, suatu kebanggan tersendiri bagi ilmuwan metropolis. Jadi, tampak bahwa pengembangan ilmu murni dan terapan di Indonesia pada akhir abad ke-19 sudah mencapai tingkat yang tinggi dan berjalan berdampingan.”
Mengapa Amsterdam yang menjadi jangakaun? Ini tak terlepas keterhubungan pada Belanda tentu saja. Selain itu, ada nama penting, Karl Albert Rudolf Bosscha. Siapakah sebenarnya Bosscha? Kisahnya menarik untuk ditelaah. Anda tahu, Bandung memiliki kampus ternama yang menjadi idaman anak-anak Indonesia, yang bernama Institut Teknologi Bandung (ITB). ITB baru diresmikan pada 2 Maret 1959. Namun, muaranya pada Technische Hoogeschool te Bandung (THB) yang mulai beroperasi pada 3 Juli 1920.
Bosscha adalah orang Belanda yang turut terlibat dalam serangkaian upaya pendirian Technische Hoogeschool Bandung. Di buku susunan Goenarso, sosok yang pernah menjadi guru besar teknik sipil di ITB, Riwayat Perguruan Tinggi Teknik di Indonesia Periode 1920-1942 (Penerbit ITB, 1995), kita sedikit mengerti peranan Bosscha. Dijelaskan, “Dalam tahun 1918 datanglah di Nederland salah satu delegasi dari Indonesia, seorang di antara anggotanya adalah K.A.R. Bosscha.” Peranan Bosscha menjadi delegasi atau perwakilan. Sejak 1917, di Belanda telah ada pembicaraan mengenai pendirian sekolah tinggi teknik (technische hoogeschool).
Bosscha tidaklah dikenal sebagai seorang ilmuwan. Ia dikenal sebagai juragan perkebunan teh. Pada masanya pernah menjadi Ketua Kebun Teh di Jawa Barat. Namun, dedikasinya terhadap ilmu dan pengetahuan sangatlah besar. Latar belakangnya adalah anak seorang guru besar ilmu Fisika di Akademi Militer di Breda dan Direktur Sekolah Politeknik di Delft.
Saat berusia 22 tahun, ia hijrah ke Indonesia. Mula-mula bekerja di perkebunan teh milik pamannya yang ada di Sinagar, Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Pekerjaan itu sejatinya membentuk nalar keilmuannya, sebab ia kemudian tertarik meneliti pohon teh. Suatu saat ia pernah diajak kakaknya ke Kalimantan, bekerja di tambang emas. Ia kurang minat. Ketekunannya terhadap teh mengarahkan ia tertarik pada ilmu botani. Sampai akhirnya kemudian bekerja untuk saudaranya pada perkebunan teh yang ada di Malabar.
Sebagai juragan, Bosscha mendermakan kekayaan untuk ilmu dan pengetahuan. Gagasan pendirian Observatorium tak lepas dari ayahnya. Ayahnya pernah berpesan jika punya uang lebih agar digunakan mendirikan tempat yang berfungsi untuk penelitian dan pengamatan alam semesta. Gayung bersambut. Selain bertemu dengan sahabatnya, seorang ahli perbintangan, J Voute, pemerintah Belanda turut memberi dukungan. Bahkan pada 12 September 1920 dalam pertemuan yang berlokasi di Bandung, dibentuklah Perkumpulan Ahli Bintang Hindia Belanda/Nederlandsch Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV).
Bosscha dan Voute berkeliling ke beberapa negara maju. Di Majalah Putera Kita Edisi No. 120, Tahun IX, 10 Desember 1984 sosok itu diprofilkan pada halaman pertama. Kita mendapat penjelasan: “Mereka berdua berkelana di negara-negara yang telah maju. Sambutan cukup baik. Peralatan disanggupi oleh Jerman. Dari Observatorium London mendapat sumbangan buku-buku ilmiah tentang perbintangan.”
Dalam proses pembentukan dan pendirian, Bosscha berperan sebagai ketua umum pelaksanaan pendirian observatorium. Dengan jasa yang diberikan, nama Bosscha kemudian disematkan pada observatorium yang diresmikan oleh Gubernur Jenderal Mr. Dr. Dirk Fock pada 1 Januari 1923 tersebut. Observatorium Bosscha memberikan pijakan imajinasi akan keluasan alam semesta di tanah kolonial. Ketika sudah mendapati kemerdekaannya, pihak Belanda resmi menyerahkan observatorium ke Indonesia pada 17 Oktober 1951.
Tahun demi tahun berlalu. Pada 2023, Observatorium Bosscha genap berusia 100 tahun. Di tanah yang pernah menjadi tempat bermukim nama dari seorang Belanda kelahiran 15 Mei 1861 dan meninggal pada 26 November 1928 tersebut, pengetahuan tentang langit senantiasa ditipkan untuk ditegakkan. Langit yang memberikan inspirasi akan keluasan alam semesta dengan hadirnya bintang, bulan, matahari, asteroid, dan lainnya memberi petunjuk bahwa pemaknaan akan kehidupan adalah dinamis. Alam semesta masih menyembunyikan rahasia. Untuk memahaminya dengan satu jalan, berupa diteliti dengan rancang bangun ilmu dan pengetahuan.[]
*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir dan Budayawan.
Menulis Buku Sekadar Mengamati: Tentang
Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022) dan Bersandar
pada Sains (2022).