Di bokong truk, kita masih kesulitan menemukan Karlina
Supelli dengan petikan petuah yang pernah diungkap. Mungkin saja, jejaring
sopir truk se-Indonesia belum terlalu populer dengan ceramah ilmiah maupun
kuliah umum Karlina dalam ragam temanya. Nah, saran saja pada sopir dan
pengelola truk di manapun berada: mungkin ini saatnya, agar kutipan-kutipan
yang ada di bokong truk lebih bervariasi.
Kita mudah terlambat melakukan kegiatan yang tidak memberi
dampak secara cepat dalam hidup. Pada November 2023 lalu, harusnya kita berhak
merayakan satu dekade pidato kebudayaan yang disampaikan oleh Karlina di Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ). Judulnya megah, “Kebudayaan dan Kegagapan Kita”. Namun,
kemalasan memang satu hal menenteramkan. Peristiwa bersejarah itu terjadi di
Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 11 November 2013.
Diriku yang masih gagap terhadap segala kemungkinan
dalam hidup, hanya punya sedikit ingatan tahun itu. 2013 itu bertemu Ujian
Nasional (UN) dengan jumlah 20 paket soal berbeda. Diriku menghadapi tegangan
akan ketakutan terhadap dua pelajaran: Bahasa Indonesia dan Fisika. Dulu,
penentu UN itu pensil 2B dengan ketangkasan mengarsir di lingkaran jawaban yang
tidak boleh sampai keluar garis.
Hidup dibuat tegang dengan berhadapan pengawas
yang berasal dari guru sekolah lain, yang selalu berkata: “Dokumen Negara
Sangat Rahasia” sebelum membagikan soal. Semua murid dibuat menangis sebelum UN
agar benar-benar yakin bisa lulus. Dengan membayangkan bendera kuning di
perempatan menuju rumah masing-masing. Sebab perempatan sepanjang jalan dari
sekolah ke rumahku terdekat adalah pasar: dulu saya bertanya-tanya, apa yang
hendak dimaksudkan oleh motivator yang diundang ke sekolahan?
Dugaanku bendera kuning itu melambangkan bendera
Golkar. Rupanya, yang dimaksudkan adalah bayangan bila ada orang terdekat kita
meninggal. Mengapa banyak motivator ketika memancing kesedihan dan tangis
peserta kerap menggunakan analogi kematian orang terdekat? Bukankah kita bisa
merenungi dari melihat tulisan-tulisan yang ada di bokong truk?
Sejatinya, bokong truk memberi gambaran kebudayaan kita.
Kita mungkin mudah menangis jika kalimat-kalimat yang tersaji tidak memberi
gairah dalam memahami cuaca kultural kebangsaan. Bolehlah dirimu ingat tatkala
suatu hari menjumpai gambar seorang bapak tua tersenyum dan melambaikan tangan
dan berucap: “Piye, kabare? Penak jamanku, to?” Kita sudah menduga gambar itu
siapa. Mungkin kita sedih dan bisa menangis atas ingatan pada masa-masa
berlalu.
Di TIM, 11 November 2013, orang bergegas setelah
melihat poster kegiatan. Agenda pidato kebudayaan Karlina dalam poster
dibingkai sedemikian rupa dengan diberi gambar sebuah truk. Di gambar truk,
kita tidak melihat kata-kata yang agak panjang. Kita hanya menemukan tulisan: B
1980 AX. Truk terlihat membawa muatan dengan beberapa ikatan tali yang kencang.
Ketika menyimak pidato, kita tidak menemukan satu kata
“Truk” yang ditulis oleh Karlina. Ia justru mengutarakan kata-kata puitis untuk
memenuhi janji kepada publik—keraguannya sebagai seorang saintis perlu
membicarakan kebudayaan. Tokoh dan pikiran ia sampaikan dengan fasih,
terstruktur, dan menghubungkan antara satu bagian dengan lainnya. Kerangka
pikir dalam pidatonya tidak tersekat dalam tema mendasar, namun juga terkait
banyak hal di luarnya.
Karlina membicarakan masyarakat warga dalam perjalanan
negara. Ia menulis: “Reformasi dapat kita pandang sebagai upaya menggambar
ulang peta kebudayaan untuk menjelmakan apa yang baik bagi hidup bersama. Pada
mulanya, kita masih menebar banyak omongan mengenai masyarakat warga karena
kita percaya bahwa sebuah negara yang baik bukan hanya dibangun oleh
badan-badan publik dan pasar, tetapi juga masyarakat warga. Anggota masyarakat
warga bukan hanya kerumunan orang yang sibuk memburu kepentingannya
sendiri-sendiri, tetapi tatanan warga yang sadar akan arti hidup bernegara.”
Reformasi itu mengingatkan 1998. Dulu, Karlina bersama
Gadis Arivia, Wilasih, dan tokoh lain menggerakkan Suara Ibu Peduli. Mereka
meletakkan perkara “susu” sebagai persoalan penting dalam tuntutan—di balik
maksud penentangan terhadap rezim Orde Baru. Kita kemudian mengerti ingatan dan
pengakuan. Di “Liputan Khusus” Majalah Tempo
edisi 28 Mei 2023 kita melihat Karlina dalam tulisan berjudul “Protes Susu Kaum
Ibu”.
Kita mengerti, Karlina bercerita siasat ketika
memimpin demonstrasi. Di bundaran Hotel Indonesia, mereka dikerumuni dan
diinterogasi polisi. Penjelasan tertulis: “Menjawab interogasi itu, Karlina
berdalih sedang mengikuti sesi pemotretan. Lalu ia mengembangkan payungnya.
Tanpa diberi aba-aba, para juru foto di sekitar Karlina menimpali bahwa dia
model kalender. Jadilah Karlina berpose layaknya peragawati dan fotografer
bergantian menjepretnya. Cekrek! Cekrek! Polisi percaya dan membiarkan ia
berlalu.”
Penjelasan detail kita dapatkan dalam buku Catatan Perjalanan Suara Ibu Peduli
(Yayasan Jurnal Perempuan, 1999). Di sana kita bisa mengerti kronik yang
terjadi. Liputan beberapa koran di lampirkan di sana. Dalam Harian Merdeka edisi 24 Februari 1998 liputan
tersemat judul “Astronom Karlina Leksono Dinaikkan Mobil Polisi”. Kita mulai
sadar akan keberadaan kendaraan.
Sayangnya, kita tak dapat keterangan tentang truk.
Yang kita dapatkan di antaranya kalimat berikut: “Aksi yang berlangsung selama
15 menit itu memang cukup menarik perhatian. Sampai-sampai arus kendaraan di
sekitar Bundaran HI macet. Puluhan sepeda motor dan sejumlah kendaraan pribadi
ikut berhenti untuk menyaksikan aksi tersebut.”
Agak mundur sedikit, kita membuka Majalah Tempo edisi 28 Maret 1992. Di halaman
enam terdapat foto. Foto berupa truk dengan rombongan seniman. Keterangan
tertulis dalam foto: “Seniman di pedesaan tentu saja senang mendapatkan proyek—biasanya
diartikan order pementasan. Tak peduli diangkut dengan truk proyek pula.” Foto
berketerangan: kiriman Sugede S. Sudarta dari Solo. Ia seakan mengingatkan
pertumbuhan kota.
Di Solo mudah menemukan kalimat “Tertib berlalu lintas
cermin budaya wong Solo”. Di sana ada budaya. Budaya itu membentuk kebudayaan.
Kita hendak mengingat ungkapan pidato kebudayaan Karlina: “Tidak sedikit
peneliti dari bidang-bidang yang kering dan seniman terpaksa bergabung dengan
bidang-bidang yang lebih mendatangkan ekonomi. Risikonya, bidang-bidang yang
‘kering’ mengalami pengerdilan. Corak kebudayaan yang berkembang di negeri ini
tampaknya belum memungkinkan bidang-bidang kontemplatif mendapat ruang untuk
berkembang.”
Lantas, apa maksud penuh gambar truk dalam poster yang
menginformasikan pidato kebudayaan Karlina Supelli tersebut? Kelihatannya
multitafsir. Bila dilihat secara saksama, nampak muatan yang misterius—sekilas
terlihat manusia yang sedang dikerangkeng. Apa itu menyiratkan beban
dehumanisasi dalam perebutan laju mengikuti zaman yang tidak diimbangi dengan
kapasitasnya? Bisa jadi. Tanya demi tanya makin menggema: apakah selama sepuluh
tahun ini truk tersebut sampai pada tujuan? Di manakah sekarang?[]
*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).