Karsosangli adalah sub spesies dari Homo sapiens yang begitu meresahkan
dalam dunia persilatan kehidupan. Ia adalah akronim dari “Bongkar Isoh, Masang
Lali”. Di hampir banyak bidang kehidupan, ia senantiasa ada. Tak terkecuali
pula dalam dunia otomotif. “Karsosangli” dalam hal itu berwujud penyedia
layanan bengkel yang “seenak perutnya” dalam memperbaiki kendaraan. Memang, ia
begitu “nggatheli”.
Ia telah dibayar seharga tenaga dan materi yang
dikeluarkan, namun pekerjaannya tidak beres. Bahasa yang mewakili adalah “mindon
gaweni”. Kita menduga, “Karsosangli” adalah sosok yang mudah membuat kita naik
pitam dan serasa ingin memukulnya. Tapi, mula-mula kita justru tertarik menyigi
bagaimana keberadaan “Karsosangli” ini muncul dengan serentak, padahal tidak
ada yang mengoordinasikannya.
Pernyataan itu membuat saya menerawang kembali pada
sebuah akhir pekan di masa sekolah menengah. Di mana harusnya saya bertugas
untuk menyerviskan sepeda motor. Servis itu setidaknya berurusan dengan oli,
cek performa mesin, melihat kondisi rem, hingga memastikan baut dalam kondisi
kencang. Tetapi, gegara tak biasa menyentuh hal-ihwal tersebut, saya termasuk
manusia yang berada di golongan “terima jadi”.
Kita terpikir, ketiadaan gerak tubuh terhadap benda-benda
di rumah dan sekitarnya itu dapat menjadi trauma. Konon, itu tak terlepas “larangan”
dan “teguran” dari pihak rumah ketika menyentuh. Sentuhan itu haram, dosa, dan
potensi membuat kerusakan. Padahal, di rumah sebagai pendidikan informal
memerlukan pembiasaan terhadap anak-anak untuk bermain dengan bebas, terhadap benda
apa saja.
Di posisi itu, kita mengerti “Karsosangli” itu adalah
dunia rumah yang memacu imajinasi dan kreativitasnya. Betulah sosok pendidikan
penting di negeri ini—Conny Semiawan, A.S. Munandar, hingga S.C. Utami
Munandar yang pernah “sregep” menggagas isu mengenai bakat dan kreativitas di
kalangan anak. Mereka, secara bersamaan pernah menerbitkan buku berjudul Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah
Menengah (Gramedia, 1987).
Mari kita simak uraian dalam buku tersebut: “Seorang
anak berbakat memerlukan penanganan khusus dari orang tuanya. Bukannya ia
dimanja, tetapi orang tua harus sabar dan mampu melayani keinginan tahunya yang
besar, kedinamisan kepribadiannya, dan kemandiriannya yang dapat terungkap
dalam sikap keras kepala. Keberhasilan penampungan anak berbakat pada masa
balita akan memberi pengaruh yang baik bagi perkembangan selanjutnya.”
Hal itu, agaknya relevan atas pengakuan yang
disampaikan seorang kawan. Namanya Urip Rekoso. Kami berteman sejak kecil
hingga sekolah menengah pertama. Setelah lulus dari SMP, saya melanjutkan ke
SMA. Ia memilih Sekolah Menengah Kejuruan dengan mengambil jurusan Teknik
Otomotif. Pada zaman itu, SMK begitu digelorakan oleh pemerintah dengan
angan-angan menciptakan lulusan yang siap kerja, secara khusus tersublim dalam
slogan “SMK Bisa”.
Bukan kebetulan, kini Urip Rekoso sudah masuk tahun
kesepuluh bekerja di sebuah perusahaan otomotif di Jakarta sana. Ketika di
kampung halaman, karena kesuksesannya ia menjadi buah bibir para tetangganya. Kadang
ia merasa malu dan tetap ingin rendah hati, kendati beberapa kali mengingat
masa kecilnya. Ia trauma dengan cercaan dan sindiran tetangganya atas kehidupan
yang dialami keluarganya. Hidup serba kekurangan dan menjalani esok dengan
seadanya.
Ternyata salah satu kunci yang baginya penting adalah
karena kebebasan yang diberikan orang tuanya sejak kecil. Orang tuanya rela
jika peralatan yang ada di rumah rusak karena dibongkar olehnya. Ia pun bisa
jumawa, bahwa saat menempuh pendidikan di SMK itu bukanlah keahlian yang ia
butuhkan. Keahliannya telah terbentuk dalam ayunan keseharian. Sekolah hanyalah
legitimasi mencari ijazah, agar setidaknya dapat mengantarkannya ke meja
wawancara perusahaan.
Kita menelusur orang-orang ternama dalam dunia
otomotif. Sejak 1991 beredar Tabloid Otomotif
di bawah Kompas Gramedia. Pada 2001, mereka menerbitkan buku berjudul Potret Orang Pintar Otomotif. Kita
disajikan sekian nama dengan pengalaman dan kiprahnya di dunia otomotif. Mereka
adalah perlambang manusia-manusia dengan ketekunan, keberanian, dan kemauan
untuk terus belajar.
Bertemu Yohanes Eko Supriyanto dalam tulisan berjudul “Bengkel
Rumahan Standar Autorizhed”. Eko menjalankan pilihan hidup dengan memiliki
ragam cara untuk terus menyambung kepada para pengguna jasanya. Salah satunya
adalah merawat arsip riwayat kesehatan kendaraan dari tiap pengguna. Ketekunan
itu menegaskan jalan Eko dalam pernyataan: “Tak mengherankan, meski lokasi
bengkelnya agak terpencil dan minus promosi, tamunya datang dari berbagai
kalangan.”
Kita kemudian bertemu sosok bernama Yogi Setiadai
dalam “Kreativitas Tak Kenal Batas”. Ia pernah menemui pilihan keluar sekolah
saat SMP dengan tekad menjadi seorang montir. Ia kemudian belajar perbengkelan
dengan otodidak. Pada usia remaja, ia sudah mampu mencari uang sendiri.
Keterangan terdapat dalam tulisan: “Kelebihan pria ramah ini, terletak pada
kreativitasnya yang tanpa batas. Kelangkaan spare
part tak pernah jadi kendala, tetapi tantangan yang mesti dihadapi.
Prinsipnya, asal mau berusaha dan jeli mengamati semua kerusakan bisa
diperbaiki.”
Nasib agak memilukan justru kita temukan di Majalah Tempo edisi 10 Januari 1981. Dalam rubrik
“Tamu Kita” terbaca tulisan berjudul “Di Sini Saimin, Alias Mintor”. Saimin
diceritakan adalah anak petani miskin dari Dukuh Tegalrejo, Kecamatan Bulakan,
Sukoharjo. Ia terlahir normal, namun malapetaka menghampiri ketika sakit panas
pada usia 8 bulan. Setelah diobatkan, demamnya pulih, namun kedua kakinya tak
tumbuh mengikuti perkembangan tubuhnya yang lain.
Kondisi yang ia alami membuatnya menerima nasib “berkebutuhan
khusus”. Ia pamrih terhadap urusan otomotif. Pilihan hidupnya adalah merakit
sepeda dan motor untuk mereka yang mengalami kebutuhan khusus. Ada masanya ia
diremehkan banyak pihak. Keterangan-keterangan dalam tulisan kemudian
mengesahkan, banyak pihak kemudian menaruh kepercayaan, tak terkecuali
pemerintah. Saimin dengan kemampuan merakit motor itu terkenang dengan stiker Mintor
(Saimin Motor) yang ditempelkannya kepada hasil rakitannya.
Kita mudah “gumun” dan “kaget” tentu saja berjumpa
dengan kesuksesan orang dengan kisah hidup yang dihadapinya. Kadang kita mudah
menyalahkan kondisi ketika menemui kegagalan. Namun, tak sedikit pula dari kita
mau menilik lebih dalam akan kedirian masing-masing. Jangan-jangan, hal yang
menyebabkan kegagalan kita itu sebenarnya kita terlambat menjadi manusia “Karsosangli”.
Sosok yang dinantikan ketika proses, namun tidak diharapkan saat sukses.[]
*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).