Mata pelajaran yang senantiasa membuatku gusar dan
bertanya-tanya sewaktu sekolah dasar hingga sekolah menengah ke atas adalah
bahasa Indonesia. Apa sebab? Seingatku di mata pelajaran tersebut aku selalu mendapatkan
nilai yang kurang ketimbang rata-rata di antara teman-temanku. Aku ingat, dulu aku
malas membaca. Bahasa Indonesia itu syarat membaca, baik kutipan teks, cerita
pendek, pantun, puisi, hingga berita. Kemalasan membaca itu mungkin menjadi hal
yang perlu disesali pada kemudian hari.
Namun, meski demikian, aku masih memiliki sebuah ingatan
selain nilai buruk dan pengalaman menyesakkan terhadap bahasa Indonesia. Sampai
umur di atas seperempat abad, bila diminta berbagi ingatan akan pelajaran
tersebut, aku teringat dengan sebuah puisi yang nampaknya sering digunakan
dalam pelajaran bahasa Indonesia. Puisi itu bersejarah dan mungkin membentuk
biografi kehidupanku.
Puisi itu gubahan Taufiq Ismail, Karangan Bunga (1966): /Tiga anak kecil/ /Dalam langkah malu-malu/
/Datang ke Salemba/ /Sore itu/ /Ini dari kami bertiga/ /Pita hitam pada
karangan bunga/ /Sebab kami ikut berduka/ /Bagi kakak yang ditembak mati/
/Siang tadi/. Sayang, sewaktu puisi itu digunakan dalam soal bahasa Indonesia,
aku belum mengerti makna seutuhnya. Puisi itu pada akhirnya hanya terhafalkan
saja dalam kepala.
Pada 28 Februari 2023, akademisi Universitas Gajah
Mada (UGM), Pujo Semedi Hargo Yuwono, dikukuhkan menjadi guru besar bidang
antropologi di Fakultas Ilmu Budaya UGM. Pada proses pengukuhannya, ia
menyampaikan pidato berjudul “Kontestasi Rasionalitas Substantif, Ngasak di Jerman Selatan”. Banyak teman
dan termasuk diriku merasa terkesima dan terkejut dengan materi yang
disampaikan oleh Pujo.
Beberapa teman tak habis-habisnya untuk mengabarkan
tayangan youtube hingga teks pidato
yang digunakan. Seketika aku terbuka ingatan dalam babak kampung halaman. Di
desaku yang masih banyak terbentang sawahnya, pertanian adalah kunci. Tempatku
memang hanya padi dan jagung, bukan pertanian di Jerman sebagaimana dikisahkan
oleh Pujo. Namun, satu hal yang pasti: tiap panen pernah ada masanya
orang-orang pada “Ngasak”. Namun, kini, seiring berubahnya cara pandang dan
generasi bertani, “Ngasak” di tempatku tak ubahnya politisi yang berpihak pada
kemaslahatan rakyat. Langka.
Ada dua kisah berbeda saat aku mendengarkan pidato Pujo.
Pertama, kisah yang membuat terpingkal-pingkal saat ia menceritakan babak
perubahan sektor pertanian dan keterhubungannya dengan kapitalisme. Tepatnya
pada ungkapan: “Ternyata ada juga hubungan antara kapitalisme dengan kirik
galak.” Kedua, kisah yang menuturkan renungan, tepatnya di bagian penutup pidato.
Pujo menutup dengan sebuah puisi—beberapa bagian ia ubah. Oh, puisi itu adalah
karya Taufiq Ismail, Bagaimana Kalau
(1966).
Kita sengaja mengutip beberapa baris puisi tersebut:
/Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil mempertimbangkan
protes itu/ /Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita
pelihara ternak sebagai pengganti/ /Bagaimana kalau sampai waktunya kita tidak
perlu bertanya bagaimana lagi/. Aku makin menaruh rasa hormat pada Taufiq
Ismail. Rupanya, selain berperan terhadap peradaban mata pelajaran bahasa
Indonesia dan pengangkatan guru besar di UGM, ia juga hadir dalam zakat.
Bukti itu dapat kita simak dalam sebuah iklan di
Majalah Panji Masyarakat edisi 27 Desember
Tahun 2000. Iklan tersebut dengan tajuk ”Sengsara Pengungsi dan Zakat Kita”
yang dipasang oleh Yayasan Nurani Dunia. Iklan bermuatan ajakan sedekah, infak,
dan zakat. Konon, bulan Ramadan menjadi momentum mengingatkan kalangan umat
Islam untuk memperhatikan tanggungan zakat. Zakat dalam pemaknan tertentu
selain sebagai kewajiban, juga bentuk bagaimana Islam berbicara mengenai
kesenjangan.
Di dalam iklan, kita menemukan empat belas larik
kalimat sebentuk puisi dengan di bawahnya tertulis nama ”Taufiq Ismail”. Dugaan
kita: itu juga merupakan puisi gubahannya. Beberapa larik itu berupa: /Marilah
kita laksanakan setia kawan Ramadhan kemanusiaan/ /Dengan infak, sedekah dan
zakat bersama/ /Memeluk setengah juta saudara kita yang sengsara luar biasa/ /Tidak
saja satu Syawal tangan berjabatan/ /Diiringi rasa ikhlas saling bermaafan/
/Tapi dalam semangat sejati persaudaraan/ /Meringankan derita saudara-saudara
kita/.
Taufiq Ismail memang tidak menghadirkan fisiknya dalam
iklan tersebut. Namun, kata-katanya menjadi mantra dan petuah untuk
mengingatkan banyak orang. Zakat, dalam sejarah menjadi bahasan dalam
buku-buku. Kita sengaja membuka buku berjudul Kumpulan Fatwa tentang Puasa garapan Syaikh Muhammad Bin Sholih Al
Utsaimin dan Syaikh Abdullah Bin Abdurrohman Al Jabrein. Di mata pembaca
Indonesia, buku itu diterjemahkan oleh Abu Miqdad dan diterbitkan oleh Duta
Ilmu Surabaya. Sayang, di buku tak ada keterangan terbit untuk pertama kalinya.
Mereka memberi penafsiran zakat terhadap beberapa hal.
Spiritual, moral, hingga sosial. Beberapa manfaat di bidang sosial yang
tertulis di buku: (1) Dalam zakat ada dorongan untuk memenuhi kebutuhan fakir
miskin yang mereka ini termasuk mayoritas di sebagian negara, (2) Zakat
merupakan unsur kekuatan kaum Muslimin dan peningkatan posisi mereka, (3) Zakat
berfungsi untuk menghilangkan rasa dengki dan permusuhan yang ada adalah dada
orang-orang yang fakir dan kekurangan, dan (4) Dalam zakat ada budidaya harta
dan memperbanyak berkah.
Aku berhutang kepada bahasa Indonesia yang menuturkan
banyak kisah akan ilmu dan pengetahuan. Bahasa Indonesia yang lugu dan lucu
pada aras tertentu menautkan ideologi, agama, politik, bisnis, hingga
kebudayaan. Barangkali dengan perjumpaan teks-teks berbahasa Indonesia di
perjalanan hidupku menjadi sedikit pengganti akan masa kelam kemampuan bahasa
Indonesiaku. Toh, bila diizinkan, aku ingin menambahi puisi Taufiq Ismail yang
digunakan Pujo Semedi tadi: Bagaimana kalau zakat itu tidak diwajibkan, apakah
umat Islam masih mau melakukannya?[]
*Joko Priyono. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021), Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022), dan Bersandar pada Sains (2022).