Semenjak persinggahan di Kota Solo mulai tahun 2014—aku
resmi menjadi mahasiswa di kampus ultraman Universitas Sebelas Maret, lambat
laun merasakan banyak gejala sebagai bagian dari kaum urban. Itu semua bila
dibandingkan dengan hal saat di kampung halaman daerah Boyolali sana tentu
banyak perbedaannya. Gejala itu berhubungan dengan gaya hidup, makanan, mode
pakaian, kebudayaan, pilihan politik, hingga bagaimana melakukan jejaring maupun
interaksi dengan liyan.
Meski Boyolali secara lokasi sangat dekat dengan Solo,
apa yang saya rasakan adalah fakta kaum urban yang perlu menerima kenyataan berupa
imajinsi kolektif terhadap kota. Saya ingin mencontohkan pada satu hal dalam
bidang makanan. Saat di Solo, saya baru pertama kali menjumpai olahan mi instan
yang dicampurkan dengan nasi, suwiran daging ayam, potongan telur goreng, dan
beberapa jenis sayur bernama “Magelangan”. Selain itu, ada juga olahan dari mi
instan bernama “Mi Dok Dok”.
Sejauh ingatanku saat di kampung halaman, mi instan
pada puncak penyajian adalah dengan direbus sebagaimana mestinya dan dicampuri
bumbu yang ada. Pilihan lain seperti memberikan daging, telur, dan aneka sayur
itu hanyalah pilihan, bukan hal yang mengikat sebagai kewajiban. Namun, perkara
penamaan itu belum pernah aku jumpai. Aku merasakan hal ajaib bagaimana
persoalan makan membentuk geliat kaum urban dari pelbagai penjuru daerah.
Di kalangan mahasiswa, mi instan adalah sebuah
komoditas yang mengisahkan makna dan membentuk keterhubungan gaya hidup. Mi
instan menggambarkan efektivitas cara penyajian, kemudahan meracik, dan
kecepatan dalam pemenuhan kebutuhan perut. Mi instan kemudian terkonotasikan
dengan indekos dan tanggal tua di kalangan mahasiswa. Ia dapat termaknai pula
sebagai kemiskinan, keterbatasan, dan kepepet. Bukan dosen saat di kampus, mahasiswa
dibentuk oleh ayunan ritmis mi instan.
Mestinya, sematan “instan” dalam frasa tersebut tidak
kemudian menjadikan bahwa mahasiswa itu mengedepankan sesuatu yang “instan”,
terlebih perkara intelektualitas. Konon, sekian mahasiswa di zaman ini
dirundung pilu dengan habitus di kampus. Gejala kehidupan akademis yang masih menunjukkan
kelompok pemuja gelar yang membuat budaya intelektual sulit tumbuh dan
berkembang. Banyak mahasiswa terjerat pada hasrat instan meraih gelar dengan mendekatkan
diri pada joki.
Mi instan rupanya tak sebatas berkecambah pada pikiran dan
imajinasi kalangan mahasiswa. Namun, ia adalah milik masyarakat umum. Dalam
pembabakan tersebut kita mudah yakin bahwa mi memiliki pengaruh pada habitus
makan dan gerak tubuh saat menyajikannya. Walaupun, ada hal yang penting juga
di dalamnya, yakni kait kelindan dengan politik dan kebijakan akan kebutuhan, ketersediaan,
dan distribusi gandum. Wah, aku malah teringat dengan sebuah iklan di Majalah Sarinah edisi 13 Juni 1983.
Di sana kita dapatkaan iklan dari salah satu merek
dari mi instan, Sarimi. Oh, Sarinah dan Sarimi. Seorang ibu bersama dengan dua
anaknya sedang berada di minimarket. Anakya ada yang memegang sebuah gelas,
sementara satunya membawa tumpukan Sarimi yang kelihatannya baru saja diambil
dari raka di minimarket tersebut. Iklan itu mengisahkan puasa. Kalimat penjelas
berupa: “Memang Sarimi lebih nikmat untuk berbuka puasa”.
Sarimi mengingatkan jejak komoditas mi isntan di
belantara keluarga-keluarga Indonesia. Aku ingat ketika saat berada di sekolah
dasar, ketika berlatih berpuasa, meski beduk zuhur makan dan minum sebelum
melanjutkan lagi menuju magrib. Di waktu zuhur ibuku biasanya menyajikan sebuah
Sarimi yang diseduh dengan air panas dari termos. Sarimi di kalangan keluargaku
menjadi bahasa yang nampaknya sampai saat ini lazim digunakan untuk menyebut
mi. Sama halnya pompa air, apa pu mereknya disebut dengan “Sanyo”.
Walupun demikian, dalam beberapa perubahan zaman,
Sarimi, sebagaimana merek mi instan lain mengalami naik turun di mata, lidah,
mulut, dan telinga konsumen. Abdul Rahman, Ari Satriyo Wibowo, dkk menyusun
buku Merek-merek Terpopuler di Indonesia
(Elex Media Komputindo, 1996). Di
buku itu mengisahkan Top Up Survey yang dilakukan oleh bagian Marketing Reserch
Specialist Majalah Swasembada
masing-masing pada tahun 1994 dan 1995.
Dalam buku tersebut, baik di tahun 1994 maupun 1995, dari
beberapa kota yang menjadi sampel, Sarimi menduduki posisi ketiga merek mi
terpopuler, di bawah Indomie dan Supermi. Kita mendapat penjelasan, tiga merek
mi isntan itu rupanya adalah produk yang berada di bawah satu nama perusahaan:
PT Indo Food Sukses Makmur (ISM). Di tulisan Abdul Rahman, “Menyusun Organisasi
Cepat Tanggap” memberi penjelasan bahwa manajemen organisasi yang diterapkan
didasarkan pada sistem manajemen merek, bukan manajemen produk.
Abdul Rahman menjelaskan: “Prinsip manajemen merek
juga memungkinkan ekstensi merek lebih baik dan terarah. Ini karena manajer
yang bertanggung jawab atas suatu merek bisa memikirkan pengembangan merek
tersebut untuk produk apa saja yang dianggapnya masuk akal.” Kita malah
teringat kembali Sarimi dalam iklan. Pengiklan memunculkan Aladin yang terbang
di atas sajadah dan di samping pohon kurma. Kalimat: “Beli 5 Bungkus Sarimi Gratis
1 Gelas Aladin” benar menawan.
Mi instan, tak terkecuali Sarimi adalah sejarah
panjang yang berliku. Di Majalah Intisari
edisi Juli 2002 termuat artikel berjudul “Mi Instan Lahir di Emper Rumah”.
Kita mendapat keterangan bahwa seorang dari Jepang kelahiran Taiwan, Mamofuku
Ando pada 1911 yang menemukan ide tersebut. Menariknya kisah itu berhubungan
dengan politik pangan. Sampai kemudian, kita juga tahu mi instan bergerak ke
Indonesia. Di artikel tersebut dikisahkan pada pertengahan 1960-an. Tahun
berlalu, walakin, pada 2023, kita masih berpeluang buka bersama dengan mi
instan bermerek Sarimi.[]
*Joko Priyono. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021), Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022), dan Bersandar pada Sains (2022).