Jangan Sampai Maag!

Pada 3 April 2023, aku terlambat bangun untuk sahur. Sekiranya tiga puluh menit sebelum subuh, aku baru menyantap sahur. Dengan penuh ketergesaan, nasi pada sebuah piring dengan sayur asam dan tempe goreng terlahap dalam waktu-waktu kritis. Aku tak begitu menikmati sahur ketika itu dibandingkan pada hari-hari sebelumnya. Perasaan demi perasaan muncul berupa prasangka buruk pada kondisi tubuh. Apalagi selesai sahur, tubuh berkeringat.

Benarlah, sehabis subuh, aku mendapatkan tubuh yang kurang fit. Perut terasa kembung. Aku tidak punya cara lain selain menidurkan diri untuk beberapa menit sehabis subuh. Meski demikian, perbuatan itu sebenarnya bermasalah. Bangun tidur ketika alarm berbunyi pada pukul 07.00 WIB, aku tak mendapati gairah untuk beraktivitas. Aku makin takut bila kemudian terjadi kondisi sakit pada tubuhku.

Aku kemudian teringat dengan sebuah liputan berjudul “Hindari Tiduran Setelah Makan” di Harian Kompas edisi 29 April 2022. Artikel itu menjelaskan bahwa kebiasaan berbaring dan bahkan tidur setelah makan itu memicu GERD. Perlu setidaknya waktu tiga jam untuk memberi ritme saluran pencernaan untuk bekerja. Liputan itu ilmiah, sebab didukung dengan kehadiran pakar kesehatan, yakni Ari Fahrial Syam (Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia).

Di liputan terdapat kalimat terbaca: “GERD (gastroesophageal reflux disease) merupakan kondisi adanya aliran balik dari isi lambung ke kerongkongan. Kondisi ini biasanya menimbulkan gejala yang mengganggu hingga komplikasi. Biasanya pada orang yang mengalami GERD akan merasakan nyeri dada seperti terbakar (heartburn).”

Meski telah dikabarkan setahun lalu, kukira tulisan itu senantiasa penting. Apalagi saat momentum puasa. Ada hal menarik dalam keriuhan tafsir terhadap puasa. Di satu sisi, puasa mengajarkan banyak ilmu dan pengetahuan, namun di sisi lain pelbagai merek produk membuat narasi bahwa puasa itu begitu menakutkan. Ini menarik dalam pemaknaan tanda saat bulan Ramadan.

Mari kita menengok sebuah iklan di Majalah Gadis edisi 24 April – 4 Mei 1989. Di halaman 91, kita menemukan iklan Promag dengan menampilkan sepasang kekasih berbusana muslim dan beraut muka penuh semangat mengajak pembaca dalam menjalani ibadah puasa. Pembaca perlu paham kalimat tertulis di bagian pojok kiri bawah di iklan tersebut. Kalimat tertulis berupa: “Perbanyak amal – ibadah Anda dibulan Ramadhan”. Ya, kalimat itu petuah untuk kalangan pembaca Islam senantiasa mengingat niat dan makna berpuasa.

Akan tetapi, jika kita pamrih untuk lebih mendalam terhadap pemaknaan keberadaan iklan, bisa jadi bukan kalimat tersebut yang paling utama di dalam iklan. Barangkali bagian itu adalah kalimat yang tertulis berupa: “Agar Anda dapat melaksanakan Ibadah puasa walaupun ada gangguan maag Anda harus ingat : Promag si tablet hijau … obat maag paling lengkap isinya dan paling dipercaya di Indonesia. Promag juga mengandung Dimetilpolisiloksan untuk menghilangkan perut kembung.”

Kita tak perlu menyoal istilah kimia yang tersebutkan: “Dimetilpolisiloksan” di bagian kalimat. Apa sebab? Ada “Polisi” dalam istilah tersebut, mungkin bisa membuatmu yang sentimen terhadap keberadaan Polisi, akan menimbulkan gejolak dan masalah. Kata itu memang mengandung muatan ilmu dan pengetahuan, khususnya ilmu kimia. Istilah ilmu dalam bahasa iklan adalah penguat agar para pembaca terpengaruh akan makna yang dimaksud.

Pengiklan memberi informasi bahwa persoalan maag, baik itu mual, mules, perih, dan kembung memang bukan masalah yang terjadi saat orang-orang berpuasa. Setiap waktu, banyak orang menghadapi ancaman itu. Kemudian, pengiklan, selain memang menawarkan produknya, tentulah sejatinya menyiratkan pesan: Jangan Sampai Maag! Pernyataan tersebut tentu harus dimaknai dengan rendah hati, bahwa kita semua diajak berpikir mengenai pola makan dan minum.

Betapa tidak. Bukankah tidak sedikit pelagai penyakit manusia yang disebabkaan gegara kekeliruan dalam pola makan? Makan menyeret kita pada pembentukan sejarah dan kebudayaan manusia. Ingat puasa dan makan, kita mudah berprasangka: gaya hidup makan dan minum mengisahkan babak demi babak orang yang berpuasa. Orang-orang yang kelewat brutal dalam makan dan minum saat buka puasa maupun sahur, berisiko mendapati masalah.

Kita kemudian diingatkan dengan sebuah buku garapan Dr. dr. H. Wahjoetomo, Puasa dan Kesehatan (Gema Insani Press, 1997). Buku itu tipis, hanya sejumlah 59 halaman. Kita tak perlu menyoal ketebalan buku. Pada sebuah buku, yang paling dipentingkan tentunya adalah isi, makna, dan pesan yang hendak disampaikan pada para pembaca. Kita yang berkesempatan membaca, patut menghormati dan menghargai keberadaan buku dengan daya serap sebagai pisau tafsir atas gejala demi gejala di realitas.

Keterangan penting dari buku tersebut kita kutip: “Sumber gizi, umumnya berasal dari makanan, sehingga banyak kasus yang menyebabkan terjadinya suatu penyakit dalam tubuh manusia yang bersumber makanan. Dapat dikatakan bahwa gizi memiliki peranan yang sangat besar dalam membina dan mempertahankan kesehatan seseorang, sebagaimana sabda Rasulullah saw. berikut ini: ‘Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu’.”

Setelah aku merenungkan kembali atas gejala yang kuceritakan pada pembuka tulisan ini, aku mengurungkan diri untuk membeli Promag. Dalam intuisi yang aku rasakan, nampaknya bukan sakit yang aku terima. Hanya saja penyebab itu bagiku ditengarai satu hal: tidak ada yang mengucapkan selamat sahur.[]


*Joko Priyono. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021), Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaandan Keilmuan (2022), dan Bersandar pada Sains (2022). 

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak