Obat Kuat dan Generasi Z

Selain “Jasa Sedot WC”, tiang listrik dan tiang lampu lalu lintas di beberapa sudut jalan di kota-kota Indonesia terpenuhi oleh beberapa hal. Mulai pengobatan alternatif, pijat Mak Erot, bisnis MLM, hingga iklan obat vitalitas solusi masalah ereksi kaum pria. Penampakan visual itu, di satu sisi membuat tak sedikit orang muak dengan ketidakaturannya, di sisi lain mengisahkan bagaimana kedua tiang itu penuh semiotika yang menarik ditafsirkan.

Lalu lalang kendaraan dan perhatian banyak orang menempatkan iklan-iklan yang hanya berbentuk fotokopi itu sebagai sebuah peradaban penting sebuah bangsa. Bahwa kemudian keberadaan jalan, sudut kota, tiang listrik, hingga tiang lampu lalu lintas perlu bertanggung jawab dengan memberikan peranannya terhadap permasalahan bangsa. Iklan, kendati tidak ada hal yang menarik dari tampilan maupun penarasiannya, masih mendapatkan martabat.

Mari kita telaah dalam konteks keberadaan obat kuat, penambah stamina, dan lain sebagainya. Kita lihat dalam beberapa fase, mereka dihadirkan di banyak sudut jalan. Kita tak perlu kemudian membuat dugaan: bangsa Indonesia itu lemah dan mudah loyo! Pada fakta lain, kita mesti dengan menggunakan beberapa cara pandang untuk menerokanya. Dugaan itu adalah keterhubungan industri farmasi dengan aktivitas keseharian manusia, salah satunya kerja.

Di bawah rezim Pak Jokowi, generasi milenial dan generasi Z bertungkus lumus dengan tunggang langgang dalam menafsirkan makna kerja. Mereka pasti ingat dengan kalimat yang kerap diungkapkan oleh Pak Jokowi: “Kerja, Kerja, Kerja”. Pak Jokowi tidak bermaksud menganjurkan warganya bekerja tiga kali dalam satu hari. Namun, melainkan itu meletakkan makna kerja penuh gairah dan semangat.

Ungkapan Pak Jokowi tentang kata “Kerja” yang diulang selama tiga kali itu konon bukan barang baru, lho! Dalam telaah Dennys Lombard, kita mungkin kaget. Bahwa kata yang sama, meski dengan ejaan lama telah muncul di tahun 1915. Secara lengkap kita dapat mendapatkan penjelasan Lombard melalui salah satu buku garapannya, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu Bagian I: Batas-Batas Pembaratan (Gramedia, 1996).

Itu tak lain sebagai dampak akan ketertaturan konsep waktu Eropa yang diterapkan ke penduduk pribumi saat itu. Waktu yang menjadi penanda konsep kerja, ketepatan, dan penuh kekakuan. Lombard menuliskan: Sebuah teks menarik kutipan dari sebuah artikel berjudul Djam yang terbit pada tahun 1915 di salah satu surat kabar Sumatra Barat, menunjukkan dengan jelas munculnya kesadaran itu: “Djika kita hati-hatikan benar ada lagi iang diteriakkan djam itoe; dengarlah olehmoe: ‘Kerdja! Kerdja! Kerdja’”.

Kaget, gak? Kalau gak kaget, mari kita membahas hal itu lebih lanjut. Ungkapan Pak Jokowi dengan didasarkan apa yang ditulis Lombard, menyiratkan dua dugaan. Pertama, Pak Jokowi paham betul sejarah dan bisa jadi buku garapan Lombard telah khatam dibaca. Kedua, Pak Jokowi ingin menegaskan konsepsi waktu ala Eropa yang mengedepankan ketepatan, profesionalitas, dan kecepatan.

Wah, kita tahu di mata generasi ungkapan “Kerja, Kerja, Kerja” itu memunculkan sebuah guyonan yang begitu populer. Ungkapan itu diubah menjadi “Kerja, Kerja, Tipes”. Keterhubungan generasi Z dengan dunia pekerjaan menjadi satu hal menarik dalam perkembangan zaman. Klaim bagaimana kisah tentang budaya kerja, profesionalitas, dan pembagian waktu terkadang dirasa tak sebanding dengan tantangan yang diterima, sakit dengan berbagai jenisnya.

Oh, dalam tahap demi tahap yang ada di sana, generasi Z membentuk sebuah kultur bagaimana dunia kerja juga menautkan kepada ketersediaan beberapa jenis obat. Nah, di sini rupanya kita bisa mengaitkan bagaimana keberadaan produk-produk seperti obat penguat, penambah stamina, hingga peningkat energi itu pendekatannya identik dengan budaya kerja. Mari kita melakukan analisis di sebuah iklan dalam Majalah Gatra edisi 24 Januari 1998.


Iklan menjelaskan keberadaan produk bernama “Ginsana”. Memang, dalam konteksnya iklan belum pada zaman keberadaan generasi Z. Namun, kita ingin mencoba untuk menemukan makna di zaman ini. Salah satu penjelasan pnting yang membujuk adalah: “Walaupun kita berpuasa, bobot pekerjaan kita tidak berkurang. Oleh sebab itu kita membutuhkan energi tambahan agar stamina tetap prima. Ginsana menjadi pilihan tepat, karena memang produk ini memberikan energi tambahan yang luar biasa.”

Produk tersebut dijelaskan mengandung ekstrak Gingseng. Gingseng mengingatkan Korea Selatan. Konon, Gingseng tumbuh di Korea dan beberapa negara yang termasuk wilayah belahan bumi utara. Kita malah diingatkan dengan tumbuhan yang dapat dijadikan obat-obatan. Tak sengaja kita membuka buku penuh ilmu dan pengetahuan berjudul Tanaman Pekarangan susunan Lembaga Biologi Nasional – LIPI terbitan Balai Pustaka pada than 1980.

Keterangan terbaca: “Tidak jarang pekarangan dikenal pula dengan nama apotik hijau. Memang kenyataannya di pedesaan fungsi demikian ada. Obat-obat moderen dalam bentuk pil terutama telah tidak asing lagi untuk masyarakat desa. Meskipun demikian obat-bat tradisional untuk menanggulangi keluhan yang ringan atau serangan penyakit yang mendadak masih tidak ditinggalkan.”

Di buku, kita tak menemukan penjelasan Gingseng. Kita menemukan sekian jenis tanaman yang dapat digunakan untuk obat-obatan: Cengkudu, Dlingo, Jawer Kotok, Jeruk Nipis, Kecibeling, Kencur, Kumis Kucing, Kunyit, Lempuyang Wangi, Sambiloto, Sembung, Temu Ireng, Temu Lawak, Angsana, Gamal, Jeungjing, Ki Jaran, Mlanding, Turi, hingga Waru. Para peneliti yang menyusun buku itu pasti pamrih akan kekayakan tumbuhan yang bisa didapatkan lewat pekarangan dan berguna manjur sebagai obat.

Kita menduga, belum tentu saat ini masih ada yang mau mempelajari itu, lho. Konon, yang terjadi dalam persebaran informasi dan pengetahuan lewat jejaring media digital itu mengisahkan apa yang dinamakan dengan disrupsi. Bakan, kadang orang-orang tak mempedulikan lagi kepakaran. Dulu, iklan itu pada zamannya menampilkan kutipan riset penelitian dari baberapa dosesn di sekian nama kampus. Kalau saja disajikan zaman ini, belum tentu kepercayaan mudah muncul. Bila tidak percaya, mari kita menunggu jawaban dari generasi Z.[]


*Joko Priyono. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021), Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaandan Keilmuan (2022), dan Bersandar pada Sains (2022). 

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak