Saudara/i, jika kita hitung-hitungan, seberapa banyak
waktu dan kesempatan ibu berurusan dengan dapur, ketimbang bapak? Aku yakin
jumlahnya akan banyak ibu. Mari dugaan itu tidak membuat kita langsung menuduh
dengan tafsir serampangan bahwa kaum ibu identik dengan dapur, sumur, dan kasur!
Dalam kementakan perubahan dan perkembangan zaman, aku ingin selalu menerapkan
cara pandang lain untuk menelisik hal-ihwal terhadap sesuatu.
Yang asyik di zaman ini adalah kita acapkali mudah berdebat
untuk menyalahkan lain dengan memaksakan penafsiran yang kita ajukan. Padahal,
yang kita perlukan sejatinya adalah gairah untuk melakukan tamasya sudut
pandang. Bahwa, boleh jadi terhadap sesuatu hal yang ditafsir oleh kelompok
dominan, bisa jadi terbetik sebuah kebenaran maupun fakta alternatif. Menjalankan
hidup dengan kecepatan penuh perdebatan tiada berarti dalam cara kita memaknai
kehidupan.
Jika memang pembuka paragraf pertama itu kita
benarkan, marilah kita melakukan kontekstualisasi pada momentum keberadaan puasa.
Kita boleh mengajukan puasa menghubungkan ibu dengan rumah. Fakta itu dalam
pergerakan komoditas jasa dan barang membuka kemungkinan dalam strategi
pemasaran dengan membuat representasi keberadaan kaum ibu. Kalau boleh disebut
mulai dai iklan mesin cuci, penyedap masakan, sabun, sampo, hingga aneka
makanan.
Bolehlah kita menengok Majalah Sarinah edisi 11 Juli 1983. Kita dapatkan sebuah iklan dari “Cip”
dengan kepunyaan slogan: terbaik untuk aneka hidangan lezat. Kita menemukan ibu
dengan kesendiriannya berada di dapur dengan ekspresi tubuh berurusan dengan
jenis bumbu masakan. Ibu direpresentasikan sebagai peracik yang kemudian
menghidangkan hasil masakan di meja makan keluarga.
Iklan tersebut mengisahkan produk makanan dalam
kaleng, yang berupa olahan daging sapi. Kita ingat, pada babak tertentu
perkenalan kaum ibu dengan produk makanan dalam bentuk kaleng memberikan nilai
praktis. Betapa tidak, jika kita mengurusi olahan sapi yang mulanya harus
membeli daging mentahnya dan perlu menyiapkan pelbagai jenis bumbu untuk
mengolahnya butuh waktu yang tak sedikit. Sifat “praktis” itu godaan di tengah
banyak estimasi waktu terhadap rumah yang dilakukan oleh kaum ibu.
Wah, di majalah edisi yang sama, kita malah menemukan
sebuah tulisan berjudul “Puasa Kaum Ibu Memang Berbeda” garapan Abdurrahman
Wahid. Kita belum bisa memberi dugaan maupun bukti bahwa penulis itu adalah “Gus
Dur”. Menuliskan tentang ibu, kok penulisnya laki-laki, ya? Yang pasti, lewat
tulisan itu mengisahkan biografi kaum ibu ketika menjalankan aktivitas di bulan
puasa. Kita mendapatkan pengisahan berupa:
“Ternyata, bagi kaum ibu keadaan menjadi banyak
berbeda dari biasanya dalam bulan Puasa. Bukan hanya karena harus lebih banyak
memberikan perhatian kepada “bidang perdapuran” untuk mempersiapkan sekian
hidangan ekstra untuk buka puasa, melainkan secara fisik harus mampu mengurangi
jam tidur (sudah bangun lebih dahulu menyiapkan makanan sahur, sementara yang
lain yang serumah masih lelap tertidur mereka).”
Penjelasan menyiratkan suasana keterhubungan ibu
dengan ruang dan waktu. Dengan memiliki jatah waktu yang sama dengan lainnya,
ibu memiliki kelebihan dan keterampilan dalam membagi keberadaan waktu untuk
sekian jenis aktivitas. Kita perlu pamrih, bisa jadi bagi sebagian besar
kalangan kita belum tentu mampu dan kuat untuk menjalankan sekian kegiatan
tersebut. Kita kemudian curiga pada perubahan cara pandang akan makanan. Makan
di era modernitas terimajinasikan dengan hidangan cepat saji.
Ada hal yang hendaknya perlu ditelisik akan hubungan
antara kaum ibu dengan dapur. Aku jadi teringat dengan sebaran buku baik bacaan
umum maupun pelajaran sekolah yang berhubungan dengan Pendidikan Kesejahteraan
Keluarga (PKK). Kita buka sebuah buku berjudul Pendidikan Kesejahteraan
Keluarga garapan Ny. Suparni dan Ny. Mulyani terbitan Tiga Serangkai Solo.
Wah, ternyata Tiga Serangkai pernah menerbitkan buku
kaya gitu juga! Sayangnya, di buku tak ada keterangan tahun terbit. Namun, kita
boleh menduga: buku itu terbit di era Orde Baru. Buku tersebut memiliki
keterangan digunakan untuk kalangan SMP dan sederajat. Kita tentu mengerti
makna bagaimana konsep PKK ini sangat begitu dominan pada Orde Baru. Tak ayal,
sebaran gagasan perlu masuk ke sekolah-sekolah. Di bagian pendahuluan terdapat
keterangan:
“Mata Pelajaran Pendidikan Kesejahteraan Keluarga,
merupakan mata pelajaran yang relatif belum lama tercantum dalam Curriculum.
Tidaklah aneh, jika sampai dewasa ini, belum banyak buku tentang mata pelajaran
itu diterbitkan orang. Namun demikian, dengan bahan-bahan yang ada, mata
pelajaran ini harus diberikan sebaik-baiknya.”
Kalimat demi kalimat dalam pendahuluan membawa kita
menengok tiap halaman yang tersaji. Kita menemukan penarasian akan keberadaan
dapur dan makanan. Ilustrasi yang digunakan dengan menghadirkan sosok ibu.
Kendati konsep PKK itu berbicara menyeluruh akan keberadaan keluarga, dalam
beberapa fase kita tahu bahwa imajinasi ibu yang digunakan kemudian secara
kultural menempatkan ibu kerap berurusan dengan rumah dan dapur. Jangan-jangan
itulah yang menjadikan alasan bagaimana sampai saat ini yang ada itu “Ibu-ibu
PKK”. Apakah saudara/i mudah mendengar frasa “Bapak-bapak PKK”?
Aku kemudian ingin kembali pada keberadaan iklan. Di
iklan terdapat narasi berupa kalimat: “Warung Mungil Keluarga Anda”. Keterangan itu penting untuk membuat imajinasi
para kaum ibu dalam perannya di dapur. Namanya “warung” pasti terkonotasikan
pada upaya menghidangkan sajian masakan yang lezat, enak, dan berselera. Wah,
aku jadi teringat dengan pengalaman puasa di tahun 2023. Gegara hanya becus
memasak nasi saja, untuk mendapatkan sayur dan lauk harus pergi ke warung milik
Bu Anik. Kedatangan saya banyak disambut suaminya yang baru bangun tidur. Oh.[]
*Joko Priyono. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021), Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022), dan Bersandar pada Sains (2022).