Kalau di sekian wahana media sosial telah dijejali
kalimat-kalimat perpisahan terhadap Ramadan, berarti pertanda lebaran telah
dekat. Di hari Jumat, 21 April 2023, mereka yang mendasarkan perhitungan pada
keputusan pemerintah, masih perlu puasa sehari lagi. Sementara itu, kawan-kawan
dari Muhammadiyah telah merayakan idulfitri 1 Syawal 1444 H. Selamat merayakan.
Syukurlah, mereka telah bisa membuka percakapan penuh dengan pelbagai hidangan
saat lebaran.
Lebaran pasti mengingatkan kisah kaleng Khong Guan
dengan misteri kehadiran rengginang di dalamnya. Kita malah teringat dengan
kumpulan cerita Joko Pinurbo (Jokpin), Tak
Ada Asu di Antara Kita yang diterbitkan oleh Gramedia pada Januari 2023
lalu. Melalui buku tersebut, Jokpin menyajikan 15 cerita dengan dibuka kisah
Kasbulah yang hidupnya menderita dengan pelajaran matematika. Oh, Jokpin kurang
ajar. Di kala kemampuan literasi dan numerasi bangsa masih stagnan, ia membuat
bayang-bayang akan keberadaan matematika penuh menakutkan.
Di bagian lain, kita temukan cerita berjudul
“Perjamuan Petang bersama Keluarga Khong Guan”. Sebagaimana mestinya, Khong
Guan adalah riwayat misteri keberadaan bapak yang belum terpecahkan secara
gamblang. Itu pula yang dikisahkan Jokpin dalam pembukaan. Tokoh “Saya” dalam
cerita tersebut memenuhi udangan dari keluarga Khong Guan. Keluarga Khong Guan
itu identik dengan meja makan.
Di dalam cerita, kita mendapatkan penjelasan penting:
“Hanya meja makan yang masih dapat diandalkan untuk merekatkan dan
menghangatkan keluarga. Meja makan adalah tempat untuk merawat kegembiraan
bersama.” Kalimat itu menjelaskan akan pemaknaan orang dalam pertemuan. Dalam
konteks zaman kiwari, perjumpaan semakin tidak bermakna. Orang-orang memang
berada dalam satu tempat di waktu yang sama, tetapi kebanyakan asyik dengan gawainya.
Cerita itu tentu menjadi permenungan Jokpin dalam
mengajak pemerian makna akan pertemuan. Jokpin ingin pamrih terhadap makna
pertemuan sebagaimana yang dikisahkan oleh keluarga Khong Guan. Tak hanya
lebaran, Ramadan juga erat dengan pemaknaan meja makan. Itulah mengapa banyak
para pengiklan menyajikan narasi iklan mengenai imajinasi terhadap keluarga.
Baik itu sirup, sarung, roti, penyedap rasa, mi instan, penambah suplemen,
hingga ragam minuman.
Di Majalah Intisari
edisi Oktober 2005, kita temukan sebuah iklan dari Quaker Oatmeal. Sama halnya
dengan Khong Guan yang terlihat dalam kalengnya, iklan tersebut juga
memunculkan sekelompok orang sedang berada di meja makan. Bedanya mungkin
begini: jika lewat Khong Guan, kita terimajinasikan dengan keluraga di Eropa,
sementara lewat iklan tersebut mengajak kita berimajinasi dengan tradisi Timur
Tengah.
Wah, menarik. Iklan itu ternarasikan dalam bulan
Ramadan. Judul yang digunakan berupa: “Nikmati tradisi Ramadhan khas timur tengah
ala Quaker Oats”. Judul itu tentunya begitu mewah dan bermartabat. Pengiklan
terlihat ingin membangun persuasi dalam memaknai puasa dengan keberadaan tata
meja makan dan hidangan yang khas dari Timur Tengah. Dengan demikian, dari
tanda demi tanda yang dihadirkan, pemaknaan yang didapat melahirkan klaim akan
makna “Islami”.
Kata “Islami” itu bersejarah dalam konteks Indonesia. Ia
tak lepas dari keberadaan “Islamisasi”. Pada proses pencarian makna akan
kehadiran kebudayaan, cara panjang, hingga tradisi berpikir tentu prnting untuk
ditafsirkan. Kita buka buku garapan Ariel Heryanto, Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (Kepustakaan Populer Gramedia, 2015).
Meski secara mendalam ia membahas pada perkembangan budaya film, namun kita tetap
mendapat keterangan mengenai uraian “Islamisasi”.
Ariel menulis: “Ciri khas utama berbagai proses
islamisasi yang berbeda-beda ini adalah terjadinya perluasan cara pandang,
penampilan, dan perayaan besar-besaran terhadap unsur-unsur material dan
praktik-praktik yang mudah dipahami dalam masyarakat Indonesia sebagai
mengandung nilai-nilai islami atau “yang terislamkan”.” Dalam keterhubungan
dengan iklan, tentu menarik bila kita menilik penjelasan yang terdiri dari
paragraf berikut:
“Sup harira adalah simbol dari masyarakat Maroko saat
Ramadhan. Hampir setiap orang Maroko maupun orang timur tengah lainnya, setiap
sore, setiap Ramadhan saat berbuka puasa selalu diawali dengan susu segar dan
kurma, kemudian dilanjutkan dengan semangkuk sup harira.”
Penjelasan tersebut begitu gamblang bagaimana
pengiklan mengisahkan tahapan demi tahapan yang terjadi dalam meja makan. Jika
bukan dengan iklan itu, mungkin kita merasa tak akan mendapatkan sedikit
pengisahan mengenai Maroko. Pada tahun 2023, ingatan kolektif tentang Maroko
pastilah keberhasilan Tim Nasional sepak bolanya yang pada Piala Dunia 2022
menorehkan prestasi gemilang, meski terhenti di babak semifinal. Akan tetapi,
Maroko membuat sejarah sebagai negara Afrika pertama dalam sejarah yang
menembus semi final dalam kejuaraan tersebut.
Dalam tradisi intelektual, bila kita mendalami
persebaran tokoh yang gagasannya telah sampai di Indonesia, tentu kita memiliki
ingatan tokoh dari Maroko. Ibnu Rusyd, Ibnu Batutah, Mohammad Abed Al-Jabiri,
hingga Fatima Mernisi. Maroko pada pemaknaan di Indonesia tentu bukan sebatas
keberlimpahan pemikir, namun berurusan juga dengan “Timur Tengah” dan perkara
“meja makan”.
Berdasarkan iklan, alih-alih yang dituju adalah prosuk
dapat diminati konsumen, klaim mengenai penarasian yang ada tentu sebentuk
sakralitas dalam puasa. Bahwa puasa menjadikan pemahaman orang-orang “saklek”
terhadap sebuah hal. Aku malah teringat dengan sebuah esai Seno Gumira
Ajidarma, “Dilarang Membawa Makanan dan Minuman dari Luar” (2006). Tulisan
tersebut mengisahkan bagaimana narasi restoran-restoran alih-alih melarang
pelanggan membawa makanan dan minuman dari luar, namun yang terjadi monopoli
dagang.
Seno kemudian mengaitkan dengan apa yang terjadi di
warung-warung kelas bawah yang tak menerapkan larangan tersebut. “Solidaritas
macam ini juga tampak ketika pengunjung penuh dan masih bertambah sehingga
bangkunya kurang, kita bisa menggunakan bangku-bangku di warung sebelahnya. Ini
membuat peringatan DILARANG MEMBAWA MAKANAN DAN MINUMAN DARI LUAR yang seolah-olah
merupakan produk “budaya tinggi” dari kelas atas itu menjadi tampak meble.”
Jelas Seno.
Berhubungan dengan konsep makanan dan tata meja makan yang ada di iklan tadi agaknya menimbulkan satu pertanyaan: apakah dengan demikian orang-orang berpuasa senantiasa saklek pada jenis makanan dan minuman yang ada di narasi iklan? Bila demikian terjadi, tentu kita berbelas kasih pada jenis makanan dan minuman yang mencerminkan lokalitas di tiap daerah. Omong-omong, selama puasa tahun 2023 ini, berapa ribu ton kurma yang beredar di Indonesia?[]
*Joko Priyono. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021), Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022), dan Bersandar pada Sains (2022).