Doa, Uang, dan Epidemi Neurotik

 Keberengsekan yang masih sering aku lakukan adalah menjadi hamba amatiran dengan memanjat dan mendaras doa kepada Tuhan sebatas transaksional. Kenyataan itu tentu masalah besar dalam kehidupan beragama, menjalin relasi dengan Tuhan. Aku sering kali menghadap Tuhan saat terjebak masalah, dihantui kesulitan, dan merasa suntuk dalam kesengsaraan. Aku menengadahkan tangan pada doa-doa penuh pamrih.

Namun, demikian yang terjadi, aku abai dan lalai saat kehidupanku penuh suasana bahagia, tenteram, dan berlimpah keceriaan. Kita boleh mengajukan pertanyaan demi pertanyaan bagaimana makna doa dan pertemuan dengan Tuhan. Konon, modernitas membentuk peta lajur perubahan banyak manusia dalam melakukan tindakan maupun sikap dalam keseharian.

Kemajuan teknologi digital terlampau cepat yang seakan-akan tak bisa lagi dibendung. Kemenduaan ruang virtual berdampak pada aspek religiositas. Orang-orang mudah membawa agama, nama Tuhan, hingga moral untuk menghardik lain yang baginya tak sejalan dengannya. Klaim demi klaim kebenaran secara serampangan menjadi perkara sendiri dalam konteks kehidupan Indonesia, utamanya adalah kebhinekaan dan keberagaman.

Ada hal yang menarik dalam pertarungan demi pertarungan sebagai imajinasi kolektif itu. Terlepas dengan motif yang melatarbelakangi—politik, ideologi, agama, hingga ekonomi—rasanya kita sepakat bahwa ada satu hal yang menyatukan antara satu orang dengan lainnya. Itu tiada lain adalah uang. Uang sebagai sebuah realitas intersubjektif telah mangkus dan sangkil menjadikan banyak orang bersepakat pada satu misi maupun tujuan.

Untuk mencapai kepemilikan uang terwujud dalam banyak tindakan. Mulai dari yang baik hingga buruk. Celakanya, ketika menilik sederet pemberitaan di media sosial, kita mudah menemukan pengabaran yang viral akan buruknya kalangan di dalam menggapai uang. Para pejabat yang culas melakukan tindakan korupsi, mereka yang memainkan anggaran dalam lembaga-lembaganya, kejahatan dan kriminalitas, hingga sederet modus bisnis yang berkedok penipuan.

Pelajaran tentang uang lazimnya bagi generasi 1980-an dan 1990-an saat menapaki sekolah dasar. Setidaknya, aku masih teringat saat guru semasa sekolah dasar melakukan sosialisasi untuk menabung sembari menawarkan buku tabungan yang bagian depannya identitas diri dan bagian belakangnya imaji nasionalisme dengan keberadaan Pancasila. Dulu, para orang tua mudah mengiyakan pada anak-anaknya dengan alih-alih belajar menghemat uang jajan.

Entah mengapa yang terjadi konsep tabungan semasa sekolah itu tidak menjadikan seorang peserta didik tertanam kesadaran akan imajinasi manusia terhadap uang. Di mana itu berhubungan dengan persoalan kebutuhan, ketersediaan, dan keseimbangan. Seingatku, muara dari tabungan sekolah itu adalah untuk pembiayaan wisata maupun piknik. Aneh, tapi itu kenyataan yang terjadi.

Pada sebuah masa, orang-orang kemudian mengenal sistem perbankan. Ketertatanan pikiran terhadap uang menjadi tersistem dan terstruktur. Kita mengenal bunga yang tidak dihasilkan dari jenis tumbuhan tertentu. Kita mengenal istilah seperti modal, investasi, mutasi, transfer, dan transaksi. Sistem perbankan kemudian mengisahkan pemaknan nilai dari agama dalam pertumbuhan dan perkembangannya, utamanya semenjak dimunculkannya konsep “Perbankan Syariah”.


Di Majalah Panji Masyarakat edisi 6 Desember 2000, kita temukan sebuah iklan dari Bank Syariah Mandiri. Iklan mengisahkan suasana bulan Ramadan, dengan sekeluarga sedang memanjatkan doa. Iklan secara gamblang tidaklah membicarakan perkara uang. Iklan memuat petuah akan pemaknaan puasa, walaupun di baliknya ada motif khusus dari keberadaan bank.

Pada sebuah bagian, kita menemukan untaian kalimat demi kalimat berupa: /Hakekat puasa adalah meningkatkan pengendalian diri…/ /biarlah berbagai ajakan dan bujukan menawarkan bermacam kemudahan,/ /biarlah berbagai bisikan dan pekikan menjanjikan aneka keuntungan./ /Hakekat puasa adalah meningkatkan pengendalian diri…/ /agar kita makin bijak dan kuat dalam memilih kehidupan modern dan tetap setia di jalan Syariah./ /Di situlah keseimbangan sejati terdapat. Dan itu sangat nikmat…/.

Kalimat-kalimat tersebut menjadi penanda keterhubungan bank dengan konsep agama. Kita ingin menunda lebih lanjut membahasnya, sebab aku teringat dengan beberapa kawan yang dulu pernah kuliah di jurusan ekonomi syariah. Barangkali mereka yang berhak memberikan penjelasan. Kita malah teringat dengan sebuah buku yang menyoal uang. Buku itu garapan Morgan Housel, The Psychology of Money (2020). Konon, semenjak diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Zia Anshor dan diterbitkan Penerbit Baca pada 2021, di kalangan pembaca Indonesia dalam dua tahun terakhir buku itu laris di pasaran.

Wah, aku dapat petuah penting dari Morgan Housel: “Tabungan pribadi dan gaya hidup sederhana—penghematan dan efisiensi keuangan—adalah bagian rumus uang yang lebih banyak bisa Anda kendalikan dan punya peluang 100% efektif sekarang maupun pada masa depan.” Aku diingatkan oleh Housel dalam memikirkan uang, uang, dan uang. Pernyataan itu juga mengingatkan bagaimana budaya hidup mewah telah menyesakkan ruang publik dan media sosial. Uang terkonotasikan pada kemewahan yang menimbulkan watak iri dan benci.

Aku teringat dengan buku garapan J. Sumardianta, Habis Galau Terbitlah Move On (Bentang, 2014). Ia membuat analogi menarik akan situasi-situasi jumud dalam realitas kehidupan modern dengan frasa berupa “Epidemi Neurotik”. Ia menulis: “Kebencian, iri, dan dengki adalah epidemi neurotik yang mewabah pada zaman modern. seperti mentalitas orang antre: yang di depan mengancamku, yang di belakang mengurangi kesempatanku. Masyarakat modern terjangkit epidemik “sms kuadrat”: senang melihat orang susah, susah melihat orang lain sukses.”

Kehidupan macam apalagi yang dapat kita diidealkan? Kalau diperkenankan untuk menjelaskan, aku hanya akan sebatas menyampaikan sebuah kalimat kepada Tuhan: “Tuhan, jika dalam doa-doaku banyak menginginkan keberlimpahan uang, apakah mungkin masih Engkau kabulkan di saat uang telah menjadi sebuah berhala tersendiri?”.[]


*Joko Priyono. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021), Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaandan Keilmuan (2022), dan Bersandar pada Sains (2022). 

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak