Beduk dan Hotel

Di beberapa kesempatan dalam bulan Ramadan, salah satu hal paling dinantikan oleh umat Islam adalah beduk yang menandai azan magrib dikumandangkan. Beduk itu biasanya di masjid-masjid. Barang itu membentuk peradaban dan kebudayaan umat Islam. Sampai-sampai, ada sebuah guyonan terlontar yang pernah aku dengar. Seseorang memberikan pertanyaan kepada beberapa gerombolan orang berupa: “Apa yang kamu harapkan saat puasa di bulan Ramadan?”

Pertanyaan itu disampaikan dengan serius dan membuat orang-orang yang diberikan pertanyaan tersebut hanyut dalam suasananya. Dengan kata lain, sekian orang yang diberi pertanyaan memberikan jawaban dengan serius pula. Ada yang memberikan jawaban: mencari rahmat, berkah, hingga rida Allah SWT. Semua jawaban diterima oleh penanya. Sampai akhirnya, perbincangan itu cair dengan kalimat yang disampaikan penanya: “Yang aku harapkan di bulan Ramadan ini hanya satu. Beduk magrib.” Seketika tawa muncul.


Pada tahun 1986, beduk menjadi penanda iklan di bulan Ramadan. Aku menemukan sebuah iklan di Majalah Tempo edisi 24 Mei 1986. Oh, sebelumnya aku harus menyampaikan: di tahun itu aku belum lahir di muka Bumi. Aku mungkin memang sudah tercatat dalam daftar takdir Tuhan, namun belum masuk proses atas pertemuan antara spermatozoa dan sel telur. Namun, aku punya ingatan tentang 1986. Di PMII, pada tahun itu tepatnya di Kota Solo ada tahapan pembahasan mengenai Nilai Dasar Pergerakan.

Lain hal itu, setahuku orang-orang yang lahir di tahun itu di zaman ini banyak yang telah menjadi tokoh. Baik menjadi intelektual, akademisi, politisi, hingga pebisnis. Memang benar akan ujar-ujar bahwa manusia itu menjadi anak zaman. Iklan yang aku temukan adalah iklan mengenai sebuah hotel di Jakarta—Hotel Sari Pacific. Di iklan, pihak hotel menyematkan slogan: The hotel with heart. Di iklan tersebut, hotel itu memberi penawaran khusus di bulan Ramadan.

Kalimat “Tarif Khusus Ramadhan” yang diikuti dengan rentang waktu itu bagiku penting dan perlu diberi garis bawah. Kalimat itu semacam headline dalam koran, yang mengajak pembaca untuk asyik-masyuk ke bagian dalamnya. Utamanya adalah perkara harga dan fasilitas. Kalimat berikutnya kita temukan berupa: “Tersedia Hidangan Buka Puasa di Fiesta Coffe Shop.”

Oh, seumur hidup aku belum pernah ke tempat bernama Fiesta Coffe Shop. Jangankan ke tempat itu, ke hotelnya saja sekalipun belum pernah. Di Solo aku pernah menginap di sekian nama hotel, itu pun kalau bukan perkara keterlibatan di dalam acara pelatihan maupun seminar, mungkin tak kesampaian menginjakkan kaki ke hotel. Namun, bila diresapi nama tempat yang menyediakan fasilitas hidangan buka puasa itu, kita lumrah mengatakan: mewah, nikmat, dan memanjakan.

Konon, hotel itu menjadi budaya kepemilikan orang-orang menengah ke atas. Kaum miskin barangkali hanya sebatas memilikinya pada mimpi panjang dengan doa-doanya, sebelum kejutan Tuhan benar-benar dihadirkan. Pada bagian itu kita teringat sebuah lirik lagu garapan Jason Ranti, “Lagunya Begini, Nadanya Begitu” (2019): /Barangkali hidup adalah doa yang panjang/ /Tapi oh sayang doanya mesti seragam/.

Keterhubungan hotel sebagai klaim kalangan menengah ke atas pastilah ingin memberikan persuasi bagi mereka yang masuk golongan tersebut. Mereka itu ya bisa jadi para pejabat, lingkaran pertemanan anak orang kaya, para pebisnis, deretan ormas yang punya uang banyak, hingga kaum konglomerat yang pada abad XXI mendapat sematan “Crazy Rich”. Bila benar terjadi, betapa sangat bergesernya makna puasa dalam konteks itu. Puasa bukan kesederhanaan yang kerap disampaikan penceramah di kultum sehabis subuh dan tarawih itu, lho! Puasa itu lubang kesenjangan yang begitu menganga.

Aku kemudian beruntung menemukan sebuah buku berjudul Bermain Politik di Bulan Ramadhan: Puasa Menghadapi Hedonisme Kontemporer (Pustaka Adiba, 1998). Buku itu memuat rubrik tanya jawab di Surabaya Post pada bulan Ramadan 1415 H atau 1 Februari-2 Maret 1995. Rubrik itu melibatkan tiga narasumber, masing-masing: A. Mustofa Bisri, Jalaludin Rakhmat, dan Emha Ainun Nadjib. Di buku memuat persoalan terkait puasa yang mengisahkan “budaya” buka bersama.

Salah satunya termuat dalam tulisan berjudul “Terpeleset Buka Bersama”. Lewat tulisan itu Emha memberikan jawaban atas pertanyaan dari pembaca. Di sebuah bagian, Emha memberikan pengakuan yang menyentil: “Saya sering diundang buka puasa bersama yang 90% hadirinnya tidak berpuasa, atau bahkan mayoritas merek tidak beragama Islam. Ya itu tadi, puasa tidak beroposisi primer, melainkan sekunder. Puasa hanya alat kepentingan dagang, lobi politik, atau untuk media tender.”

Pernyataan Emha memang tak bisa ditafsir begitu saja. Kita sengaja ingin menggunakan dalam konteks keriuhan tanda yang bermunculan di bulan Ramadan. Di hadapan Ramadan, hotel bukan sebatas penginapan saja. Hotel juga jadi tempat berbuka bersama kalangan tertentu. Hotel bukan hanya sebagai konsolidasi, tapi bisa saja untuk konsolidosa. Oh, kita teringat dengan seruan pemerintah yang dikeluarkan pada 21 Maret 2023 tentang larangan berbuka puasa bagi kalangan ASN.

Negara dalam kacamata pemikir Prancis, Louis Althusser menerapkan apa yang disebut dengan Ideological State Apparatus dengan persuasif dan ideologis mencakup pada keberadaan agama, pendidikan, keluarga, hingga media massa dalam berbagi kepentingan. Omong-omong bagaimana nasib hotel pengiklan tadi? Bila terjadi di 2023, beduk yang ditabuh sekeras apapun belum tentu laris. Ia tidak boleh kalau hanya memberi tawaran kepada para pejabat. Penabuh beduk harus kerja keras.[]


*Joko Priyono. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021), Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaandan Keilmuan (2022), dan Bersandar pada Sains (2022). 

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak