Para
bocah pada zamannya pernah kerap berdebar hati saat mengabarkan nilai ulangan
matematika kepada orangtua. Apalagi nilainya buruk, di bawah rata-rata. Diriku
pernah mendapati semasa sekolah dasar. Bapak berucap: “Oalah, hitung-hitungane
pekok.”
Bisa
berhitung pada masanya menjadi standar kecerdasan dalam kebudayaan masyarakat.
Kita belum menganggap selesai, ketika kata “Hitung” masing sering digunakan
sampai abad XXI. Duh, kita malah ingat Dali Santun Naga.
Ia
adalah pengelana ilmu kelahiran Tolitoli, Sulawesi Tengah pada 22 Desember
1934. Hijrah ke Jawa, ia menempuh sarjana di Institut Teknologi Bandung,
magister di Universitas Gunadarma, dan doktor di IKIP Jakarta. Di Majalah
AkuTahu, ia pamrih mengisi rubrik keilmuan.
Dali
tekun dalam banyak bidang keilmuan. Matematika, komputer, elektronika,
filsafat, hingga sastra. Pada 1980, bukunya berjudul Berhitung: Sejarah dan Pengembangannya diterbitkan oleh Gramedia.
Buku tersebut meraih penghargaan dari Yayasan Buku Utama.
Kita
diajak memikirkan kata “Berhitung”. Gejolak bahasa pernah dialami oleh Dali. Ia
menulis: “Dahulu istilah ini berbentuk “ilmu hitung” dan oleh karenanya dahulu
murid di sekolah belajar ilmu hitung. Tetapi berangsur-angsur istilah itu
berubah. Kini di mana-mana kita mendengar murid-murid belajar berhitung dan
bukan lagi belajar ilmu hitung.
Naga-naganya,
ia sedang mengingatkan pelajaran-pelajaran di masa Sekolah Rakyat. Dulu, para
bocah sekolah menerima ilmu hitung. Istilah itu tak langsung merujuk pada
keberadaan matematika. Sebab, ilmu hitung adalah bagian dari matematika.
Sebagai
keilmuan berusia tua, Dali memberi penjelasan: “Sejarah berhitung adalah
sejarah panjang yang merentang selama ribuan tahun lamanya. Berhitung itu
terpencar di berbagai pusat kebudayaan kuno dengan pertumbuhan yang
terpisah-pisah. Barulah pada beberapa abad terakhir ini perkembangan berhitung
terpusat pada suatu wilayah dan kemudian menjalin secara sedunia.
Buku
mengajak berkhidmat pada sejarah. Sejarah itu memunculkan pengaruh tokoh,
gagasan, dan rentang waktu. Sampai pada akhirnya kita bermufakat bahwa
matematika sebagai bahasa penting yang melintasi batas negara.[]
*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).