Ramadan, Pesantren, dan Remaja

Remaja dalam beberapa pemberitaan media nasional selama tahun 2023 memiliki konotasi yang beragam. Salah satunya adalah perkara “kenakalan” yang berujung pada tindakan kriminal. Di Yogyakarta, tindakan itu tersemat pada “klitih” sebuah gejala yang membuat peyorasi bahasa. Di Jakarta, kita teringat pengeroyokan anak muda yang berbuntut panjang. Bahkan, di Sukabumi pembacokan seorang remaja disiarkan lewat siaran langsung Instagram.

Sederet tindakan sadis itu membawa pada perkara panjang yang menghubungkan satu pihak dengan lainnya. Dugaan kita mungkin salah satunya adalah: loncatan revolusi digital yang tak ayal berpengaruh pada psikologi seseorang. Wabah persinggungan terhadap media sosial mengisahkan penyakit kronis: orang mudah menjadi pribadi pemarah, menyalahkan, menyerang, dan bahkan melukai lainnya. Media sosial telah menggenapkan gejala polarisasi yang senantiasa menghadirkan dua kutub berseberangan.

Ingat kata “remaja”, kita diingatkan sebuah buku garapan Saya Sasaki Shiraishi (1997). Di hadapan pembaca Indonesia, buku tersebut diterjemahkan oleh Tim Jakarta Jakarta dengan judul Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga dalam Politik (Kepustakaan Populer Gramedia, 2001). Sasaki memotret banyak hal dalam babak negara di bawah kendali Orde Baru. Ia menyelinap pada hal-hal kecil yang itu membentuk struktur besar keberadaan Indonesia.

Sasaki megisahkan potret remaja di Jakarta pada akhir 80-an dan awal 90-an yang terkisahkan di surat-surat kabar pada lanskap: konser music rock, bioskop, disko, sepakbola, dan tawuran. “Pandangan stereotip kontemporer tentang remaja menggambarkan mereka sebagai kumpulan orang yang belum matang, cenderung bergerombol, kadangkala mengenakan seragam sekolah, tidak disiplin, gampang naik darah, liar, dan yang terutama, tidak penting,” ungkap Sasaki.

Penjelasan Sasaki mungkin berguna untuk memotret makna remaja di tahun 2023. Tesisnya tentang remaja sebagai sebuah “Ambivalensi” relevan. Pada remaja, kita diajak berpikir mengenai pendidikan, baik keluarga, sekolah formal, dan nonformal. Ada ujar-ujar penting yang kerap dihiraukan: anak-anak didik terkadang sebatas dijejali pengetahuan yang sebatas pemenuhan hasrat kecerdasan intelektual. Yang terkadang abai adalah ihwal kecerdasan emosional.

Duh, aku malah teringat situasi bulan Ramadan. Mungkin dirimu telah menyadari, Ramadan menyiratkan orang-orang melatih diri pada kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan emosional. Di sekolah dasar hingga menengah, para siswa dalam ingatanku dulu tatkala bulan Ramadan dilibatkan dalam kegiatan bertajuk Ramadan. Kegiatan itu biasanya berupa konsep pesantren kilat dengan tambahan diberi buku saku pencatat amal dan ceramah selama Ramadan.


Ingat Ramadan, ingat Gus Dur, dan ingat libur. Perhatian terhadap remaja terkisahkan dalam sebuah iklan di Majalah Panji Masyarakat edisi 6 Desember 2000. Iklan bertajuk “Pesantren Ramadhan” dengan kalimat pengantar: “Dalam rangka mengisi bulan suci Ramadhan Yayasan Amal Abadi Beasiswa ORBIT bekerjasama dengan Majalah Panji Masyarakat, Yayasan Wakaf Paramadina, dan Remaja Masjid Jakarta mengadakan Pesantren Ramadhan.”

Betul memang, iklan tersebut begitu religiositas dengan penuh niat mulia dan misi untuk mengajak banyak kalangan memberi makna terhadap bulan Ramadhan. Remaja terkonotasikan dengan ikatan masjid. Ia membentuk sebuah makna berupa “Remaja Masjid”. Para remaja melibatkan diri dan mengajak yang lain untuk mempelajari banyak hal dalam kegiatan “Pesantren Ramadhan”.

Para remaja masjid itu tentunya sudah biasa dengan keberadaan masjid. Masjid mengingatkan buku garapan Sidi Gazalba, Mesjid: Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam yang cetak pertama kali pada 1962. Buku itu laris dan sering dicetak ulang. Di hadapan kita terbuka buku cetakan ketiga pada tahun 1975. Gazalba dengan detail memberikan tafsir akan keberadaan masjid. Tafsir yang ingin mengajak para pembaca untuk memaknai hakikat masjid.

Di salah satu bagian, ia menuliskan keterhubungan antara masjid dengan ilmu. Pernyataan ia tulis: “Mesjid selalu mengawasi, mengeritik dan menilai apakah ia dikerjakan untuk kebenaran. Mesjid jadi pengingat akan takwa bagi semua orang yang berhubungan dengan ilmu. Tanpa menghubungkan dengan masjid, orang akan lupa pada tujuan ilmu. Dalam kelupaan itu tampillah nafsu-nafsu rendah mempergunakannya untuk hal-hal yang bertentangan dengan tujuannya.”

Pernyataan Gazalba terus penting untuk menjadi pengingat. Pada tahun 2002, Conny R. Semiawan menerbitkan buku berjudul Penerapan Pembelajaran Pada Anak. Conny pamrih mengutarakan gagasan keberadaan masjid dan anak. Di tulisan “Peranan Lembaga Pendidikan Nonformal dalam Membentuk Pribadi Anak” yang disampaikan pada Seminar di Pekan Anak-anak Islam se-Bandung Raya pada November 1988, kita mendapat keterangan berupa:

“Tidak cukup anak-anak kita kini menghafal zikir dan membaca Alquran, meskipun itu merupakan suatu conditio sine qua non dalam pendidikan nonformal di masjid. Masjid dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk berbagai pertemuan dan latihan belajar berbagai keterampilan hidup (life skill) yang diberi landasan etis spiritual.” Penjelasan tersebut agaknya sebagai sebuah penegasan bahwa keberadaan masjid mesti dinamis dalam perubahan dan perkembangan zaman.

Kita yakin, beban dan amanah itu salah satunya dipikul oleh para remaja-remaja masjid di mana pun berada. Mereka sebagai subjek yang melakukan kerja-kerja itu. Tak heran, menilik iklan yang tadi, di bulan Ramadan mereka menawakan program pesantren. Namun, menariknya dari pembagian usia yang ada, kelompok usia 14 tahun tak kita dapatkan. Selain itu, tempat pelaksanannya kok bukan di masjid? Jangan-jangan mereka menawarkan tempat yang sekalian memberi fasilitas sebagai rekreasi.[]


*Joko Priyono. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021), Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaandan Keilmuan (2022), dan Bersandar pada Sains (2022). 

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak