Gambar : http://il9.picdn.net/ |
“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya
berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlembat ke kantor, tugas-tugas rutin
yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan
berakhir dengan pensiun tidak seberapa.”
(Seno
Gumira Ajidarma)
Rasanya
sulit terbayang di dalam benak pikiran, jikalau jalan raya tidak identik dengan
sebuah kemacetan. Nyatanya memang begitu. Media, baik cetak maupun elektronik
tak kurang tiga jenis selalu memberitakan tentang hal tersebut. Bahkan, tak sedikit
media yang menjadikannya sebagai headline
atau kepala berita dalam bahasa jurnalistik.
Bercerita
tentang jalan raya, tidak adil ketika kita tidak melibatkan Daendels yang dalam
beberapa sumber dikatakan sebagai salah satu aktor pembangunan jalan dari Anyer
sampai Panarukan. Meskipun demikian, bukankah yang selayaknya menyanding gelar
itu ya rakyat Indonesia sendiri. Proyek pembangunan jalan dari Anyer sampai
Panarukan dikenal sebagai jalan raya Pos. Merupakan proyek utama Gubernur
Jenderal Hindia Belanda ke-36 yang tujuannya tak lain dan tak bukan adalah
sebagai salah satu usaha untuk membuka ruang gerak bagi tentara Belanda. Karena
memang, pada zaman itu kita kenal sebagai zaman kolonialisme dan imperialisme.
Bercerita
proyek, akan lain lagi kalau kita mau menuju romansa yang terjadi di dalam
salah satu novel karangan Ahmad Tohari. Judulnya adalah “Orang-orang Proyek”.
Buku itu menceritakan secara gamblang berkaitan mengenai permasalahan dan
bobroknya dunia proyek, yang utamanya adalah pembangunan. Bahkan, bukan hanya
pembangunan saja yang menjadi ajang bancakan, namun dalam realita banyak kasus
lain yang terjadi, antara lain adalah pengadaan kotak pemilu, pembagian sembako
untuk orang miskin, pengadaan bacaan untuk anak sekolah, program transmigrasi,
program penanggulangan bencana alam hingga sidang umum MPR dan penyusunan
undang-undang. Yang semuanya itu bagi orang-orang yang tak bertanggung jawab,
bisa dijadikan sebagai proyek yang mendatangkan keuntungan bagi diri pribadi
dan sekelompoknya.
Kembali
lagi mengenai pembahasan pokok dalam artikel yang barangkali tak ada manfaatnya
ini. Karena memang, tulisan ini sewajarnya buat konsumsi pribadi. Tulisan ini
juga tak ingin dimuat di harian surat kabar. Namun, ada kemungkinan di masa
depan tulisan ini menjadi tulisan yang akan dicari banyak orang. Entah dari
latar belakang maupun perspektif apa. Karena yang terpenting adalah sesuai
dengan pesan Pramoedya Ananta Toer, bahwa menulis itu supaya kita bekerja untuk
keabadian. Pembahasan kali ini berkaitan mengenai tiga hal pokok, yaitu
masing-masing adalah transportasi, pengamen dan tukang asongan.
Transportasi,
menurut KBBI adalah pengangkutan barang oleh berbagai jenis kendaraan sesuai
dengan kemajuan teknologi. Di negara yang bernama Indonesia ini, sangat begitu
kompleks ketika kita mau membahas mengenai transportasi. Berdasarkan
kepemilikannya, transportasi ada dua macam yakni umum dan khusus atau dalam hal
ini adalah pribadi. Lain halnya jika ditinjau berdasarkan teritorinya,
transportasi dibedakan menjadi tiga macam, yang masing-masing adalah
transportasi darat, transportasi laut dan transportasi udara. Memang,
transportasi dengan ragamnya akan selalu menjadi kebutuhan dalam kehidupan manusia.
Hingga hari ini, dia diposisikan sebagai sarana dalam setiap perjalanan hidup
manusia. Tak salah jika perkembangan teknologi, juga akan berpengaruh terhadap
perkembangannya. Mulai dari yang tradisional hingga modern di Indonesia masih
bisa ditemukan. Berbagai terminal, pelabuhan, bandara maupun segala penunjang
yang lainnya menjadi perhatian khusus terutama dari dinas pemerintah yang
terkait. Tujuannya adalah memberikan pelayanan semaksimal mungkin, karena
termasuk dari tanggung jawabnya.
Ada sesuatu
yang menarik kalau kita mau mengerucutkan pembahasan mengenai transportasi
menjadi beberapa hal saja. Alasannya adalah biar kita mengetahui secara
mendetail akan masing-masing yang menjadi bagian dari susunan trasportasi itu.
Transportasi umum. Iya, transportasi umum menjadi salah satu ruang bersama
dalam dunia transportasi. Dari namanya saja umum, tentu fasilitas ini
menyangkut kebutuhan banyak orang. Transportasi umum banyak ragamnya, terutama
di Indonesia. Misalnya adalah angkutan kota, bus, kereta api, kapal laut,
pesawat dan lain sebagainya.
Beberapa
hari yang lalu aku berkesempatan menikmati pelayanan dari salah satu jenis
transportasi umum yaitu bus antar kota. Memang tak ada yang istimewa dari jenis
bus itu. Kelasnya ekonomi, mungkin diperuntukkan bagi kelompok yang memiliki
ekonomi di bawah rata-rata. Tak ada Air
Conditioner (AC) atau pendingin di dalamnya. Panas dan sumpek itu sudah menjadi hal yang biasa. Setiap kali kernet bilang
untuk berhenti sambil memberikan kode berupa memukul besi bagian dari bus
dengan koin adalah pertanda ada penumpang mau turun karena sudah sampai di
tujuannya.
Di balik
derita dan cerita yang tak mengenakkan perasaan itu ada pelajaran berharga yang
perlu kita renungi bersama. Ya, bus maupun angkutan kota memang keadaannya
seperti itu. Tak bisa dipungkiri lagi. Sosok yang menjadi hikmah itu adalah
pengamen dan tukang asongan. Dua sebutan yang bagi mereka mungkin bisa dianggap
sebagai hal yang merendahkan dirinya. Dua sebutan yang bagi mereka mungkin bisa
dianggap sebagai sindiran. Dua sebutan yang bagi mereka mungkin bisa dianggap
sebagai ejekan. Namun, sedikitpun tak bermaksud begitu. Keyakinanku terhadap
dua sebuatan itu adalah sebagai jenis profesi yang ada di negara Indonesia ini.
Pengamen,
mereka dengan bermodal alat musik seadanya. Bekerja secara individu maupun secara
koloni. Beradu nasib dalam setiap celah-celah sempit yang ada di angkutan kota,
bus kota baik kelas ekonomi maupun bisnis. Menjajakan suara dihadapan para
penumpang yang ada. Dengan itu, mereka berekspresi. Meluapkan segala kemampuan
dan bakat yang dipunyainya. Dengan itu, mereka masih berharap untuk kehidupan
yang lebih baik. Tak ada sebuah paksaan dalam setiap kegiatan yang ada. Berjalan
dengan harmoni dan beriringan. Tercipta sebuah komunikasi interaktif dengan
masing-masing penumpang. Ada sebuah persamaan frekuensi yang terjadi di sana.
Satu sama lainnya saling berpikir dan meresapi kondisi hari ini. Namun, tak
sedikit dari penumpang juga mencerca habis-habisan akan kehadiran pengamen.
Menganggapnya sebagai hal yang berisik dan sangat begitu mengganggu. Itulah
realita hari ini. Bahkan, tak sedikit yang menganggapnya sebagai bagian dari
orang terlantar maupun orang jalanan. Keadaan ini menjadikan permasalahan
semakin kompleks. Pemerintah mempunyai undang-undang yang berkewajiban
melindungi maupun mengarahkan dengan baik. Namun, bagaimana kondisi hari ini?
Undang-undang seolah-olah hanyalah produk hukum yang menjadi tidak efektif
dalam pelaksanaannya.
Tukang asongan,
menjadi sosok yang menginspirasi banyak orang. Lihatlah, betapa kuatnya mental
mereka saat melakukan apa yang menjadi profesinya. Berhadapan dengan orang
banyak dengan beragam suku, agama dan ras. Menawarkan barang dagangan satu
dengan yang lainnya. Mencoba melakukan sebuah dialog interaktif dan komunikasi
visual terhadap setiap para penumpang. Kalau sudah, mereka akan melanjutkan
perjalanan ke angkutan kota selanjutnya. Melanjutkan perjalanan ke bus-bus kota
selanjutnya. Pagi, siang, sore hingga malam dilakukan dan dilaluinya dengan
percaya diri. Semuanya itu adalah menjadi usaha dalam kehidupan ini. Mungkin
menjadi bagian dari tanggung jawab kepada orang-orang yang ada di rumahnya. Dan
tentunya, hal ini adalah menjadi tanggung jawab dirinya dengan Tuhannya. Dan
semuanya itu berjalan dengan baik, bertahan dan berkelanjutan. (Joko)
Tags
Esai