Puasa itu lautan petuah tiada terkira. Ada banyak keutamaan yang diketengahkan di
saat bulan Ramadan dijalani orang-orang. Seruan ceramah yang ada di masjid, musala, hingga
tayangan audio-visual kerap hadir dari tokoh-tokoh tertentu. Satu hal mendasar
adalah bagaimana orang berpuasa itu perlu menggunakan waktu sedemikan rupa
secara efektif dalam melakukan aktivitas kebaikan. Puasa itu seruan, meski
kadang seruan hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.
Seruan yang sering kali terngiang-ngiang para jemaah itu
memperbanyak tidur. Jadi, dalam skala prioritas dari daftar anjuran kebaikan
yang perlu dilakukan saat puasa itu adalah memperbanyak tidur. Duh, aku malah
teringat ketika bersama beberapa teman sewaktu menjadi mahasiswa saat menjalani
ibadah puasa di bulan Ramadan. Ada masanya kebudayaan tidur sehari penuh itu
menjadi kesadaran kolektif.
“Dasar kurang ajar!”, kata-kata yang patut untuk
mengenang masa-masa itu. Tapi, toh, kami punya alasan. Tidur lebih baik ketimbang
waktu tergunakan untuk hal-hal yang berpotensi mengurangi pahala berpuasa.
Tapi, apa pun alasannya, memilih banyak tidur ketika puasa ya tetap saja tidak
baik. Artinya, apabila menilik kasus itu, sebenarnya kita diajak berpikir
mengenai pemaknaan waktu saat puasa dengan siklus demi siklus yang ada.
Aku kemudian teringat, salah satu keutamaan puasa itu
adalah membaca. Ini tak terlepas dengan sejarah turunnya wahyu pertama kali
kepada Nabi Muhammad Saw berupa Iqra’ pada tanggal 17 Ramadan, yang kemudian
diperingati sebagai Nuzulul Qur’an. Iqra’ itu seruan untuk membaca. Kita ingin
memberi tafsir, bahwa membaca yang dimaksudkan tentu saja luas cakupannya.
Membaca hal yang terdiri dari teks dan juga luar teks.
Situasi itu kemudian mengingatkan bahwa puasa itu
identik dengan berbuku. Tak terkecuali adalah kehadiran buku pedoman yang
menggerakan orang untuk mendalam pada upaya memaknai hakikat berpuasa. Ingat
buku pedoman puasa, kita tak bisa melupakan sosok Hamka. Dia ulama, penulis,
dan ahli tafsir kondang dengan tulisan-tulisan yang tersiar, salah satunya di
majalah yang ia gerakkan, Panji Masyarakat. Ia menjadi pemimpin umum sejak 1959
hingga 1981.
Salah satu buku garapan Hamka berjudul Tuntunan Puasa Tarawih dan Idul Fitri.
Di sebaran informasi mengenai buku, kita bertemu keberadaan iklannya setidaknya
di Majalah Panji Masyarakat
masing-masing edisi 11-20 Mei 1990 dan edisi 11-12 Januari 1995. Sekilas
dilihat, masing-masing iklan tersebut memiliki keterangan yang sama dan
identik. Namun, kta ingin pamrih untuk mencari titik perbedaannya. Ada satu hal
yang nampak, yakni keterangan nama penerbit, terdiri “Penerbit Panjimas” pada
1990 dan “Pustaka Panjimas” pada 1995.
Meski sama-sama di bawah naungan Panji Masyarakat,
kata “Pustaka” nampak terlihat sakral atau suci. Kita kemudian sengaja menilik Kamus Umum Bahasa Indonesia garapan W.
J. S. Poerwadarminta (1952). Lema “Pustaka” diartikan buku dan kitab. Penanda
ini penting sebagai bagian ekspresi terhadap kerja-kerja perbukuan. Masa 1990,
iklan buku hanya tercetak setengah halaman majalah dan hitam putih. Sementara
itu, pada 1995, iklan tercetak sehalaman penuh dengan warna dominan merah dan
abu-abu.
Iklan terbingkai bentuk pintu masjid, yang barangkali
ingin memberi ungkapan: masuk di setiap bagian buku itu sama halnya dengan
masuk ke dalam masjid. Pahala mungkin juga bisa sama. Buku dalam makna tertentu
sama dengan masjid, bagian penting dalam tindakan beribadah. Apalagi dalam
konteks itu berhubungan dengan puasa. Penekanan buku untuk dijadikan pedoman
dalam menjalankan puasa penting, selain tentunya pada kitab suci Al-Qur’an.
Hamka tak sebatas pamrih terhadap penarasian ilmu dan
pengetahuan terkait puasa, namun juga dilengkapi momentum idulfitri.
Sebagaimana menu makanan, frasa yang mewakili tentunya: paket lengkap. Pada
perkembangannya, sekian tahun buku itu terus cetak ulang. Di iklan terdapat
keterangan: “Demi mencegah kehidupan nafsi-nafsi, keserakahan, materialistis
dan keduniawian, yang semakin meluas akibat dampak zaman modern, buku ini perlu
dibaca sebagai tuntunan bagi umat Islam Indonesia.”
Di hadapan kita terdapat buku yang berketerangan edisi
revisi yang dicetak pertama kali pada 1993. Kita simak salah satu uraian yang
ia tulis: “Dia adalah latihan dan didikan. Dia adalah perbaikan agar pembersihan.
Dia adalah pembentukan akal dan budi.” Akal itu konon dapat dilatih dengan
buku. Buku itu sakral, berharga Rp2.650,-. Naik 32,5% dari harga lima tahun
sebelumnya.[]
*Joko Priyono. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021), Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022), dan Bersandar pada Sains (2022).