Kalau kita mengamati persebaran
opini di beberapa media—cetak maupun daring— dalam beberapa waktu terakhir, kelihatannya
mulai banyak pihak yang menggunakan frasa “Indonesia Cemas 2045”. Itu bukanlah ketidaksengajaan,
namun muncul dengan didasari analisis mendalam.
Frasa
itu memang memikul beban konotasi negatif, tetapi kehadirannya sebagai ajakan
untuk sadar bahwa narasi dominan yang kerap muncul makin meragukan. Tiada lain
adalah merebaknya keinginan dengan penuh klise terhadap “Indonesia Emas 2045”.
Hari
demi hari terakhir, kehidupan kita disesaki sederet berita yang menguatkan daya
pesimisme. Kelompok menengah diguncang dengan ambang manajemen ekonomi,
pendidikan diwarnai sederet kasus perundungan, hingga ketimpangan yang terus
menganga.
Bangsa
Indonesia dalam beberapa bulan terakhir tergambarkan pada dua aspek. Pertama,
survei yang diumumkan World Population Review pada 2023 yang menunjukkan angka
rata-rata IQ sebesar 78,49. Kedua, pada sampel bocah sekolah, hasil PISA 2022
diumumkan pada 2023: membaca (359), matematika (366), dan sains (383).
Kita
mengerti, itu hanyalah angka, dan model penilaian itu berpotensi dekat pada
“kompetisi”. Namun, angka adalah representasi untuk mengerti dampak perubahan
atas proses yang terjadi—juga berkelindan dengan kebijakan.
Bagaimana
dengan matematika? Sepupu jauh saya yang tinggal di Inggris, Junaid Mubeen pada
2022 menerbitkan sebuah buku. Beruntungnya, buku itu diterjemahkan oleh Dedeh
Sry Handayani, Kecerdasan Matematis
(Pustaka Alvabet, 2022).
Kita diajak memahami babak perubahan dalam matematika. Junaid menulis, “Kecerdasan matematis adalah sistem untuk menjadikan kita pemikir dan pemecah masalah yang lebih baik, dengan menggunakan berbagai perkakas yang telah teruji oleh para matematikawan. Di mana di era mesin pintar saat ini, kecerdasan ini semakin dibutuhkan lebih dari sebelumnya.
Penjelasan mengingatkan esai Iwan Pranoto, “Setelah Berdansa Bersama Robot” (Kompas, 31 Januari 2023). Ia menulis: “Dalam pelajaran matematika, AI akan memaksa guru menciptakan pertanyaan baru.” Kita mengerti relevansi matematika dan sadar akan tingkat kesulitan yang perlu ditempuh.[]
*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).