Suatu
hari, kita sepakat dengan ajakan Joko Pinurbo mengenai penerimaan terhadap nasib
hidup. Bahwa menjalani hidup di dunia itu mungkin terwakili frasa “jangan
ngoyo!”. Bahwa kemudian itu membawa kita pada persoalan pendapatan. Sedikit dan
banyak, mesti disyukuri.
Kita
memahami itu melalui sebuah puisi gubahannya, berjudul “Surat Kopi” dalam buku
puisi Surat Kopi (2014). Lariknya
berupa: Lima menit menjelang minum kopi,/ aku ingat pesanmu: “Kurang atau
lebih,/ setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi//.
Pada
situasi yang berbeda, kita mengerti pendapatan itu sangat erat dengan
matematika. Kendati pula ada “pendapat” dalam pendapatan. Di waktu yang
berbeda, kita mengerti, Joko Pinurbo menghadirkan matematika dengan cara tanpa
dia melibatkan sekian variabel dan beberapa persamaan.
Penghadiran
itu terjadi dalam kumpulan cerita garapannya berjudul Tak Ada Asu di Antara Kita (2023). Di dalam buku itu, pada bagian
awal, kita bertemu cerita berjudul “Siraman Rohani”. Judul membuat dugaan erat
dengan religiositas, namun kita malah diberi cerita matematika.
Hadirlah
sosok Kasbullah, sebagai sosok anak yang nakal. Kelakuannya sering membolos dan
memalak teman-temannya. Ada salah satu kelemahan yang diterima olehnya, yakni
mengenai matematika. Matematika dalam kisah Kasbullah adalah makhluk yang seram
dan memuakkan, tentunya.
Kita
simak kalimat di cerita: “Pernah ia diberi soal yang sebenarnya mudah tapi
baginya sulit. Ditunggu suaranya, Kasbullah tak kunjung menjawab. Ketika
akhirnya menjawab, jawabannya ngawur. Sembari membelai punggung Kasbullah, guru
matematika yang suka puisi itu meledeknya dengan memelesetkan baris sajak
Sapardi Djoko Damono “yang fana adalah waktu, kita abadi” menjadi “yang fana
adalah Kasbullah, matematika abadi”. Seisi kelas tertawa.”
Kita
agak berpikir cara meledek yang dilakukan oleh guru matematika tersebut pada
Kasbullah, dengan berpuisi. Pikiran membawa dugaan bahwa cerita yang disajikan
Joko Pinurbo tidaklah mendiskreditkan keberadaan matematika. Agaknya, ia sedang
memberi makna mendalam: matematika itu puisi. Ia dekat sekali.[]
*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).