#7 – Joko Pinurbo dan Matematika

 

Suatu hari, kita sepakat dengan ajakan Joko Pinurbo mengenai penerimaan terhadap nasib hidup. Bahwa menjalani hidup di dunia itu mungkin terwakili frasa “jangan ngoyo!”. Bahwa kemudian itu membawa kita pada persoalan pendapatan. Sedikit dan banyak, mesti disyukuri.

Kita memahami itu melalui sebuah puisi gubahannya, berjudul “Surat Kopi” dalam buku puisi Surat Kopi (2014). Lariknya berupa: Lima menit menjelang minum kopi,/ aku ingat pesanmu: “Kurang atau lebih,/ setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi//.

Pada situasi yang berbeda, kita mengerti pendapatan itu sangat erat dengan matematika. Kendati pula ada “pendapat” dalam pendapatan. Di waktu yang berbeda, kita mengerti, Joko Pinurbo menghadirkan matematika dengan cara tanpa dia melibatkan sekian variabel dan beberapa persamaan.

Penghadiran itu terjadi dalam kumpulan cerita garapannya berjudul Tak Ada Asu di Antara Kita (2023). Di dalam buku itu, pada bagian awal, kita bertemu cerita berjudul “Siraman Rohani”. Judul membuat dugaan erat dengan religiositas, namun kita malah diberi cerita matematika.

Hadirlah sosok Kasbullah, sebagai sosok anak yang nakal. Kelakuannya sering membolos dan memalak teman-temannya. Ada salah satu kelemahan yang diterima olehnya, yakni mengenai matematika. Matematika dalam kisah Kasbullah adalah makhluk yang seram dan memuakkan, tentunya.

Kita simak kalimat di cerita: “Pernah ia diberi soal yang sebenarnya mudah tapi baginya sulit. Ditunggu suaranya, Kasbullah tak kunjung menjawab. Ketika akhirnya menjawab, jawabannya ngawur. Sembari membelai punggung Kasbullah, guru matematika yang suka puisi itu meledeknya dengan memelesetkan baris sajak Sapardi Djoko Damono “yang fana adalah waktu, kita abadi” menjadi “yang fana adalah Kasbullah, matematika abadi”. Seisi kelas tertawa.”

Kita agak berpikir cara meledek yang dilakukan oleh guru matematika tersebut pada Kasbullah, dengan berpuisi. Pikiran membawa dugaan bahwa cerita yang disajikan Joko Pinurbo tidaklah mendiskreditkan keberadaan matematika. Agaknya, ia sedang memberi makna mendalam: matematika itu puisi. Ia dekat sekali.[]

 

*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak