Pelajaran biologi mengajarkan
kita terkait keberadaan sendi. Kita diajak sadar tentang tubuh kita. Ihwal
tersebut kemudian membuat kita mengerti bahwa dengan paham akan tubuh,
menjadikan kita sadar dengan segala kondisinya tubuh mesti dirawat.
Hari-hari
terakhir banyak orang mengerti istilah baru berhubungan dengan sendi. Konon
satu permasalahan yang ditakuti adalah “sendirian”. Rupa-rupanya, itu tak
terlepas dari bahasa “kepemilikan pasangan”. “Sendirian” menjadi konotatif
dalam percakapan.
“Sendirian”
juga mengingatkan wabah yang lebih menggerogoti manusia abad XXI. Adalah “Kesepian”.
Esai “Wabah Kesepian” Qaris Tajudin di Majalah Tempo edisi 28 Agustus 2023 menarik disimak. Baginya, kesendirian
dan kesepian, tidak jauh beda, meski tak sama. Yang dibutuhkan untuk
menghadapinya dengan meminjam keterangan Stephanie Cacioppo—memiliki hubungan
nyata.
“Digitalisasi
memberikan ilusi tentang kebersamaan. Kita sibuk menyapa, mengomentari, saling
colek, menangis dan tertawa bersama, di dunia maya. Itu semua memberi ilusi
terpenuhinya kebutuhan akan bersama. Seolah-olah dengan kesibukan itu kita
merasa bersama. Tapi ternyata ada rasa suwung yang muncul karena taka da kebersamaan
yang nyata,” terang Qaris.
Kita
justru ingin mengingat buku pelajaran sekolah berjudul Sendi Hitungan. Buku garapan beberapa asing yang diterjemahkan oleh
M. Samoed Sastrowardojo diterbitkan oleh J.B. Wolters pada 1954. Kita berpikir
ada maksud pelibatan kata “sendi” itu sebagai upaya yang mendekatkan tubuh dan
matematika.
Di
tubuh buku, tak ada kata pengantar alih-alih sebagai informasi kepada para
pencari makna keberadaan buku. Kita langsung dihadapkan pada halaman-demi
halaman pertanyaan untuk lekas-lekas dijawab. Buku tersebut ditujukan pada
murid-murid kelas enam di sekolah dasar.
Yang pasti, narasi pada pertanyaan terlihat beragam untuk mengerti aplikasi matematika dalam keseharian. Harus diakusi, gambar swipoa yang ada di sampul buku itu menarik. Barang untuk belajar itu pada suatu masa, tidak semua murid bisa memiliki. Namun swipoa itu sejarah, seperti ditulis Tim Collins (2022), paling tua berasal dari 300 SM.[]
*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).