Pada
1990-an, buku-buku berkedok “ajakan bermatematika” hadir di mata publik.
Nama-nama penerbit bermunculan. Kita mengenal penerbit Gramedia, yang saat ini
menjadi penerbit penting dalam belantika perbukuan Indonesia.
Di
tahun 1991, mereka menerbitkan buku garapan Karl Heinz Paraquin. Di sampul
ditulis nama penanya, Para. Buku semula berjudul Denkspiele (1990), kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
oleh Idham B. Setiadi dengan judul Kumpulan
Permainan dan Teka-teki Main Akal-Akalan.
Masa-masa
mengingat sejarah. Tahun-tahun tersebut kita mengerti gejolak sosial, politik,
dan ekonomi. Namun, anjuran demi anjuran bermatematika harus tetap ada. Bisa
jadi begini yang ingin dikesankan, bahwa di tengah gejolak yang ada, berpikir
tidak boleh libur.
Buku
menyertakan istilah “akal”. Akal itu mengikat akan kehadiran manusia. Akal
harus didayagunakan. Satu jalan mengkus dan sangkil adalah dengan matematika.
Ribuan orang menganggap matematika itu menegangkan. Para ingin membuktikan
bahwa bermatematika bisa dicapai dengan main-main.
“Kalau
bermain, kita bebas. Aturan-aturan sehari-hari tidak berlaku dalam permainan.
Dalam permainan, kita boleh mencari jalan keluar yang baru. Kita tidak harus
selalu mengikuti yang ada. “Akal-akalan”, istilahnya. Dan, tidak akan ada yang
marah,” begitu penjelasan dalam bagian pembuka buku.
Duh,
keterangan justru mengingatkan politik mutakhir Indonesia. Alih-alih
bermain-main, para aktor politik terbawa tengang dalam permainan. Jentakanya, mereka
jarang mau menggunakan logika seorang bocah. Mafhum, kita dibingungkan dengan
penyertaan “curang” yang muncul justru sebelum permainan itu berlangsung.
Hari
demi hari, kita dikecewakan dengan amburadulnya logika dalam ruang publik. Kita
hidup dengan makin menyaratkan bertahannya cerita tunggal. Banyak orang mudah
dibuat mengalami perpecahan. Barangkali satu masalah mendasar adalah makin
hari, kita itu makin meninggalkan matematika.
Buku
bacaan garapan Para tersebut kiranya penting untuk dibaca. Dengan menggunakan
analogi peristiwa di keseharian memberi keabsahan: matematika itu mudah
ditemukan. Yang menarik adalah keberadaan “pentol korek”. Mungkin ada makna
agar kita tidak mudah bergesekan.[]
*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).