Aku, Buku dan Bola

“Saya sudah kelewat jarang bermain bola. Impian menjadi pemain sepakbola sudah dikubur jauh-jauh hari. Kini, saya hanya bisa bermain sepakbola dengan tangan yang mengetikkan huruf demi huruf, kata demi kata, dan kalimat demi kalimat-menuliskan sepakbola. Ya, saya menggunakan tangan untuk apa yang sudah terlampau sukar untuk dilakukan dengan kaki.”
(Zen RS, 2016)

Petikan kalimat itu merupakan pembuka dari salah satu esai Zen RS yang berjudul “Sepatu Bola Pertama” dalam bukunya yang berjudul “Simulakra Sepakbola”. Entah itu sebagai salah satu hal untuk terus membela diri akibat cita-cita menjadi pemain sepakbola yang tak sampai, atau mungkin menjadi bagian proses yang telah dilaluinya dari masa kecil, bahkan saat menginjak kelas V SD pernah berujar ingin menjadi seperti Marco Van Basten hingga aktivitasnya sekarang salah satunya yaitu masih bergelut dengan dunia sepakbola lewat data, analisa dan fakta. Diolah sedemikian rupa. Memberikan sebuah gagasan yang segar dari sisi lain lapangan hijau, yang banyak orang biasa mengenalnya sebagai permainan adu kesebelasan. Namun, melalui laman panditfootball kita akan dihadapkan dengan makna sepakbola dengan beragam perspektif.
Zen RS benar-benar memahami bahwasannya hakikat dari seorang manusia adalah ia yang terus mau belajar, berpikir dan melakukan sebuah renungan atas apa yang dilakukan. Manusia dalam hidupnya memiliki ataupun mematok target apa saja yang harus ditempuh dalam waktu yang periodik. Sesuai dengan analogi hukum pertama dari Newton, tentu manusia bisa merefleksikan maupun menganalogikan, bahwasannya W = F x S. Itu berarti besarnya usaha adalah berbanding lurus dengan gaya, atau dalam hal ini adalah manifestasi manusia dalam membuat formula. Juga berbanding lurus dengan jarak, dalam hal ini adalah perjalanan dari usaha yang telah dilalui. Cita-cita tanpa ada usaha hanya menjadi sebuah utopia semata. Dan sebaliknya usaha tanpa cita-cita, kemungkinan besar hanya bermuara pada hal yang sia-sia.
Tentu, saya juga memiliki cerita panjang akan hal yang bernama sepakbola. Kala itu ketika masa sekolah dasar berada di kelas IV SD mulai merasa heran saja dari kebiasaan Bapak yang sangat begitu menantikan pertandingan sepakbola. Tak bisa dipungkiri, Bapak adalah seorang penggemar pertandingan sepakbola, bahkan dalam beberapa cerita singkatnya pernah menjelaskan, beliau di masa muda aktif bermain sepakbola untuk tim sepakbola dari dusun kami. Rasa heran itu pun, terus berlanjut. Sekali-dua kali aku mencoba untuk ikut menyaksikan pertandingan sepakbola bareng Bapak. Sebagai orang yang awam akan hal bernama sepakbola, mencoba untuk adaptasi adalah pilihan yang tepat.
Sampai pada akhirnya, aku pun menjadi tertarik akan sepakbola. Di sekolah dasar, sekolah menegah pertama hingga sekolah menengah atas kehidupanku dihiasi salah satunya oleh sepakbola. Puncaknya adalah ketika berada masa lulusan SMP, dan aku belum menentukan mau melanjutkan kemana. Terbesit sebuah ucapan kepada orang tua ku dikala itu. “Saya tidak melanjutkan ke sekolah menengah atas tidak apa-apa asalkan disekolahkan di SSB yang ada di Salatiga”. Sebegitu terobesinya ingin menjadi pemain sepakbola, meskipun pada akhirnya orang tua tak merestui. Karena riwayat penyakit hernia abdomenalis yang pernah saya derita kala kelas 8 SMP mungkin menjadi salah satu penyebabnya. Namun, kegemaran untuk menikmati pertandingan sepakbola dan sesekali ikut bermain bersama teman-teman sekampung tak surut. Memang, di desa saya ada fasilitas lapangan sepakbola untuk mengembangkan minat dan bakat anak-anak muda, biasanya mereka berlatih sehabis asar sampai azan maghrib berkumandang.
Kedekatanku dengan Bapak akan sepakbola, hingga menyebabkan proses ideologisasi secara berkala. Beliau pengagum klub sepakbola dari ibu kota yang terkenal dengan julukan macan Kemayoran atau banyak kita kenal dengan Persija Jakarta. Untuk urusan klub sepakbola luar negeri, beliau pengagum The Red Devil’s atau biasa kita mengenalnya dengan Manchester United. Ideologisasi itu meskipun terjadi tidak langsung dan bertahap, hingga membuat saya juga mengidolakan dua klub sepakbola itu hingga hari ini. Era tahun 2000-an ketika Persija jaya dengan Trio ABG nya (Aliyyudin, Bambang Pamungkas dan Greg Nwokolo) sangat begitu dinantikan solo run, tarian di atas lapangan bahkan gol-gol yang lahir dari kepala, dada maupun kaki. Atau bahkan, Manchester United melahirkan sosok Rooney sebagai seorang penyerang yang pada 2008 biasa berkolaborasi dengan seorang Carlos Teves. Mereka berdua yang biasa menantikan umpan-umpan cantik salah satunya dari seorang Ryan Giggs atau bahkan Christiano Ronaldo.
Namun era terus berganti. Klub sepakbola tak banyak yang ajeg mempertahankan para pemainnya. Alasannya, karena faktor umur, kemampuan bahkan masa pensiun yang harus diterima setiap pemain sepakbola. Bursa transfer pemain menjadi fenomena yang selalu dirindukan oleh para penggemar sepakbola. Cita-cita menjadi pemain sepakbola mulai luntur, menjadi penggemar bola saja bahkan naik-turun atau fluktuatif. Aktivitas sepakbola kini hanya menjadi sharing pengetahuan maupun wawasan lewat obrolan di café, kos maupun warung Hidangan Istimewa Kota (HIK). Dalam beberapa obrolan, memang kita akan berhadapan dengan para penggemar sepakbola yang berbeda klub kesayangan. Jadi menjadi sebuah kewajaran jikalau muncul olok-olokan antar klub.

Minat ber-sepakbola ketika hanya bisa bicara lewat data, fakta maupun analisa alangkah baiknya harus diimbangi dengan buku. Karena kita perlu mengambil sikap teladan yang menjadi komitmen dari seorang Gus Dur, “Saya ini enggak punya pacar. Teman main saya cuma buku dan bola”. Menjadi mahasiswa hingga saat ini, saya coba berusaha melakukan hal tersebut. Ketika minat sepakbola bersifat naik-turun. Itu harus diterima, apalagi sepakbola kini menjadi sedemikian pesat dalam perkembangannya. Buku harus menjadi barang yang bisa dibicarakan secara data, analisa maupun fakta dari setiap apa yang tertera di dalamnya. (Joko)
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak