Pada 2019, aku pernah nekat seminggu berkelana ke Jawa
Timur. Mengunjungi beberapa kota: Kediri, Surabaya, dan Probolinggo. Ke Kediri
aku ingat Bung Isnan, dulu yang menemani beberapa hari di sana untuk ziarah ke
makam Tan Malaka, Kiai Achmad Shiddiq, dan Gus Miek. Aku ingat saat bergerak
dari satu tempat ke tempat lain diboncengkan oleh Bung Isnan dengan motor
C70-nya.
Perjalanan yang mengesankan. Dari bus ke bus dan motor
ke motor. Tujuan akhirku adalah Probolinggo. Aku punya hutang dengan salah satu
intelektual Nahdlatul Ulama, Muhammad Al-Fayyadl atau biasa disapa Gus Fayyadl.
Aku bersyukur, beberapa minggu sebelum itu, ia berkenan memenuhi undangan untuk
mengisi acara pelatihan yang ada di PMII Komisariat Kentingan. Aku berjanji
bila mendapat kesempatan akan sowan ke Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton,
Probolinggo.
Wah. Ke rumah Gus Fayyadl aku agak minder dengan
bayangan obrolan apa yang perlu dibincangkan. Apalagi itu kesempatan ke
Probolinggo pertama kalinya. Beruntungnya, di Probolinggo aku punya seorang
kawan, namanya Ramadhan (Adon). Dulu ia kuliah di Poltekkes Surakarta. Bayang-bayang
percakapan itu menjadikan satu hal yang saya mudah menyerah. Probolinggo dalam
percakapan juga menggunakan bahasa Madura. Orang-orang biasanya menyebut dengan
“Madura Swasta”. Entah, istilah itu siapa yang pertama kalinya mencetuskan.
Beberapa jam kami mengobrol banyak hal sebelum senja, aku
dan Ramadhan pamit. Gus Fayyadl sebenarnya memintaku untuk menginap semalam.
Namun, pulang adalah ketergesaan yang menjadi alasan. Meski kemudian aku masih
bermalam di rumahnya Adon. Aku menambah trayek perjalanan
hidup—Solo-Probolinggo. Setelah aku sedikit mempelajari bus, dari Solo untuk
menuju ke Probolinggo setidaknya ada dua cara. Pertama, menggunakan bus jurusan
Solo-Surabaya, baru kemudian berlanjut Surabaya-Probolinggo. Kedua, langsung ke
Probolinggo dengan bus jurusan Yogyakarta-Banyuwangi.
Bus jurusan Yogyakarta ke Banyuwangi itu bernama Mila. Sebab, dalam percakapan, orang-orang kerap menggunakan istilah “bis”, maka disebutlah “Bis Mila”. Dua kata itu kalau disambung menyerupai frasa dalam pembuka surat Al-Fatihah. Akhirnya, kadang jadi obrolan yang mengarah penuh canda dan keakraban: “Solo ke Banyuwangi cukup dengan bismila…”.
Solo – Probolinggo, aku ingat atas kepenasaranku
mengenai sejarah masa lalu otomotif. Mulanya aku membaca buku anggitan Rudolf
Mrázek (2002) yang di Indonesia ditejemahkan oleh Hermojo dan diterbitkan
pertama kalinya oleh Yayasan Obor Indonesia pada 2006 dengan judul Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi
dan Nasionalisme di Sebuah Koloni.
Oh, bab pertama buku itu berupa “Bahasa Sebagai
Aspal”. Aku hanya ingat aspal saat pemerintah memperbaiki jalan-jalan dengan menggunakan
sederet mesin. Dulu, ketika masa kanak-kanak melihat sekian nama alat itu mudah
kagum dan terpukau. Entah, siapa yang mencetuskan—apapun nama alat yang digunakan
mengaspal jalan di tempatku disebut dengan “Lender”.
Di bawah kolonialisme pada akhir abad XIX, kaum
pribumi terbangun imajinasinya dengan rel kereta. Dari rel kereta, imajinasi
itu bergerak pada jalan-jalan. Kita paham, di situ ada otomotif. Mrázek memberi
pengisahan mengenai keberadaan motor dan mobil. Ia bahkan memaparkan data
mengenai kasus kecelakaan yang terekam di Surabaya dalam paragraf berikut:
“Pada tiga bulan pertama tahun 1928, sebagai contoh,
di Surabaya terjadi 524 kecelakaan lalu intas yang serius, 24% disebabkan oleh
mobil, 23% disebabkan oleh kereta api atau trem, 17% disebabkan oleh motor.
Pengemudi yang terlibat dalam kecelakaan itu, 11% adalah orang Eropa, 6% orang
Cina dan Arab. Dan sebanyak 83% pribumi.”
1928, di dua kota lain terjadi peristiwa penting.
Jakarta menjadi perhelatan Kongres Pemuda kedua. Sementara itu, di Yogyakarta
terjadi Kongres Perempuan pertama. Pertemuan itu merekam peristiwa, sejarah,
dan ingatan. Tentu, mereka berpikir serius atas nama pemuda dan pemudi. Meski,
di luar itu ada yang memilih bersantai yang barangkali dengan menikmati
berkendaraan di jalan-jalan.
Aku kemudian beralih ke buku garapan James Luhulima, Sejarah Mobil & Kisah Kehadiran Mobil di
Negeri Ini (Kompas, 2012). Di buku itu kita dapat mengetahui sejarah mobil
di dunia, kemunculannya di Indonesia, dan relasi yang dimunculkan dalam dunia
industri. Kita mudah menemukan foto orang bermobil dan gambar dari sekian
jenama mobil. Meski judul memilih kata “mobil” kita juga mendapatan sedikit
pengisahan motor. Ternyata, motor pertama kali di Indonesia muncul lebih dahulu
ketimbang mobil.
James Luhulima menulis: “Kendaraan bermotor pertama,
dalam hal ini sepeda motor, tiba di Indonesia pada tahun 1893, 119 tahun yang
lalu. Walaupun pada masa itu Indonesia berada di bawah pendudukan Belanda dan
bernama Nederland Indië (Hindia Belanda), tetapi orang pertama yang memiliki
kendaraan bermotor di Indonesia bukanlah orang Belanda, melainkan orang
Inggris.” Keterangan lanjutan berupa: “Orang itu bernama John C Potter yang
bekerja sebagai Masinis Pertama di Pabrik Gula Oemboel, Probolinggo, Jawa Timur.”
Keterangan mengenai mobil dalam tulisan berikut: “Satu tahun sesudahnya,
pada tahun 1894, mobil pertama tiba di Pelabuhan Semarang. Dengan demikian,
mobil pertama hadir di Indonesia, hanya delapan tahun setelah mobil pertama
dibuat di Jerman. Mobil itu bermerek Benz Viktoria beratap terpal milik
Soesoehoenan Soerakarta Pakoe Boewono X.”
Masa lalu terus dikisahkan. Kita sengaja membuka buku Merengkuh Djaman Kemadjoean: Dinamika
Modernitas Kota Kecil garapan Deddy Arsya. Buku itu terbit pertama kali
pada November 2022 oleh Penerbit Tanda Baca. Deddy mengisahan sejarah yang
terjadi di Padang Panjang, Sumatra Barat. Sayang, sejauh perjalanan hidup, aku
belum pernah sekalipun ke Sumatra. Aku ke Sumatra lewat cerita-cerita,
perjumpaan dengan teman, serta halaman-halaman buku.
Dalam pembabakan kendaraan, Deddy mengisahan
keberadaan sepeda yang muncul terlebih dahulu, sebelum mobil. Ia menyebutkan data
sejarah mobil yang dalam tulisnya diperkenalkan oleh Hindia Belanda pada 1898.
Ia mengisahkan Minangkabau: “Sementara itu, di Minangkabau, dalam catatan Gusti
Asnan (juga Colombijn), angkutan ini didatangkan dari Singapura sejak 1904.
Jadi, ada sekira rentang lima sampai enam tahun sejak diperkenalkan pertama
kali di Hindia Belanda.”
Di Minangkabau, mulanya mobil menjadi sesuatu yang
aneh. Baru kemudian pada abad XX mulai populer. Mobil menjadi benda kolektif
yang menghubungkan banyak orang. Penjelasan Deddy berupa: “Namun, memasuki
dasawarsa kedua abad ke-20, jumlah mobil telah meningkat secara lebih
signifikan di Minangkabau dibandingan dengan dasawarsa sebelumnya. Pada awal
1920-an, misalnya, tercatat jumlahnya telah lebih dari 3.000 buah mobil dengan
berbagai varian merek.
Deddy nampak mengalami kesulitan dalam menjelaskan
sejarah perkembangan kendaraan di Padang Panjang secara spesifik. Ia melakukan
pendekatan dengan tinjauan sejarah kota terdekat ataupun daerah sekitar yang
memiliki keberlimpahan sejarah. Namun, ia tetap membuktikan pengisahan sejarah
kendaraan yang ada di Padang Panjang. Duh, pada abad XXI, meski tak berbakat
jadi sejarawan, aku masih pamrih belajar sejarah dan ingin tahu banyak hal.
Omong-omong: bagaimana kabarnya Gus Fayyadl dan kawan saya Ramadhan Saifullah
di Probolinggo sana, ya?
*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).