Gunung Bromo, Toyota Kijang, dan Kebakaran Itu

Ketimbang pada flora, jenama produk otomotif yang bertebaran di Indonesia lebih dekat dengan fauna. Itu terbukti dengan sekian nama merek yang pernah melintas sepanjang kebudayan otomotif. Kita mengenal Jaguar, Daihatsu Zebra, Toyota Kijang, Isuzu Panther, hingga Mitsubishi Kuda. Kita menduga pelibatan lema nama hewan itu selain meracik imajinasi dan hasrat konsumen, juga sebagai reposisi merek membawa ciri maupun karakter hewan terkait pada benda yang dibuat.

Walhasil, meski kita berpikir, namun kelihatannya sulit mendambakan merek kendaraan dengan penggunaan nama tumbuhan. Misalnya: BMW Kacang Tanah, Honda Rumput Jepang, Suzuki Petai China, Toyota Bawang Merah, Jeep Kecambah, Kawasaki Buah Kecubung, Daihatsu Daun Talas, Volvo Cabai Keriting, hingga Volkswagen Putri Malu. Mesi begitu, pikiran kita tak sia-sia, toh suatu saat contoh-contoh itu bisa saja digunakan.

Mobil dan motor dalam pandangan sekilas akan gerakannya di tubuh iklan, seperti halnya rokok. Mereka bergerak dengan latar tempat yang mengisahkan alam. Mereka mau menebus biaya mahal untuk menyajikan narasi yang menarik. Hingga kemudian, selain bertujuan memengaruhi selera konsumen, alam, bagi mereka adalah kehadiran di tubuh dan pikiran konsumen. Seorang konsumen diajak merasa berjalin mesra dengan alam, bukan berada di tempat itu, namun melainkan pada penggunaan merek produk.

Pada bulan September tahun 2023, kita digegerkan dengan kebakaran yang terjadi di Gunung Bromo. Kebakaran, meski bukan dasar kesengajaan, namun peristiwa itu yang makin membuat kita menaruh tanda tanya akan ambiguitas orang-orang itu berkunjung ke gunung. Konon, memang begitu. Bukan hanya Bromo, nama-nama gunung lain di Indonesia bernasib sama dalam keberadaannya.

Ke gunung, tak sedikit orang sudah tidak lagi memiliki orientasi pada upaya sakral berhubungan dengan alam. Ke gunung, banyak orang hanya untuk berkunjung, berfoto, hingga bersenang-senang. Celakanya, dalam pertumbuhan algoritma media sosial, banyak pihak menjadikan gunung sebagai sebuah komoditas. Mereka memasang iklan bertuliskan  ajakan ke gunung bareng, lengkap dengan biaya yang perlu dibayarkan dan keterangan fasilitas yang didapatkan.

Sekilas, cara itu tidaklah salah jika kita mendasarkan pada ungkapan, “namanya saja cari rezeki”. Yang salah adalah pertautan orang-orang dalam membawa tujuan, hasrat, dan misi pergi ke gunung. Berkali-kali masalah akan hadir: tumpukan sampah di banyak sudut gunung, perlakuan terhadap lingkungan yang cenderung merusak, hingga hilangnya daya lestari dari tempat terkait.

Dalam gegap gempita itu, kita tahu bagaimana peradaban yang terjadi di antara kota dan desa. Konon, yang tragis adalah orang perkotaan. Di hari-hari biasanya hanya bisa merasakan udara segar di dalam kantor gegara adanya mesin pendingin, gedung yang menjulang tinggi, macetnya jalan, hingga tenggat pekerjaan yang mengabsenkan berpikir santai, pergi ke tempat yang bernuansa alam jadi obat.


Hanya saja, dengan ketidakbiasaan pada kelestarian alam, sikap dan pikiran culas ketika ke tempat tersebut yang jadi perkara. Kita malah dingatkan sebuah esai garapan Zen RS berjudul “Keluyuran di Tengah Kota” (Jawapos, 13 Oktober 2015). Zen dengan lihai menyigi bagaimana kepergian orang kota ke tempat-tempat yang jarang dikunjungi, tak terkecuali gunung memperlihatkan fakta yang hipokrisi. Orang-orang kota mudah dibuat “gumun”.

Zen menulis, “Di media sosial, amat mudah menemukan foto-foto indah dari berbagai tempat dan kebudayaan Indonesia karya para traveler itu. Sebagian besar dilekati citraan-citraan nasionalisme.” Ketika kita menyadari betul ungkapan itu, bila melihat dan menemukan orang berpose dan berfoto dengan takarir nasionalisme maupun kecintaan terhadap alam mungkin kita akan mudah mencurigai.

Apa sebab? Yang tercitrakan dalam media sosial memang yang indah-indah, seolah-olah kondisi itu sebenarnya. Namun, kamera yang dijadikan alat oleh mereka sudah politis. Mungkin saja, mereka tidak akan memedulikan atau bahkan mengisahkan cerita lain bahwa banyak tempat yang dikunjunginya terancam akan kerusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, punahnya biodiversitas, dan mungkin tercerabutnya budaya yang telah berkembang di sana.

Hal yang sama terjadi di Bromo. Dengan motif berfoto, celaka itu datang. Saat terjadi kebakaran, mungkin banyak dari kita merasa marah dan mengutuk pihak yang akhirnya jadi tersangka. Kita boleh berpikir itu, namun ada hal yang lebih tentunya. Apakah kejadian itu dapat dipastikan yang terjadi untuk terakhir kalinya? Pertanyaan ini naga-naganya membutuhkan jawaban yang panjang. Uraian itu perlu detail dan komprehensif.

Wah, kita malah teringat masa lalu. Gunung Bromo pernah menjadi latar pembuatan iklan mobil Toyota Kijang. Iklan itu dapat ditemukan di Majalah Tempo edisi 11 April 1992. Iklan dengan gambar foto ratusan mobil berada di salah satu bagian dari Gunung Bromo. Dengan kepala iklan bertuliskan “Memang Tiada Duanya”, keterangan di bagain samping benar-benar memberikan uraian dan pengesahan yang dibuat oleh pengiklan.


Terbaca keterangan: “Keheningan dan kedamaian alam saat menanti sang surya di puncak Bromo menjadi daya tarik yang tiada bandingnya. Karakteristik Kijang yang khas membedakannya dengan kendaraan sekelas, mencerminkan kecermatan rancangan dan jaminan kenyamanan dan berkendara yang sulit ditandingi.” Kijang memang tak mengajak kita untuk lekas pergi ke Bromo dan berfoto-foto. Kijang mengajak kita untuk membelinya, dan apabila mau ke Bromo, produknya telah terbukti sampai di sana.

Ada pengisahan berbeda kehadiran gunung bagi orang dewasa daripada kepada anak-anak. Di waktu yang hampir bersamaan, saya menggamit beberapa lembar buku bacaan anak berjudul Perjalanan Menuju Gunung Bromo (CV. Citra Kencana, 1996) garapan Suwardono. Di buku, kita akan lebih mengerti penjelasan Gunung Bromo dalam lanskap alam dengan keterangan-keterangan pamrih dalam merawat dan menjaga kelestariannya. Bacaan itu mengisahkan anak sekolah bermotif mengisi liburan dengan berkunjung ke Bromo.


Peristiwa-peristiwa bagaimana menjalankan relasi terhadap alam dan lingkungan yang ada terasa betul dalam buku itu. Buku itu mungkin saja pada masanya tidak banyak yang membacanya. Namun, kita yakin, bahwa betul ada cara pandang bentang alam dari anak-anak terlihat berbeda dari kalangan dewasa. Mengapa ya, saat anak-anak terhadap gunung diajak betul merenungi keindahan alam dan cara melestarikannya, namun di kalangan orang dewasa cenderung berpeluang menyebabkan kerusakan? Duh, terlalu banyak tanda tanya.[]

 

*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak