Mahbub Djunaidi, Anak-anak, dan Imajinasi Berpuasa

Konon, Mahbub Djunaidi ketika menulis satu esai membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai titik selesai. Itu saya dapatkan saat 30 Januari 2023 lalu menjadi moderator di acara Mahbub Djunaidi Festival kesekian kalinya yang diselenggarakan oleh PMII Rayon Ali Ahmad Baktsir UIN Raden Mas Said Surakarta. Meski ada “Surakarta”-nya, cabangnya adalah Sukoharjo. Kendati Mahbub tak pernah kuliah di UIN, kawan-kawan itu rutin menyelenggarakan kegiatan tiap satu tahun sekali.

Oh, agaknya mereka ingin pamrih. Sebagai ketua umum pertama PMII, sosok Mahbub Djunaidi tidak boleh hanya dibentangkan dalam kaos dan kutipan tulisannya dijadikan takarir (caption) di seabrek media sosial. Mereka ingin punya keterhubungan dengan pikiran-pikiran Mahbub. Mahbub itu berlimpah pikiran dalam tulisan demi tulisan. Pada abad XXI, Mahbub milik banyak orang yang masih mau membaca gagasannya.

Di perhelatan festival tahun ini, dua anak Mahbub hadir dalam acara. Masing-masing Isfandiari Mahbub Djunaidi dan Tamara Djunaidi. Isfan berada di panggung memenuhi permintaan panitia untuk berkisah banyak hal tentang Mahbub. Duh, aku ingat, Isfandiari mengisahkan bagaimana menderitanya Mahbub saat mesin ketiknya dimaling. Tindakan itu konon terjadi saat peristiwa tulisan Mahbub yang menggegerkan belantara nasional. Ia menulis esai “Demokrasi Babi” yang konon menjadi satu sebab Kompas dibredel.

Selain itu, ingatan Isfan terhadap peristiwa kemalingan menjadi kisah sedikit pilu masa kecilnya bersama saudara-saudaranya. Mahbub menghidupi keluarga bermodal tubuh waras, pikiran encer, dan tangan bergegas dalam menyusun tulisan. Tik…tik bagi Mahbub bukan bunyi hujan di atas genting, namun kecepatan dan ketepatan jari mengalirkan imajinasi dan intuisi terhadap sekian topik. Lain hal itu, Isfan juga mengisahkan Mahbub sebagai sosok yang mudah berinteraksi dengan kalangan anak.

Benarlah, bila saksama menyigi tulisan demi tulisannya, kita akan tahu bahwa Mahbub banyak menulis mengenai anak. Di romannya, Dari Hari ke Hari (1974), ia mengisahkan masa kanak-kanaknya saat pada 1946-1949 bersama keluarganya “mengungsi” di Solo. Solo dalam ingatan Mahbub adalah pelbagai dimensi terhampar. Sosial, politik, kebudayaan, ideologi, religiositas, hingga pengetahuan. Kita ingat di salah satu bagian roman itu, ia mengenang bagaimana anak-anak pada zamannya berpuasa saat bulan Ramadan.

Kita mendapat keterangan saat anak-anak menahan lapar berpuasa: “Di mana-mana anak-anak suka naik. Naik apa saja. Apalagi naik menara masjid Solo yang langsing tinggi menuding langit, dengan putarnya yang elok, dan lebih leluasa dinaiki di bulan puasa. Tarhim, menyerukan puji-pujian sehabis subuh, menjadi kegemaran anak-anak.” Pernyataan itu menggambarkan puasa di bawah agresi militer Belanda. Tentu, di zaman itu Masjid Sheikh Zayed Solo belum dibangun.

Keterangan anak dan puasa di ingatan Mahbub mengingatkan sebuah iklan di Majalah Gadis edisi 24 April – 4 Mei 1989. Iklan itu menampilkan dua anak bergembira dengan membawa sarung dan memakai peci. Iklan ingin mengabarkan salah satu merek minuman berupa Ovaltine. Kalimat terbaca dalam iklan: “Meski sedang menunaikan ibadah puasa, anak-anak tetap bergembira seperti biasa."


Oh, iklan ingin membangun imajinasi para konsumen akan puasa yang terlewati oleh anak-anak. Iklan ingin berperan kepada keluarga Indonesia untuk memberi penguatan. Bahwa dengan meminum produk tersebut secara rutin saat sahur dan buka bersama, akan memberi kekuatan tersendiri bagi mereka. Narasi itu kemudian ditegaskan oleh kalimat berupa: “Ah… ibu memang tahu sekali apa yang dibutuhkan oleh anggota keluarganya pada saat berpuasa.” Ibu dan puasa menautkan perhatian pada anak-anak.

Kita masih pamrih memberi perhatian pada Mahbub. Di usia dewasa Mahbub masih berimajinasi mengenai anak dan puasa. Di Majalah Tempo edisi 26 Mei 1979, kita temukan esainya berjudul “Bulan Puasa Anak-anak Sekolah”. Kita kaget dan tercengang dengan tulisan pendek itu yang mengisahkan ingatan Mahbub akan puasa dalam beberapa fase. Ia mengetengahkan pada zaman kolonialisme, zaman Jepang, dan pasca kemerdekaan.

Mahbub menulis: “Di alam merdeka tentu keadaan berbeda. Anak-anak sekolah tambah jangkung, lebar dada dan tebal pantatnya. Ini berkat gizi cukup dan kemakmuran yang makin merata, terutama berkat kegesitan orang tua masing-masing. Jangan dibilang lagi tingkat kecerdasan mereka yang semakin meninggi, sebagian disebabkan karena orang sekarang mempunyai cara mengukurnya, dengan bantuan mesin yang tidak bisa dibantah.”

Kutipan Mahbub penting bagi kita sekalipun pada tahun 2023. Barangkali dulu ia tak memedulikan produk minuman yang menampilkan dua anak laki-laki tadi. Mahbub menekankan pada landasan yang lebih kompleks akan pertumbuhan zaman. Oh, Mahbub mengingatkan akan urusan pentingnya gizi dan kesenjangan. Kita malah jadi ingat: sampai puasa di tahun 2023, media pemberitaan nasional dan daerah sering memberitakan tantangan anak-anak akan keberadaan perkara tengkes.[]


*Joko Priyono. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021), Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaandan Keilmuan (2022), dan Bersandar pada Sains (2022). 

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak