Otomotif, Bocah, dan Kealpaan Pendidikan

Senin menjadi hari malas di kalender bagi banyak orang. Para pekerja dan penganggur tak ada bedanya. Senin kadang hari tak bergairah. Namun, orang-orang tentu sadar, bila tidak bekerja, berisiko memperpanjang usia kemiskinan. Gejala kemiskinan tentu nyata bagi kita yang sedang merintis kesuksesan. Perintis tak lebih unggul ketimbang pewaris, yang memiliki deretan privilese.

Di Netflix, pernah dirilis sebuah film dokumenter berjudul The Beginning of Life (2016). Film garapan UNICEF yang digawangi Estele Renner apik. Mengisahkan riset panjang mengenai tumbuh dan kembang anak sejak lahir dan pengaruh yang dimunculkan status keluarga. Fokus utamanya adalah di antara yang kaya dan miskin. Film berkisah bahwa dengan status itu membentuk mengenai bahasa, kecerdasan, dan masa depan.

Kita kemudian mengingat bahwa polah dan tingkah bocah terkadang tak menentu. Namun, bocah itu sebenarnya sedang berimajinasi. Orang tua mudah marah saat bocah bermain alat perkakas rumah. Mereka mudah menggerutu saat bocah mencoba menggunakan barang dapur untuk bermain. Mereka mudah melarang saat bocah bermain air hujan. Orang tua mudah menakut-nakuti, alih-alih agar bocah nurut. Larangan demi larangan itu bermasalah. Menghambat Imajinasi dan kreativitas.

Di bunga rampai Buku dalam Indonesia Baru (1999), Muhammad Sobari melalui esai “Anak-anak Mempunyai Kearifan Tersendiri” tidak hanya bicara buku. Ia juga menyoal anak. Mudahnya orang tua melarang anak menjadi kegelisahannya. Ia pamrih bahwa rumah harus menjadi ruang yang ramah bagi anak dengan kebebasan anak dalam berkreasi, bermaian, dan memahami lingkungannya.

Sobari menulis: “Maka biarkanlah anak-anak itu mengalami, merajut pengalamannya. Ciptakan tatanan inspiring. Bebaskan anak-anak bermain lumpur, karena lumpur itu keindahan bagi anak-anak. Biarkan anak-anak mencari binatang kecil di got, boleh kena duri, kena pecahan kaca. Janganlah rumah itu penuh kristal yang membelenggu kebebasan dan rasa spontanitas anak, sehingga goyah sedikit saja, si ibu sudah teriak-teriak jangan, kesenggol teriak aduh. Memang rumah itu milik ibu-ibu.”

Sobari mengimajinasikan rumah dengan keterhubungan penghuni kepada ilmu dan pengetahuan. Rumah itu saksi bisu pertumbuhan anak-anak kepada lingkungan yang lebih luas, baik sekolah dan masyarakat. Dari rumah, bocah memiliki bekal saat berpetualang ke dunia luar. Rumah terus berpengaruh pada bocah sampai usia dewasa. Rumah itu tempat kembali dari bepergian sejauh apa pun.



Dunia otomotif memiliki imajinasi tersendiri dalam menafsirkan rumah. Di Majalah Tempo edisi 23 Maret 1991 sebuah iklan mobil Mazda Sedan MR90 terpampang. Keterangan awal berupa: KENDARAAN NASIONAL YANG MEMBERI KEBANGGAAN”. Iklan memacu hasrat dalam berpikir akan makna “nasional”. Nasional itu tidak memakai produk buatan negeri, namun mengendarai mobil Mazda Sedan MR90 berwarna merah.

Di iklan terdapat anak-anak. Bahasa iklan tertulis: “Di mana dan ke mana pun aktivitas Anda sekeluarga, Mazda Sedan MR90 selalu memberi rasa bangga bagi Anda, pemiliknya. Bahkan tetangga pun melirik kagum, ingin turut memiliki ‘kebanggaan’ sedan MR90. Tak terkecuali anak-anak, semua orang memfokuskan pandangan terhadap mobil. Pandangan itu sangat dominan, katakanlah dibanding terhadap rumah.

Orang-orang dibuat ragu akan makna rumah. Rumah bukan lagi bangunan tak bergerak. Rumah itu adalah sebuah mesin yang bisa berjalan dengan dikendarai bersama keluarga. Mobil telah menjadikan kita bepikiran ulang akan keluarga dan rumah. Di mobil, pasti anak-anak sudah tidak lagi bisa bermain lumpur maupun mencari binatang kecil di got sebagaimana keinginan Sobari.

Imajinasi Sobari barangkali mengingatkan masa lalu anak-anak di pedesaan yang jauh dari keberadaan motor dan mobil mewah. Pada 1990-an, anak-anak Indonesia terbentuk imajinasinya terhadap dunia otomotif salah satunya lewat tayangan Ksatria Baja Hitam RX. Anak-anak mengerti model motor, mobil, helikopter, hingga pesawat. Barang bukan dari Indonesia. Film berkisah Jepang dengan pengaruh kebudayaan yang dimunculkan.

Di Majalah Bobo edisi No. 50, Maret 1994 memberikan sisipan di halaman pertama mengenai cuplikan episode film tersebut. Majalah Bobo pada 14 April 2023 genap berusia 50 tahun. Bobo menghadirkan bacaan di kalangan anak dengan ragamnya. Bobo juga menautkan anak-anak pada persoalan otomotif. Bobo, lewat edisi tersebut barangkali ingin pamrih mengajak anak-anak memikirkan film dari tinjauan cakrawala ilmu dan pengetahuannya.



Konon, imajinasi anak terhadap banyak hal dapat membentuk masa depannya. Tak terkecuali adalah pilihan profesi. Banyak profesi dalam pendidikan formal kita terkadang tidak dikenalkan pada anak-anak. Akhirnya, mereka hanya mengerti profesi berupa cita-cita sebatas menjadi polisi, tentara, hingga dokter. Keterbatasan itu kemudian mengasingkan jenis-jenis profesi lain, misalnya adalah seorang montir. Boro-boro kemudian terpikir menjadi petani.

Aku malah menemukan sebuah buku bacaan anak berjudul Mengembangkan Usaha Bengkel garapan Ferdiansyah. S.E dan Ir. Hj. Winarni E. Buku dengan stempel: layak sebagai buku nonteks pelajaran berdasarkan Surat Keputusan Kepala Balai Bahasa Bandung, KEMENDIKNAS pada 8 April 2010. Buku diterbitkan pertama kali oleh CV Wanda Putra Persada Pontianak di tahun 2007.

Dari Pontianak, kita sadar: anak-anak diajak berpikiran mengenai dunia otomotif. Pikiran itu berupa tindakan dengan mengalami pada perkakas terkait dunia perbengkelan. Otomotif dalam konteks itu adalah gairah dalam ilmu dan pengetahuan. Kita malah teringat W. S Rendra. Dulu, ia  membuat “Bengkel Teater”. Apa mungkin ketika kecil ia menaruh cita menjadi seorang montir, meski pada akhirnya berkarier di kesenian?[]

 

*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak