Mobil, Jalan, dan Kemerdekaan

Semasa sekolah dasar hingga menengah, aku merasa bodoh dalam urusan pembacaan peta, sekalipun ketika di sekolah, peta itu tersebar di beberapa tempat. Setidaknya di sekian tembok sekolah, ruang guru, ruang kelas, hingga ruang kepala sekolah. Kegiatan bazar buku di sekolah dengan menghadirkan penjual buku atlas dan RPUL bagiku tak memberikan andil. Sebab, ketika bazar buku itu, aku lebih sering membeli buku: tuntunan salat, nikmat masuk surga, hingga sengsara masuk neraka.

Arkian, terhadap masalah peta itu, aku ingat mengenai satu hal: dulu, aku menduga Rengasdengklok itu nama daerah yang ada di Belanda. Kebodohanku tak berujung pada tanya. Aku baru sadar setelah sekian tahun berlalu. Rengasdengklok itu salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Sekolah kita kerap mengajarkan sejarah-sejarah besar. Rengasdengklok pernah menjadi saksi diculiknya Soekarno dan Hatta.

Anak-anak, termasuk diriku pada masanya tak pernah mendapat keterangan lebih. Imajinasi kemerdekaan Republik Indonesia akhirnya sebatas pembacaan Proklamasi di Jalan Pengangsaan Timur No. 56. Wajarlah, menjadi penting atas apa yang pernah disampaikan oleh Romo Mangunwijaya di Majalah Forum Keadilan edisi No. 4, Tahun III, 9 Juni 1994. Di sana Romo Mangun menulis esai berjudul “Sikap Kebangsaan Kita yang Asli”.

Romo Mangun menulis: “Maka pencerdasan rakyat dicantumkan dalam Mukadimah UUD 1945. Rakyat yang cerdas bukan rakyat yang hanya mampu menghafalkan rumus-rumus dan berpidato dalam bahasa klise, yang dapat menjawab 1001 pertanyaan yang diajukan orang lain. Akan tetapi mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan mereka sendiri yang menyangkut mereka masing-masing, demi penyelesaian mereka masing-masing juga.”

Pernyataan Romo Mangun memantik diriku mencari hal lain di sekitar peristiwa kemerdekaan. Aku ingat, kemerdekaan itu juga disebabkan keberadaan otomotif. Pembuktian, kita boleh buka buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia garapan Cindy Adams. Buku itu terbit dalam bahasa Inggris pada 1965. Aku membaca terjemahan Abdul Bar Salim, cetakan keempat pada 1986 diterbitkan Gunung Agung.

“Dua buah kendaraan berdiri di pinggir jalan. Dalam kendaraan yang depan duduk tawanan yang lain, yaitu Hatta dengan wajah yang membayangkan perasaan jemu. Dalam kendaraan kedua lebih banyak tentara dan kaleng-kaleng makanan, cukup untuk beberapa hari,” tulis Cindy Adams. Cita-cita kemerdekaan itu adalah kendaraan, jalan, dan makanan. Di perjalanan, kita mafhum takut lapar. Kemerdekaan butuh makan.

Jalan menuju kemerdekaan juga milik Fatmawati dan masa kecil Guntur Soekarnoputra. Guntur masih menyusu ibunya saat perjalanan bersama bapaknya itu. Peristiwa menyusui Guntur oleh Fatmawati terkisahkan oleh Cindy Adams. Ketika menyusui, kendaraan perlu berhenti dahulu. Keterangan dalam buku terlalu penting: “Jadi, perjalanan penculikan Bung Karno yang bersejarah itu tersetop sebentar ketika mobil Fiat itu dihentikan di pinggir jalan sementara Fatmawati menyusukan Guntur.”

Perjalanan kemudian mengisahkan keberadaan truk. Pernyataan berupa: “Di daerah yang telah direncanakan di mana tidak ada penjagaan Jepang, kami pindah ke atas truk dari garnizun PETA Jakarta. Truk itu tak ubahnya seperti kerangka-besi raksasa. Tidak ada layar penutup atas atau samping. Pun tidak punya tempat duduk. Fatma dengan Guntur duduk di sebelah supir dan kami jongkok di belakang berama-sama dengan 20 prajurit.”


Peringatan kemerdekaan menjadi ingatan terhadap otomotif. Di Majalah Tempo edisi 3 Juli 1993, memuat iklan yang mengabarkan pemberian hadiah dalam peringatan kemerdekaan. Pemberitahuan tertulis: “HADIAH HUT RI KE-48 Khusus Jawa & Bali”. Pemilihan Jawa dan Bali tentu berlatar belakang. Kita tak bisa menduga bahwa yang perlu merayakan kemerdekaan hanya Jawa dan Bali. Seluruh rakyat Indonesia sah dan boleh dalam mengingat peristiwa itu.

Salah satu hadiah yang disediakan oleh pihak Tempo adalah mobil. Mobil dengan bak belakang itu bermerek Futura. Kata “Futura” dekat dengan “Future”. Kita boleh menduga, mobil dalam peringatan kemerdekaan itu sebagai renungan untuk terus memikirkan masa depan Indonesia. Dalam tinjauan sejarah, mungkin sebenarnya mengingat truk yang digunakan Soekarno dan Hatta saat pengasingan ke Rengasdengklok.



Kita malah ingat kisah lain sekitar kemerdekaan yang masih menyoal keberadaan mobil. Adalah S. K. Trimurti yang tidak lain bersama Latief Hendraningrat dan Suhud Sastro Kusumo sebagai pengibar bendera saat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. S. K. Trimurti juga merupakan pendiri Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis) yang merupakan cikal bakal Gerwani. Oh, ia juga merupakan istri dari Sayuti Melik, pengetik naskah proklamasi. Perempuan itu juga merupakan menteri tenaga kerja pertama Indonesia.

Di peringatan hari lahir Pancasila pada 1 Juni 1977, ia menjadi ketua panitia. Sambutannya disertakan Mohammad Hatta dalam buku Pengertian Pancasila (Yayasan Idayu, 1981). Buku itu memuat pidato yang disampaikan oleh Hatta. Di sambutan, S. K. Trimurti mengisahkan Soekarno. Ia menulis: “Bung Karno adalah penggali, adalah bidan, adalah “tukang kebun” yang telah berhasil menemukan Pancasila dari dalam “tanah” Ibu Pertiwi.”

S. K. Trimurti menemukan kemerdekaan Indonesia di jalan bersama dengan mobil. Di Majalah Intisari edisi No. 85 Agustus, 1970, ia menulis “Tiga Hari Sekitar 17 Agustus 1945”. Keterbatasan di surat kabar membuat pengabaran kemerdekaan perlu meniti jalan demi jalan. Jalan kemerdekaan itu terjal dan berliku. Ia memberi pengakuan di masa itu mendapatkan tugas ke Semarang. Jelasnya dalam kalimat berikut:

“Saja sendiri pernah diutus ke Semarang, dengan mengendarai mobil jang bannja sudah botjor. Apa jang kami pergunakan? Ban dalam setiap kali kami isi dengan rumput2. Akibatnja, sebentar2 kami terpaksa berhenti karena isi ban itu sudah menjadi “telepong” sudah hantjur, dan harus diganti lagi.” Di jalan, kemerdekaan itu merambat pada kesadaran banyak orang, kendati ada kisah pilu di baliknya. Mobil melaju pelan dengan pasti menjadi saksi kemerdekaan Republik Indonesia.[]

 

*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak