Saudara/i, salam super! Jika hari ini Anda menemui
kawan yang terlihat murung dengan muka kehilangan semangat, bisa jadi ada dua
kemungkinan. Pertama, mungkin ia adalah seorang fans Manchester United yang masih
belum menerima fakta kekalahan klub yang dicintainya dari klub tetangga,
Manchester City di final Piala FA pada 3 Juni 2023. Kedua, ia mungkin seorang
tuna asmara yang sedih dengan malam minggunya.
Bisa dibayangkan, bila dua diagnosis itu dialamai oleh
satu orang. Serasa dunia tidak ada adilnya sama sekali. Oleh sebab itu, sebagai
kawan, Anda patut berkontribusi dalam kehidupannya, agar ia masih terus mau dalam
melanjutkan kehidupan. Konon, kawan terbaik adalah kawan yang selalu hadir bagi
seorang dalam situasi dan kondisi apapun. Baik saat bahagia maupun sengsara.
Memang, kepada kawan kita boleh berbeda dalam banyak
hal: pilihan politik, cara makan bubur dengan cara diaduk atau tidak, pilihan
waktu ketika mandi di sore hari, takaran sambal dan kecap saat makan soto,
hingga periode waktu untuk mencuci kendaraan motornya. Anda tidak perlu
memaksakan pilihan orang, sebab di negara ini menjamin kebebasan atas apa yang
dipilih. Ketika Anda memaksakan setiap orang harus sama, tentu Anda mengingkari
kemajemukan.
Dalam kendaraan bermotor pun itu realitas objektif
yang mesti diterima. Beberapa orang pernah memilih motor dengan merek Vespa. Di
awal 1960-an Indonesia diajak ber-Vespa. Majalah dan surat kabar bertindak sebagai
agen dalam sebaran-sebaran iklan. Dulu, iklan masih tampak wagu dan kurang
bermutu. Namun, kesederhanaan itu tidak mengurangi akan pesan yang hendak
disampaikan.
Di Majalah Mingguan
Djaja edisi No. 10, Maret 1962 terdapat sebuah iklan motor vespa. Iklan
tidak merincikan harga tiap produk yang dikabarkan. Kita malah mendapatkan
keterangan berupa: “Dengan djumlah terbatas VESPA 150 cc dan 125 cc — model
1962 Dapat berhubungan dengan: P.T. “Alpino”. Terlintas dalam pikiran, kita
boleh menduga: motor belum banyak dan harga belum tentu murah.
Vespa mengingatkan pada Italia. Imajinasi ber-Vespa di
kalangan Indonesia tidak sebatas melalui bisik-bisik, namun lewat percakapan
teks. Di edisi 18 Juli 1954, menariknya Majalah Mingguan Pagi menerbitkan sebuah liputan yang terdapat sepasang
kekasih menaiki Vespa. Di liputan berjudul “Roman Holiday”, kita mendapatan
foto dengan keterangan: “Gregory Peck dan Audry Hepburn pesiar mengelilingi
Roma naik scooter.” Vespa adalah kasih. Imajinasi lelaki mengemudi dengan
perempuan membonceng dan “mengekepnya”.
Pada 1986, Vespa berkisah Indonesia. Kisah tak biasa terekam
di rubrik “Indonesiana” Majalah Tempo
edisi 12 April 1986. Vespa memberi keterhubungan kepada Komando Distrik Militer
(Kodim) di Kampung Babakan Ciamis, Bandung. Begini kisahnya, pada sebuah waktu
dengan berboncengan sepeda motor, ada dua pemuda bernama Syamsul dan Menong
melakukan penjambretan terhadap sasaran bernama Bu Madji.
Bu Madji dijambret kalung emasnya. Ia berteriak
“Maling! Maling! …” Sampailah kemudian terdapat adegan peristiwa kedua maling
itu dikejar oleh penduduk. Keterangan berupa: “Ada 20 orang penduduk mengejar
maling siang bolong yang naik sepeda motor itu, lengkap dengan kentongan. Di
antara mereka terdapat empat hansip, alias semua hansip di kampung itu.”
Serangkaian kejadian itu ternyata rekaan semata atau
dalam hal ini adalah latihan peragaan siskamling. Kita kemudian mendapati
keterangan keberadaan motor Vespa yang dikendarai oleh seorang yang dalam
tulisnya mengaku intel Kodim. Meski kalau kita pikir-pikir, aneh: intel kok
ngaku. Tapi, ya tak masalah. Bisa jadi itu intel yang mengutamakan kejujuran.
Bukankah kata KPK demikian: Berani Jujur Hebat!
Peristiwa seorang intel Kodim yang tertipu dalam
bahasa 2023 “kena prank” di penjelasan: “Sial. Persis di mulut gang, tiba-tiba
dikejar pengendara Vespa. Dengan gerakan lugas lelaki itu menendang pantat
Syamsul sambil mengancam, “Jangan bergerak. Awas, kalau lari, saya tembak.”
Lelaki itu mengacungkan pistolnya ke muka Syamsul. Mahasiswa Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi (STIE) tingkat IV ini kaget bukan main: pistol hanya beberapa
senti dari wajahnya — pistol beneran.
Syukur, hansip yang mengejar tadi segera berteriak. “Pak! Jangan dipukul!
Jangan diapa-apakan! Dia pencuri bohong-bohongan!”
Kisah seperti cerita dalam novel yang memantik
imajinasi kita untuk mereka kelanjutannya. Anda mungkin berharap setelah itu si
intel Kodim akan bilang: saya sebenarnya intel bohongan. Atau mungkin, Anda
berharap kelanjutan kisah adalah empat hansip berteriak kepada intel: “E.. kena
prank, ya!”. Namun, itu tidak terdapat dalam skema tulisan tersebut. Intel,
meski bingung kemudian meminta maaf karena dikiranya itu benar pencuri. Ia
kemudian menakiki motor Vespanya.
Wah. Vespa bukan sebatas urusan kemesrahan pasangan kekasih.
Vespa juga berhubungan dengan hansip, maling, siskamling, dan intel Kodim.
Indonesia terus diajak ber-Vespa dengan penuh riang gembira. Pada 6 Maret 1992,
Tempo berulang tahun ke-21 tahun.
Usia masih muda, banyak berpikir, dan merancang masa depan. Maret mengingatkan
kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) yang diresmikan pada 11 Maret 1976.
Tempo dan UNS mungkin tidak ada hubungan
khusus. Tempo itu Goenawan Mohammad.
Pada 2017 tepat peringatan dies natalis ke-41 UNS, ia menyampaikan pidato
berjudul “Universitas dan Pasca-Kebenaran” dalam penganugerahan Honoris Causa.
Goenawan Mohammad dianugerahi. Kata “dianugerahi” lebih bermartabat ketimbang
“dihadiahi”. Di ulang tahun ke-21, Tempo lebih memilih memberikan hadiah kepada
para pembacanya.
Tempo menaruh Vespa sebagai salah satu hadiah utama dalam kesempatan itu. Tempo menjadi bagian penting dalam menaruh hasrat orang-orang Indonesia dalam ber-Vespa. Kita belum tahu, siapa akhirnya yang mendapatkan dua buah motor Vespa itu. Yang pasti, jika mereka masih diberi panjang umur hingga tahun 2023 ini dan setia merawat motor itu, mereka adalah orang yang berinvestasi. Konon, sampai sejauh ini, meski bekas, Vespa bernilai mahal.[]
*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir.
Penulis Buku Bersandar pada Sains
(2022).