Roda, Ban, dan Kehidupan

Seorang kawan bijak bestari mudah memberikan nasihat untuk temannya yang pilu dan menemui kegagalan. “Kehidupan itu bagai roda yang berputar. Kadang di atas dan kadang di bawah” begitu ucapnya. Namun, jika dipahami lebih mendalam, ungkapan itu agaknya hanya menjadi pelipur lara untuk sementara. Mungkin sapaan “Jemaah-jemaah yang berbahagia” dalam ceramah-ceramah itu perlu dikoreksi. Sebab, tidak semua jemaah sedang berbahagia. Ada yang lapar, memikir tanggungan hutang, dan frustasi akan hidupnya.

Nyatanya memang begitu. Ungkapan model itu cenderung berkonotasi klise. Tidak memberikan struktur pemecahan atas masalah dengan manjur. Maka, terhadap seorang kawan yang sedang bermasalah, janganlah dirimu sok memberikan nasihat bijak! Lebih baik dirimu menjadi penadah cerita atas apa yang ia hadapi! Bila memungkinkan, buatlah dialog yang dapat mengurai permasalahan itu!

Nasihat bijak belum tentu merupakan sebuah kebijaksanaan bagi banyak orang. Ia dalam penggunaannya perlu didasari juga pada kebijaksanaan. Barangkali yang kita hadapi di masa kini adalah mudahnya orang memberi nasihat bijak, tanpa didasari kebijaksanaan. Di kesempatan kali ini, aku tidak akan mengajakmu bicara nasihat bijak, sebab aku sendiri belum tahu di mana letak kebijaksananku.

Aku malah berpikir akan roda sebagaimana dalam ungkapan awal tadi. Kata itu mungkin dalam keseharian telah lazim di telinga kita. Utamanya berhubungan dengan kendaraan. Roda telah menggerakkan kendaraan dari masa ke masa. Keberadaannya menempel di mobil, truk, bus, sepeda, becak, hingga delman. Di iklan-iklan, roda itu mengenal merek. Ia biasanya lepas dari iklan kendaraan.

Namun, sematan “roda” dapat kita temukan dalam iklan mobil Honda Maestro Accord PGM-FI di Majalah Tempo edisi 28 Maret 1992. Di iklan, keterangan terbaca berupa: “Rem cakram 4-roda”. Keterangan bermakna ilmu, teknologi, keselamatan, dan kenyamanan pengguna. Ini menarik bagaimana iklan itu dengan jeli memberi pengisahan tentang roda. Bicara kendaraan, roda itu melekat pada ban.


Dalam sebaran istilah, keduanya memiliki pengertian berbeda. Amien Nugroho harus kita sebut sebagai nama yang sudi mengurusi istilah dalam otomotif. Ia menyusun buku Ensiklopedia Otomotif yang diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2005. Di buku, lema roda memiliki arti: “merupakan suatu piringan pejal atau kerangka lingkaran yang berputar pada poros pusatnya dan berfungsi meneruskan (meluncurkan) kendaraan itu di atas permukaan jalan”.

Sementara itu, lema ban diartikan: “adalah bagian roda yang terbuat dari bahan karet”. Kita mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa roda dan ban adalah sebuah sistem yang saling terhubung. Perputaran yang terjadi pada sistem itu yang mengagumkan peradaban kehidupan manusia. Keberadaannya memberi kait kelindan pada ursan bisnis, militer, ekonomi, pertanian, politik, dan pengetahuan.

Kita dapatkan pula keterkaitan roda pada sejarah. Majalah Hai edisi 29 Juli 1980 menerbitkan edisi khusus berjudul Penemuan-Penemuan Dasar. Kita mendapat keterangan mengenai roda: “Roda muncul dalam bermacam-macam bentuk dan ditemukan di sekitar Laut Tengah. Dalam hal ini, tidaklah terlalu tua jika kita menggunakan keseluruhan sejarah manusia sebagai skala waktu. Roda yang pertama muncul kira-kira lima-enam ribu tahun yang lalu, dan dengan cepat tersebar ke seluruh penjuru dunia pada masa itu.”

Di keterangan lain, tulisan menyebutkan beberapa nama roda yang pernah ada dalam sejarah. Roda Samaria, Roda Galilea, Roda Romawi, dan Roda Da Vinci. Sebelum ada ban, dulu roda berasal dari kayu. Pernyataan dalam tulisan penting: “Karena kayu cepat rusak, diperlukan sebuah ban roda, yang terbuat dari kulit dan kemudian dari ban tembaga. Ban roda pertama ditemukan di Ur dan Asiria.”

Pada beberapa peristiwa di jalan, orang berkendara sering menemui percakapan tanpa sekalipun mengenal sebelumnya. Percakapan itu salah satunya saling mengingatkan akan kondisi ban. “Bannya agak gembos, Mas/Mbak.” Percakapan itu betul-betul bermakna dan menjadi solidaritas antara satu pengendara dengan lainnya. Bahwa masih ada kemauan untuk mengingatkan. Ban itu dalam tinjauan filosofi berkendara merupakan salah satu penentu kesalamatan.

Di rubrik “INFOTEKNO” Majalah Intisari edisi Oktober 2010, Albertus Kristyas Orisanto menulis esai “Jangan Lupa Periksa Ban ya!”. Judul dengan tanda seru menegaskan perlu. Para pemilik kendaraan kelewat lupa dalam memperhatikan ban, membuat Albertus menulis itu. Hal itu dikarenakan pula persoalan ban yang menjadi faktor terjadinya kecelakaan.

 Keterangan itu tertulis: “Banyak kasus kecelakaan terjadi karena pecah ban, dan hal ini sering disebut technical error. Padahal sebenarnya jika ditelusuri masuk ke human error. Kurangnya perawatan kendaraan bermotor menjadi penyebab utama”. Albertus tidak mendalam bicara perkara kecelakaan. Ia justru memberi pengisahan secara keilmuan dan teknik dalam memeriksa ban.


Ban menyangkut hitungan tekanan yang dianjurkan. Albertus menulis: “Selain tekanan, pemeriksaan mingguan terhadap ban dilakukan terhadap kondisi fisiknya. Periksa apakah telapak ban dan alur ban masih bagus kondisinya.” Ia pamrih dalam menjelaskan matematika, fisika, hingga kimia dari sebuah benda yang dalam tulisnya ditemuan pertama kali oleh John Body Dunlop di tahun 1887 itu.

Rubrik “Sekitar Kita” Majalah Aku Tahu edisi  Februari 1988 memuat tulisan berjudul “Ban Mobil Pecah”. Kita telah diajak berpikir ban dan risiko kecelakaan. Di tulisan menghadirkan cara-cara yang disadur dari buku keluaran Reader Digest. Keberadaan ban sah menjadi penanda para pengendara dalam memperhatikan buku bacaan. Ban itu kendaraan, jalan, dan bacaan.

Aku jadi teringat ketika hidup di kawasan Jalan Slamet Riyadi di daerah Karangasem, Laweyan, Solo. Di depan tempat tinggal, setelah pematang jalan, tiap hari memandang jalan raya terbentang yang selalu dilintasi oleh berbagai jenis kendaraan. Beberapa kali kesempatan, aku menjumpai langsung peristiwa kendaraan dengan bannya pecah. Ban pecah membuat resah. Walaupun demikian, aku tetap teringat dengan percakapan dengan seorang kawan.

Ia adalah pengusaha mebel. Suatu saat ia bercerita dengan mulai keterbatasannya mendapatkan kayu sebagai bahan pembuatan meja dan kursi. Akhirlah kata “ban” itu muncul dalam percakapan. Bahwa dalam kebudayaan otomotif kita telah membuktikan banyak orang berpikir kreatif. Ban-ban bekas dari segala merek mobil dan motor digunakan untuk membuat meja dan kursi. Menariknya, seketika, kawan saya itu merasa masalah hidupnya terpecahkan.[]

 

*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak