Jika bukan latihan yang dulu diajarkan oleh ibu maupun
bapak kita semasa kanak-kanak, sampai sekarang mungkin kita tidak mahir dalam
urusan sikat gigi. Kita mendapatkan instruksi untuk membuka mulut, merapatkan
geraham, hingga membentuk senyum untuk menampakkan gigi di bagian depan. Di
bagian ini, kita mengerti betapa besar jasa orang tua dalam memikirkan
kesehatan anak.
Tahun 1980-an, buku terjemahan berbasis ilmu dan
pengetahuan berlimpah di Indonesia. Kita mengenal penerbit bernama Tira
Pustaka. Seri terjemahannya dikemas dengan apik, mewah, dan memanjakan.
Memiliki buku-buku terjemahan mereka menandakan kita peduli akan kemajuan ilmu
dan pengetahuan. Orang-orang Indonesia diajak mempelajari nalar ilmu dan
pengetahuan yang berkembang di kawasan Eropa dan Amerika.
Kita iseng saja membaca satu dari sekian buku dalam seri
“Hastakarya Anak-anak”. Buku itu berjudul “Petunjuk bagi Orang Tua”. Di buku,
kalangan orang tua diajak berpikiran mengenai kesehatan gigi. Keterangan
terbaca: “Bila sudah hampir berumur dua tahun, anak Anda mungkin akan terpesona
melihat Anda gosok gigi. Karena ingin meniru orang lain, anak mungkin ingin
gosok gigi juga. Inilah saat yang tepat untuk memberinya sikat gigi dan
membiarkannya mencoba.”
Konon, yang ditakuti oleh kaum ibu adalah saat
anak-anaknya terlalu banyak mengonsumsi jajanan yang manis. Hal itu memiliki
potensi menganggu stabilitas kesehatan gigi anak. Pangan dan gigi menjadi paket
penting bekal anak-anak untuk tumbuh menjadi remaja dan dewasa. Di rumah-rumah
keluarga Indonesia konon perkara merek sikat gigi dan pasta gigi menjadi
pertaruhan sendiri dalam klaim modernitas maupun kemajuan zaman.
Beberapa keluarga merasa klop dan nyaman dengan merek “Pepsodent”.
Ada juga yang setia terhadap “Ciptadent”. Ada pula yang istikamah menggunakan “Odol”.
Hingga ada pula yang tidak mau mengganti merek pasta gigi di kamar mandi selain
“Close Up”. Namun, entah mengapa saya teringat masa kecil saat bersentuhan
dengan sikat dan pasta gigi. Pasta gigi di kalangan anak-anak yang populer pada
zaman itu adalah: “Kodomo” dengan kepunyaan slogan: Teman baikku.
Perkara merek barangkali penting kita persoal.
Bayangkan, terhadap sebuah pasta gigi saja bisa menggegerkan kondisi keluarga.
Bisa jadi ada salah satu anggota keluarga tidak cocok dengan merek yang
disepakati anggota lain akan memunculkan penolakan. Di bawah kuasa merek—sikat
gigi, pasta gigi, celana dalam, tepung terigu, sepeda motor, minyak goreng,
hingga sabun mandi—rumah telah menjadi tempat debat dan mufakat para keluarga
Indonesia.
Dalam konstelasi ilmu dan pengetahuan, kita
diperkenalkan dengan manajemen pemasaran. Keilmuan itu yang melakukan telaah
bagaimana penyedia produk membentuk perilaku para konsumen dengan pelbagai
cara, strategi, dan hegemoni. Kita diingatkan dengan sebuah buku berjudul Membangun Kesetiaan Merek. Buku garapan
Douglas Atkin pada mulanya terbit di Amerika Serikat di tahun 2004. Di
Indonesia diterjemahkan oleh Lina Susanti dan diterbitkan Penerbit B-First
pertama kali tahun 2006.
Kita mendapat pengetahuan berharga, bahwa kenyataannya
konsumerisme menautkan pada perkara kultus dan melahirkan fanatisme. Dengar-dengar
fanatismenya melebihi fanatisme dalam beragama, lho! Penyedia produk kemudian
tak sebatas membangun konsumen setia, namun juga mementuk “fans”. Ini
mengingatkan kelompok penggemar sepak bola dalam beberapa klub—seburuk-buruknya
tim yang dikultuskan bertanding, mereka akan terus setia.
Di buku, kita mendapat keterangan: “Kesetiaan terhadap
sebuah merek yang dikultuskan juga menuntut biaya yang tidak sedikit. Tak pelak
lagi, tingkat pengorbanan antara satu orang pengikut dan pengikut yang lain
tidaklah sama dalam sebuah kelompok kultus. Tetapi dalam konteks konsumerisme,
bergabung dengan sebuah merek tertentu bisa jadi membutuhkan biaya yang sangat
mahal, dan itu bukan hanya soal uang.”
Konsumerisme mengingatkan puasa. Puasa menjadi
perhatian merek pasta gigi. Di Majalah Tempo
edisi 17 Mei 1986, kita menemukan iklan pasta gigi bermerek “Zendium”. Iklan
diuka dengan kalimat tanya yang sama sekali tidak perlu dijawab oleh para
pembaca. Kalimat tertulis: “Bagaimana cara kerja pasta gigi Zendium hingga
mampu menyegarkan mulut selama berpuasa..?”
Pihak pengiklan mengisahkan narasi terhadap pembaca akan
merek itu adalah klaim kepemilikan keluarga. Pengakuan dengan penggunaan frasa “Bebas
deterjen” nampaknya menjadi penanda penting bagaimana pengiklan bertaruh diri
menciptakan reasi dengan konsumen. Lain hal itu, frasa itu kemudian diperkuat
oleh kalimat berupa: “Ludah secara alami mampu melindungi seluruh isi rongga mulut.
Jenis makanan modern serta pemakaian deterjen dalam pasta gigi lain merusak
fungsi ludah.”
Meski iklan tak terlihat religiositas, namun tetap
saja pembahasaan dalam momentum puasa adalah ajakan yang melebihi segalanya.
Beribadah puasa itu jangan sampai mulutmu mengeluarkan bau! Bau mulut bisa jadi
menyebabkan masalah bagi teman-teman yang ada di sekitarmu. Maka gosoklah gigi
dengan pasta gigi yang memberi jaminan mengatasi bau mulut!
Di puasa tahun 2023, aku juga sadar memang bau mulut
itu perkara serius. Namun, rupanya yang aku rasakan bukan bayang-bayang ancaman
bau mulut saat berpuasa. Aku mengobrol dengan seorang kawan mendapat sebuah
kesimpulan: di puasa tahun ini, selain bau mulut ada masalah yang mesti
diketengahkan juga. Kata kawan itu, masalah tersebut berupa: bau ketidakadilan dan
bau penindasan yang konon terus terjadi di negeri ini. Aku malah ingat bahwa
semakin bertambah umur, imajinasi sikat gigi untuk mendapatkan gigi yang putih
dan mulus itu hanyalah sebuah mitos.[]
*Joko Priyono. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021), Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022), dan Bersandar pada Sains (2022).