Puasa, Kemacetan, dan Jalan

 

Macet itu perkara publik, sebagaimana macet di dalam pemikiran. Di jalan-jalan pada beberapa kota besar, itu peristiwa lazim keseharian. Macet yang terjadi mengisahkan kait kelindan antara bisnis, politik, ideologi, hingga agama. Di kota besar biasanya terjadi saat-saat tertentu, orang-orang pergi dan pulang menggunakan kendaraan dalam beraktivitas. Kerja, sekolah, urusan bisnis, berwisata, dan sebagainya.

Macet adalah tumpukan kesedihan, kekonyolan, kesemrawutan, kejenuhan, dan kemuntaban. Dulu, sastrawan, Seno Gumira Ajidarma mengisahkan perkara macet dalam esainya “Menjadi Tua di Jakarta” termuat di Majalah Djakarta edisi Maret 2005. Seno memang menyoal salah satu kota yang ada di Indonesia. Konon, memang begitu. Jakarta itu identik dengan kemacetan.

Seno berkisah: “Bagi saya alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiunan tidak seberapa.” Kutipan itu mengajak kita memikirkan ruang dan waktu.

Rupa-rupanya kisah salah satu dimensi ruang dan waktu dalam akumulasi jejaring kemacetan itu mendapat perhatian dunia bisnis. Itu tentunya sebuah peluang, apalagi saat puasa. Setidak-tidaknya perkara makan dan minum itu nomor wahid. Di Majalah Tempo edisi 15 April 1989, kita menemukan sebuah iklan bernuansa bulan Ramadan dengan salah satu penanda berupa gambar bulan dan bintang.

“Hampir setiap hari, saya selalu kemagriban di jalan. Maklum jalan sangat macet. Untung ada Circle K. Saya biasa buka puasa di sana.” Pernyataan di iklan itu menyoal ruang, penting ditelaah bagaimana puasa mengisahkan sebuah realitas yang mungkin bagi beberapa orang sulit menerimanya dengan lapang dada. Konon, puasa di bulan Ramadan itu kerap dikisahkan kebersamaan di dalam hubungan keluarga.

Di iklan-iklan, berbagai produk dipasarkan saat momentum Ramadan sering menampilkan keluarga dengan terdiri dari sosok bapak, ibu, dan anak. Kebersamaan menjadi pesan yang kerap didengungkan. Iklan di majalah tadi terlihat berbeda. Hanya seorang laki-laki berkacamata dan berkemeja. Busana yang melekat bagi pekerja kantor. Bisa jadi iklan itu ingin menunjukkan bahwa puasa itu juga kesendirian menanggung beban di sepanjang jalan kemacetan.

Makan dan minum mengingatkan buku garapan YB. Mangunwijaya, Ragawidya, Religiositas Hal-hal Sehari-hari (1986). Kita menemukan penjelasan: “Sering terdengar ucapan: makanan dengan kawan terasa lebih enak. Dan benarlah, dalam bentuk makanan bersama dengan kawan manusia lain sebenarnya ada sesuatu yang dicari, sesuatu yang berharga: bukan pertama-tama cari makanan enak, tetapi makanan yang menjadi pernyataan dan sumber persahabatan, kesayangan, cinta kasih. Makan sendirian biasanya tidak lebih dari pemenuhan biologis jasmani belaka, paling banter hanya memanja lidah.”

Bila diizinkan, pernyataan Romo Mangun itu sah digunakan untuk kita sejenak berbelas kasih atas nasib yang diterima laki-laki itu. Dia menjadi laki-laki yang tidak beruntung, dengan kenyataan “kemagriban” yang ia alami, kesempatan berbuka puasanya tak menemui perjumpaan di meja makan dengan pacar maupun keluarga. Atau memang laki-laki itu masih jomlo dengan fokus kariernya yang dipilih, ya? Entahlah.

Paling pasti, tindakan yang dilakukan dengan tangan kanan mengenggam roti dan tangan kiri membawa minuman bergelas styrofoam itu bukanlah memberi penanda sesungguhnya akan maksud dari iklan. Apa artinya? Dua benda itu hanyalah bagian kecil dari barang yang dijual di tempat pihak pengiklan, Waserba Circle K dengan slogan: belanja kapan saja, segala ada. Meskipun nama bisa digunakan untuk stempel dan merek, yang lebih pokok itu adalah waralaba dengan keberadaan di beberapa tempat.

Makanan dan minuman yang bisa dikonsumsi saat berbuka puasa masih harus melewati satu fase lain, yaitu belanja dulu atau ke tempatnya. Memang, sejak awal iklan ingin memberi pesan: puasa itu bukan hanya jalan menuju rida Tuhan, puasa juga jalan kesengsaraan meratapi kemacetan dan kesendirian. Namun, yang ingin disampaikan sebenarnya: di tengah kemacetan jalan, kamu sengsara menikmati puasa Ramadan, mampirlah ke tempat kami! Alih-alih mereka ingin marah, pasti pihak pengiklan akan bijak berkata: Eits, ingat! Ini bulan Ramadan, tidak boleh marah-marah. Ada-ada saja.[]


*Joko Priyono. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021), Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaandan Keilmuan (2022), dan Bersandar pada Sains (2022).

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak