Puasa itu parade orang-orang berpuisi. Pada zaman
berkembangnya media sosial, orang berpuasa mudah mengisahkan kesehariannya
dalam bait-bait keterangan yang terkadang terkemas seperti halnya puisi. Orang
mudah menceritakan seakan untuk laporan pada yang lain jumlah halaman Al-Qur’an
yang telah terbaca, aktivitas berbuka puasa, kegiatan sahur, seruan iktikaf, bahkan
tindakan yang dilalui saat menjalankan ibadah tarawih.
Kesalihan itu adalah sebuah hal yang perlu disambut
dengan berlomba-lomba. Banyak orang berebut itu dengan dasar tindakan salih
ketika puasa itu berlipat-lipat pahalanya. Konon, yang terjadi saat puasa itu
para setan dikerangkeng. Godaan untuk riya dan sombong itu lahir dari
perwatakan dalam manusia, natural atau dari sananya. Puasa dengan demikian
menjadi pertaruhan antara niat, ketulusan, dan hakikat pemaknaan.
Peristiwa-peristiwa penting menjadikan orang-orang
perlu memberikan perhatian terhadap bacaan. Bacaan di puasa tak sebatas
Al-Qur’an, namun juga buku. Mereka bertemu pada keterangan demi keterangan yang
menjelaskan hakikat, keutamaan, dan apa yang perlu dilakukan saat puasa. Puasa
tak sebatas menahan makan dan minum atau suka berkabar puitis akan sederet
daftar ibadah yang dilakukan secara up to
date.
Di
Majalah Suara Masjid edisi 1 Juni
1984, kita dapatkan secarik keterangan di bagian sampul belakang bagian dalam. Keterangan
itu memberi penjelasan akan puasa. Kita ingin pamrih meniti kalimat demi
kalimat terungkap. Ada 33 baris kalimat-kalimat tersusun di sana. Kita peduli
angka, 33 itu mengingatkan orang-orang berzikir seusai salat ketika menggunakan
sebuah alat yang kerap disebut “tasbih” untuk menghitung jumlah bacaan tasbih,
tahmid, takbir, dan tahlil.
Kalimat
dalam satu halaman penuh di majalah itu rupanya adalah penjelasan dari makna
Ramadan. Ramadan itu memiliki 11 nama, masing-masing terdiri dari: SYAHRULLAH,
SYAHRUL ALA-I, SYAHRUL QUR-AN, SYAHRUN NAJAH, SYAHRUL JUD, SYAHRUL MUWAJAH,
SYAHRUT TILAWAT, SYAHRUSH SHABRI, SYAHRUSH SHIYAM, SYAHRUR RAHMAH, dan SYAHRUL
’ID. Para pembaca tak perlu khawatir bila tidak mahir berbahasa Arab, sebab
tiap nama telah diberi makna akan bahasa Indonesia.
Kita
semua pasti bertanya-tanya: apa maksud nama-nama itu diinformasikan kepada para
pembaca? Nah, itu persoalannya. Ternyata, apabila kita iseng memberi tafsir
lebih lanjut, kita akan dapat menyibak makna secara denotasinya. Keterangan
penting tentunya berupa: “Dikutip dari buku “PEDOMAN PUASA” yang dihimpun oleh
Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.” Penjelasan itu menyiratkan makna, terlebih
kemudian disusul keterangan berikutnya berupa nama sebuah penerbit buku, Bulan
Bintang beserta alamatnya.
Bulan
Bintang itu tak sebatas menjadi simbol di bagian pucuk kubah masjid. Bulan Bintang
itu bukan pula hanya sebatas nama partai. Bulan Bintang itu penerbit buku yang
pernah mengisi lembaran sejarah peradaban dunia buku Indonesia. Garapan-garapan
bukunya berhubungan dengan berbagai tema, tak terkecuali adalah keislaman. Kita
kemudian mengenal Hasbi Ash-Shiddieqy, nama penting dalam bidang tafsir, hukum,
dan keislaman.
Di
Bulan Bintang, buku Pedoman Puasa
diterbitkan pertama kali pada 1963. Pada tahun 2023, kita bisa menyentuh buku
lain garapan Hasbi Ash-Shiddieqy yang berhubungan dengan puasa berjudul Problematika Bulan Ramadhan, diterbitkan
Menara Kudus 1972. Di buku itu, kita dapat mendapatkan keterangan dalam majalah
di atas. Artinya beberapa isi buku tersebutkan pertama terdapat di buku lain
yang juga berhubungan dengan tema puasa.
Kita
iseng membaca dalam bagian sepatah kata yang ditulis dalam buku Problematika Bulan Ramadhan: “Pembicaraan
mengenai Ramadlan, Qur-an dan Siyam adalah maudlu’-maudlu’ yang besar bidangnya
dan merupakan pembahasan-pembahasan yang tak kunjung habis.” Kalimat menegaskan
periode selang 9 tahun dari penyebutan judul dengan “Pedoman” menuju
“Problematika” itu sebuah tanda. Puasa itu perlu dipikirkan gairah tekstual. Dari
buku ke buku. Kita tak perlu bertanya mengapa pihak penerbit tidak menyantumkan
harga buku dan kalimat membius pembaca untuk membelinya. Keterangan dalam lembar
majalah itu begitu puitis.[]
*Joko Priyono. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021), Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022), dan Bersandar pada Sains (2022).