Kastanisasi Sirup

 

Ada sebuah hal yang tak lazim bagiku saat pada 9 Januari 2023 lalu mengajak seorang kawan untuk melayat. Kawan itu bernama Narendra Wicaksono, ia anak muda yang tak bernasib beruntung menyandang gelar sarjana. Di Universitas Diponegoro, dulu, ia pernah kuliah di jurusan peternakan. Jalan berliku yang ia hadapi pada akhirnya membuat ia harus menanggalkan urusan skripsi. Ia tak menyelesaikan.

Itu mengapa, kemudian ia harus berbanting tulang. Ia menempuh hidup di jalanan dalam kurun waktu satu tahun ini, menjadi pengemudi (driver) di salah satu ojek dalam jaringan (daring). Pada perjalanan melayat, aku diboncengkan dengan motor listriknya, setelah tadi aku ajak untuk menemani. Tepatnya ke tempat teman yang ibunya meninggal di hari itu, daerah Tohudan, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar.

Sore hari nan cerah kami berangkat dengan ingatan duka. Perjalanan membutuhkan sekitar sepuluh menit. Di hampir jarak menuju sampai, kami memutuskan untuk menunggu di sebuah Alfamart. Hal itu kami lakukan untuk menunggu kawan lain yang bernama Khoiri Habib Anwari, seorang putra kelahiran Boyolali bergelar sarjana peternakan yang saat ini memilih jalur usaha mebel—agak ada kemiripan dengan Pak Jokowi.

Narendra masuk ke minimarket untuk membeli dua jenis minuman. Setelah keluar, ia bukan hanya membawa minuman untukku, namun juga sebotol sirup dengan merek minimarket itu berasa jeruk. Mulanya aku menganggap hal itu lumrah, sebelum kemudian ia menyodorkan padaku sembari berucap, “Iki, Mas tulung mengko diwenehne ning keluargane.” (Ini, Mas tolong nanti diberikan kepada keluarga yang ditinggalkan). Saya kaget dan kemudian tertawa.

Aku tak membayangkan bagaimana nanti upaya untuk memberikan. Khoiri datang dan terkekeh-kekeh setelah kuceritakan peristiwa tadi. Sirup yang dibungkus dengan plastik itu kumasukkan ke dalam tas. Kami bertiga kemudian menuju ke rumah duka dan tak lama dari kedatangan ikut dalam prosesi pemakamannya. Aku yang diberikan mandat ikut khusyuk, sampai lupa sepulangnya barang itu tak terberikan.

Akhirnya, di indekos, kami putuskan sirup yang tadi dijadikan minuman dengan campuran es batu untuk menemani makan malam bersama di keesokan harinya. Peristiwa minum sirup yang gagal diberikan kepada teman yang ditakziahi itu malah membuat ingatan terhadap bulan Ramadan. Duh, tindakan demi tindakan seperti membuka tutup botol, mencampurkannya ke air dan es batu, dan menyuguhkannya lewat gelas itu seingatku dalam hidupku hanya terjadi di saat bulan Ramadan. Kami merasa mendahului banyak orang dalam merasakan nuansa Ramadan, kendati puasa di tahun 2023 ini masih kurang dua bulan lebih.

Aku kemudian sengaja membuka Majalah Kartini edisi No. 275 3-16 Juni 1985. Di edisi tersebut kutemukan sebuah iklan sirup Marjan. Semboyan yang nampak di iklan berupa: ‘Es Ramadhani’ nikmat sekali! Semboyan penting sebagai bagian hegemoni bahasa kepada para pembaca yang dibidik menjadi konsumen. Meski demikian, iklan tak hanya ditujukan untuk keperluan bulan Ramadan, namun juga bulan Syawal, dalam hal ini adalah idulfitri.

Terlihat foto dua botol merek bersanding dengan gelas dan kelapa muda berada di atas meja dengan taplak bermotif kotak-kotak. Motif sama sekali tentunya tidak ingin mengingatkan dengan gaya busana Pak Jokowi dalam beberapa waktu tertentu. Motif ingin mendekatkan keberadaan sirup sebagai barang yang merakyat. Kotak-kotak itu identik dengan sarung. Tanda itu ingin mengesahkan bahwa sirup Marjan juga milik orang bersarung.

Konon, memang demikian, Marjan itu sejarah panjang dalam dunia persirupan tanah air Indonesia. Gebrakan iklan-iklan sejak dalam media cetak hingga digital kerap membuat orang terpana. Konon, dulu sirup Marjan itu mengenal kasta. Di bahasa visual promosi beberapa masa, mereka menampilkan model maupun peristiwa dengan tampilan gaya Eropa. Mula-mula, minum Marjan itu mahal, mewah, dan berkelas.

Ia kemudian menjadi “penguasa” meskipun dengan lambat laun dalam beberapa babak pembacaan begitu jeli. Pengisahan gaya Eropa barangkali menjadi suatu hal yang syarat risiko, keberadannya hanya bisa dimiliki dan diraih oleh kelompok menengah ke atas. Sedangkan mereka dari kelompok menengah ke bawah bisa jadi terbawa arus pada tatapan ke produk dengan ketersiratan mahal dan tidak terjangkau.

Sah-sah saja bila kita semua menyimpulkan keberadaan Marjan itu dengan gebrakan iklan adalah penanda transformasi kesakralan terhadap kehadiran bulan Ramadan. Rupa-rupaya itu juga dicatat oleh kolumnis dan munsyi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Fariz Alniezar. Fariz mengisahkan lewat esai “Tutorial Memilih Ustaz”. Tulisan termaktub di bukunya, Homo Homini Humor (2019) itu memang tak mendalam mengobrolkan perkara sirup, namun ia tetap memberi ruang.

Pernyataannya berupa: “Selain iklan sirup Marjan dan odol Ash-shiam, apa ciri fundamental bahwa kita telah memasuki bulan Ramadan?”. Ia memulai tulisan dengan tanya. Tanya itu aku duga menyiratkan dan sekaligus menegaskan: apakah ada merek sirup yang dapat menandingi Marjan saat bulan Ramadan tiba yang dulu pernah punya slogan: Seni Menghidangkan Syrup? Kita tak perlu menjawab, sebab yang berhak menjawab adalah Narendra tadi dengan syarat tentu saja membawa beberapa botol sirup untuk diminum bersama teman-teman lain di indekos.[]


*Joko Priyono. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021), Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaandan Keilmuan (2022), dan Bersandar pada Sains (2022).

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak