Ibu dan Seni Makan


Jauh dari rumah konon menyisakan sebuah kerinduan terhadapnya. Namun, kita boleh mengajukan pertanyaan: apakah sebenarnya rumah itu? Bagi seseorang barangkali tepat bila ingatan rumah dari tempat perantauannya adalah orang tua, ibu dan bapak. Aku merantau sebenarnya hanya berjarak sekitar 55 KM. Namun, sekiranya sejak 2016, tahun keenam saat kuliah dalam setahun bisa dihitung jari pulang ke rumah.

Aku menyibukkan diri dalam berorganisasi. Sok sibuk. Oh, aku juga malu saat mau pulang sebab masa depan kuliah belum jelas, meski kemudian dapat lulus di usia empat belas semester. Di tempat asalku, aku termasuk orang yang beruntung dapat menempuh pendidikan tinggi. Jarang orang-orang setelah lulus sekolah menengah atas kemudian lanjut kuliah. Menyandang status mahasiswa, aku sering jadi omongan para tetangga. Kuliah itu jaminan kesuksesan dan prestise.

Mereka tak tahu saja nasib di perantauan, terlebih saat kuliah. Kesuksesan rupanya bukan berdasar tingginya sekolah. Toh, hidupku sejauh ini juga masih terlunta-lunta dan tak jelas. Aku tetap ingin menikmati. Lulus kuliah, aku menganggur selama satu tahun sebelum kemudian aku mendapatkan pekerjaan. Selama bekerja aku belum pernah pulang ke rumah. Di awal tahun 2023 lalu ibu menghubungi dengan bertanya apakah awal tahun akan pulang ke rumah.

Aku meniatkan diri untuk pulang, meski hanya satu sampai dua hari. Namun gagal. Rencana pulang batal. Aku kangen ibu. Lagu yang membersamai dalam kerinduan itu salah satunya adalah garapan Iksan Skuter, “Pulang” (2017). Liriknya di antaranya berupa: /Apakah kau pernah jauh dari rumah/ /Menemukan kegagalan dan air mata yang tak bisa lagi kau teteskan/ /Kusering merasakannya kawan ingin pulang dan merebahkan badan/ /Di kasur empuk dan diselimuti bapakku/ /Rindu sayur bayam masakan ibu/.

Terdapat lirik tentang ibu dan masakan, membuatku semakin kangen. Ibu kerap memasak sayur bayam, yang kemudian dihidangkan dengan nasi hangat, tempe goreng, dan sambal. Ibu dalam perjalanan hidupku sangat berperan dalam urusan makanan. Ia sangat terampil dalam mengolah dan menyajikan makanan untuk keluarga kecil di dalam rumah. Gerakan tubuh dengan penuh sederhana membawa pada percakapan demi percakapan panjang dan tak pernah selesai.

Aku kemudian membuka sebuah buku tipis bertebal 24 halaman dengan judul Makanlah Makanan Jang Sehat. Buku gubahan Nji S. Hadisutirta itu diterbitkan oleh W. Versluys N. V Jakarta. Meski terbit di Jakarta, menariknya buku itu berketerangan: Disjahkan oleh Inspeksi Pendidikan Masjarakat Sulawesi di Makassar. Bukti lebih lanjut, di bagian pengantar tertanggal 7 Februari 1953, aku membaca pengantar dari Inspektur Kepala Inspeksi Pendidikan Masjarakat Provinsi Sulawesi:

“Pengalaman kami selama kami turut serta menggerakkan kursus-kursus P.B.H dikalangan para Ibu dan Wanita pada umumnja, chusus didaerah-daerah jang terbelakang dan didesa-desa, - ternjatalah benar-benar bahasa pengetahuan (ketjakapan) praktis jang djustru ditulis ringkas dan sederhana ini, AMAT MENARIK MINAT DAN HASRAT MEREKA AKAN BELADJAR.”

Makanan menyambungkan wilayah demi wilayah. Aku belum pernah ketemu ibu-ibu berasal dari Sulawesi. Sulawesi, aku punya beberapa teman: dari Makassar, Parepare, Mamuju, Bulukumba, hingga Gowa. Aku pernah bertemu langsung dan mendapati kesempatan makan bersama. Aku mendapatkan kesan dengan pengalaman dan wawasan baru, yang sebelumnya tak pernah aku dapatkan.

Kembali ke buku, rupanya buku itu menjadi penanda penting akan keperhatian terhadap urusan makanan. Sosok ibu menjadi subjek yang diketengahkan. Aku mendapat keterangan yang mungkin saja menimbulkan debat bila diomongkan pada abad XXI dalam kata pengantar. Kalimat tertulis berupa: “Kewadjiban kaum ibu dapat dibagi mendjadi dua: I. Mengurus keperluan didalam rumah sebaik-baiknja. II. Mengerdjakan kemasjarakatan diluar rumah.”

Keterangan menegaskan, di rumah ibu berurusan dengan makanan untuk keluarga. Keterangan dalam halaman demi halaman tersaji petunjuk dan kiat-kiat berhubungan dengan makanan. Kaum ibu diajak berpikir mengenai sekian hal: pengetahuan makanan, jenis makanan, dan perkara gizi. Aku malah tertarik membaca penjelasan mengenai makan yang tidak bisa digeneralisir dalam situasi dan kondisi.

“Masakan itu rupa-rupa dan tidak semua dapat dimakan. Mitsjalnja: Makanan orang sakit tidak sama. Masakan untuk orang sakit harus menurut resep atau perintah dokter. Sakit tipes, tidak boleh makan masakan dengan lombok, atau minum sembarangan sadja. Makanannja jang halus, djika sudah diizinkan oleh dokter.” Aku teringat dengan masa lalu di rumah ketika sakit. Menemui ibu menjalankan nalurinya saat menghidangkan makanan. Ibu berperan sebagai seorang ahli gizi dan kesehatan.

Ketika aku membuka sebuah buku berjudul Menutup Medja dan Menghidangkan, aku juga yakin bahwa makan itu juga sebuah seni. Buku tersebut garapan Sukahati dan Dra Nj. Hadi Sadikin. Aku menemukan buku bekas itu setahun lalu, berketerangan cetakan kesembilan tahun 1972. Buku terbitan PT. Kinta itu layak disebut sebagai salah satu buku penting, laris, dan berpengaruh berurusan dengan makan.

Di buku memang tidak memaparkan resep masakan secara rinci. Resep hanya sekilas, untuk beberapa jenis makanan dan minuman. Buku lebih merujuk pada perkara tata cara mengatur penyajian makan dan minum dengan perangkat maupun alat yang tergunakan. Barangkali itu sepele, tapi kelihatan rumit bila kita memahami dengan saksama. Kita mendapat keterangan bagaimana menempatkan taplak meja, bunga, menyajikan minum, hingga memaknai makan—pagi, siang, dan malam.

Di bagian kata pengantar terlampirkan saat digunakan untuk cetakan kedelapan. Aku mendapat keterangan: “Seperti seringkali tertera dalam buku ini, bahwa untuk menutup medja dan menghidangkan tidak ada peraturan, tetapi dalam buku ini tertulis dasar2nja.” Buku ingin meletakkan ajakan untuk penghormatan dalam tata cara makan. Makan itu ada aturannya.

Buku itu berketerangan ditujukan kepada kaum guru di Pendidikan Kesedjahteraan Keluarga, sekolah kejuruan, dan kaum ibu. Dalam sekian halaman, buku itu menyajikan penjelasan dengan ilustrasi sosok ibu. Buku pasti menyiratkan: ibu itu sosok yang memiliki kekuatan seni dalam urusan makan. Ibu terhormat dalam mengurusi makanan di keluarga-keluarganya. Oh, aku makin rindu sayur bayam masakan ibu.[]


*Joko Priyono. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021), Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaandan Keilmuan (2022), dan Bersandar pada Sains (2022).

 

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak