Makanlah!

Di tempat tinggal berada di Kota Solo, dalam beberapa waktu terakhir, aku sering mendapati kesempatan makan malam bersama. Salah satunya dengan Narendra Wicaksono. Si kawan itu seorang pengemudi ojek dalam jaringan. Ia mengemudi motor listrik. Di indekos, ia sering mampir untuk singgah dan mengisi baterainya. Ia mudah berbagi, termasuk uang hasil pendapatannya untuk keperluan pembayaran uang listrik.

Ia tahu dalam situasi makan bersama dengan pembagian tugas yang lazim dilakukan. Aku bertugas memasak beras pada sebuah alat penanak nasi, ia bertugas membeli sayur dan lauk pauk. Kami tak begitu istimewa dalam perjumpaan makan itu. Terkesan seadanya. Akan tetapi, bila rezeki berlimpah, kami kadang nekat membeli lauk yang bergizi, misalkan adalah masakan hasil laut atau biasa disebut dengan Sea Food hingga masakan ayam.

Aku selalu ingat, makan itu penting! Bahkan, sampai-sampai generasi pascamodern hari ini memiliki ritual khusus atas makan dalam babak penyembahan pada berhala virtual. Orang-orang hari ini tidak sebatas diajak untuk merasakan dan menghayati makna makan. Namun, mereka juga gemar mengumbar foto saat makan melalui sekian jenis media sosial. Sayang, aku dan Narendra ogah melakukan itu.

Keengganan itu acapkali dilandasi satu perkara: bisa jadi orang yang suatu saat melihat foto-foto itu belum berkesempatan makan atau bahkan terhambat mendapatkannya. Bila kondisi itu terjadi, berarti apa yang dilakukan itu mengesankan tindakan jahat dan buruk. Ah, memang begitu, orang-orang mudah memamerkan kebahagiaan di media sosial. Ia tak mudah untuk menunjukkan rasa syukur. Oh, makan itu juga berhubungan dengan kesenjangan, politik, dan ekonomi. Catat!

Konon, makan itu yang terpenting menyehatkan. Sekarang, orang mudah berdebat mengenai jenis makanan apa yang sehat dan bahkan bergizi. Makan tak melulu berurusan dengan perut kenyang. Orang makan perlu memikirkan sehat yang tentunya berdampak pada berbagai aktivitas yang ia lakukan dalam kehidupannya. Perkembangan teknologi pengolahan makanan menyajikan sederet merek yang tersedia di warung-warung. Banyak orang bingung dalam memilihnya.

Makan itu keputusan pikiran. Selain menyangkut uang, makan berhubungan dengan ilmu dan pengetahuan. Oh, aku malah teringat dengan buku lusuh dan kusam berjudul Makanan Jang Sehat. Kurang ajar, buku itu terbit di tahun 1949 cetakan keduanya, lho, saat Indonesia masih bergejolak. Sementara cetakan pertamanya pada 1940, sebelum Indonesia merdeka. Buku itu garapan Ir. G. A. De Mol yang dibantu oleh C. DE Veer-Ahn, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh A. H. Muis. Buku tersebut diterbitkan J. B. Wolters.

Aku makin yakin dalam prahara gejolak politik, krisis ekonomi, maupun pertarungan ideologi, makan itu terus perlu. Bila tidak makan, orang kaliren dan bisa menemui matinya. Buku itu menekankan makna “sehat”. Sehat itu berkebalikan dari sakit. Tiap orang bisa menemui sakit. Bila sakit, orang mendapati masalah. Sehat yang hendak dimaksudkan oleh penulis didasarkan pada pola makan.

Keterangan itu seperti berikut: “Sjarat jang utama supaja tinggal sèhat, ialah mengatur makanan kita. Kebanjakan orang tidak ingat akan mengatur makanannja. Bagi merèka sudah tjukup bila perutnja selalu terisi. Djika makanan atau minuman jang dimakannja itu lezat, angan-anganja telah sampai.”

Penjelasan membawa permenungan pada saat aku mengimajinasikan makan. Aku pernah ada masanya merasakan makanan tidak enak dimulut. Rupanya gara-gara yang dimakan tempe, namun yang diimajinasikan adalah bebek goreng. Imajinasi makan membentuk rasa sadar, melatih hasrat, dan melakukan koordinasi anggota tubuh. Aku ingat, sejak kecil saat di rumah, belum pernah mendapatkan pengajaran makanan yang membawa istilah ilmu. Namun, aku tetap yakin ibu mengajari dengan tindakan menyajikan makanan.

Buku itu dengan keterangan ilmiah namun mudah diserap dan dicerna. Para pembaca diajak berpikiran mengenai gizi di dalam makanan. Mulai zat telur, lemak, zat hidrat arang, garam, hingga vitamin. Pembabakan keterangan buku kemudian menghamparkan pada pertautan manusia dengan lingkungan sekitar. Para pembaca diajak menemukan kandungan demi kandungan itu lewat pekarangan, kebun, dan sawah. Dengan kata lain, mengenal jenis tanaman yang dapat dikonsumsi.

“Dalam kenjataannja akan kita lihat djua, bahwa makanan jang berchasiat itu sekali-kali tidak usah besar belandjanja. Chasiatnja bukan ditetapkan olèh harga bahan, melainkan terutama olèh pilihan jang tepat dari apa jang kita makan itu. Tapi meskipun pilihannja baik, tidak selamanja faèdah makanan itu segenapnja diterima olèh tubuh kita, sebab bila memasaknja salah, banyak zat2 jang berharga terbuang pertjuma,” seloroh penulis di bagian “Penutup Kata”.

Pernyataan penting, menyiratkan ajakan untuk menelusur kebutuhan dengan memanfaatkan hasil tanaman di sekitar. Para pembaca diajak berpikiran mengenai pekarangan, sawah, dan kebun—hal yang tak lazim ditemukan saat hidup di kota. Selain itu, penulis juga menekankan pada praktik dalam mengelola makanan. Berhubungan ilmu dan pengetahuan.

Aku terlambat sadar atas perubahan yang terjadi. Aku masih abai dalam perkara makanan. Pemaknaanku terhadap makan baru sebatas pada tahapan kekenyangan. Oh, aku juga lupa, aku belum bisa masak. Aku hanya baru bisa masak mi instan, kemampuan yang hampir dimiliki oleh miliaran umat manusia pada abad XXI. Keterlamabatan itu justru malah mengingatkanku, bahwa dua hari ini aku tak berkesempatan makan bersama lagi sama Narendra. Konon, ia mulai 13 Februari 2023 ini telah tinggal di sebuah indekos.[]


*Joko Priyono. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021), Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaandan Keilmuan (2022), dan Bersandar pada Sains (2022).

 

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak