Ibu dan Mesin Cuci

 

Sepanjang perjalanan hidup sejak kecil, aku memiliki beberapa ingatan di rumah, bahwa urusan cuci-mencuci, ibu lebih banyak melakukannya ketimbang bapak. Di pagi hari, bapak tak biasa punya waktu banyak di rumah. Ia kerap menyempatkan langsung pergi ke sawah ataupun berangkat kerja serabutan. Sementara itu, ibu banyak waktu di dapur. Menjalankan tugas rutin sebagaimana mestinya sebelum pekerjaan lain di luar rumah.

Masa-masa itu, ibu kemudian terbiasa dalam membagi waktu. Ia juga mengestimasikan waktu untuk mencuci, baik pakaian, piring, dan lainnya. Aku masing ingat saat masih dimanja—pakaian kotor hanya diperlakukan mengumpulkan ke ember. Lantas, nanti ibu yang kemudian mencuci. Ibu melakukan gerakan tubuh sedemikian rupa—mencuci, membilas, hingga menjemur.

Pada sebuah waktu, aku mengingat kembali bagaimana belajar pertama kalinya mencuci pakaian dengan sendiri. Kalau tak salah, semenjak duduk di bangku sekolah dasar kelas enam. Ingatanku dalam melakukan aktivitas itu sebagaimana pada lazimnya. Merendam terlebih dahulu kemudian mencuci satu per satu dengan “sabun colek”, dan kemudian menggilasnya pada sebuah batu yang cukup rata.

Pada masa itu, kami mengenal mesin cuci sebatas dari iklan di televisi. Kami mencuci pada sebuah batu yang biasa digunakan tiap harinya. Terkadang menggunakan gilasan pakaian yang terbuat dari kayu dengan bentuk peregi panjang bergerigi sudah mewah. Mesin cuci, pada masa itu merupakan barang yang begitu mewah. Di tempat kami tinggal, hanya segelintir orang yang memiliki. Mereka yang termasuk kelompok menengah ke atas.

Ibu kemudian tak sebatas melihat mesin cuci dari tayangan iklan di televisi. Kendati hingga tahun 2023, di rumah kami belum atau bahkan tidak sanggup membeli alat itu, ada masa tertentu ibu mengalami peristiwa berhadapan, berinteraksi, dan mengoperasikan alat tersebut. Khususnya adalah saat menjalankan kerja sebagai pembantu rumah tangga. Ibu hanya lulusan SD. Masa mudanya pernah menjadi buruh di beberapa pabrik, sebelum kemudian menghabiskan waktunya untuk bertani dan menjadi pembantu rumah tangga panggilan.

Ibu menjalankan pekerjaan itu dari rumah ke rumah. Sekiranya dalam satu minggu, tiga kali ibu mengerjakan tugas sebagai pembantu rumah tangga. Dalam beberapa situasi setelah selesai kerja, ibu pulang dengan membawa buah tangan—makanan dan minuman pemberian dari pemilik rumah. Saat malam hari, obrolan bersamaku dan bapak, kadang ia bercerita akan aktivitas yang dilakukan ketika itu. Ia agak jumawa dengan sentuhan tangannya terhadap mesin cuci.

Aku kemudian teringat dengan sebuah buku berjudul Mesin Tjutji Pakaian Buatan Tangan. Buku itu tidak terdapat keterangan tahun terbit, hanya ada penjelasan diterbitkan oleh: Bagian Pendidikan Wanita Departemen Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan. Kita menduga buku itu terbit pada masa Orde Lama. Penerbitan buku di bawah nama lembaga tentunya menyiratkan buku itu penting.

Kita membaca penjelasan di bagian pengantar: “Masa sekarang masih banjak bagian terbesar dari wanita sekeliling dunia masih mentjutji badju keluarganja setjara primitif. Setiap hari mereka pergi kesungai terdekat, jang biasanja keruh dan mengandung kotoran, kemudian mereka berdjam-djam membanting tulang mentjutjinya setjara memukul dan menggosok-gosok dengan tangan. Hasilnjapun djauh dari memuaskan. Pakaiannja lekas rusak karena digilas-gilas dan tidak seperti seharusnja.”

Oh, buku terlihat mengoreksi cara orang-orang dalam mencuci pakaian. Cara yang sampai sejauh ini masih aku lakukan ketika di tempat perantauan. Buku kemudian mengisahkan cara membuat alat mesin cuci sedemikian rupa untuk efektivitas di dalam menjalankan pekerjaan. Kemudian di tambah pula sederet langkah dalam mengoperasikannya. Orang-orang diajak selangkah memikirkan ilmu dan pengetahuan.

Waktu demi waktu berlalu, ilmu dan pengetahuan mengisahkan temuan demi temuan, tak terkecuali mesin cuci. Mesin cuci yang otomatis, dengan pilihan tombol dalam mengerjakan aktivitas mencuci, membilas, dan menjemur pakaian. Oh, sejak 2014 aku merantau ke Kota Solo, tak jauh dari tempat asalku, Boyolali. Namun, aku jarang pulang ke rumah, kadang banyak kangennya dengan suasana rumah.

Di Kota Solo, aku mendapat pengisahan babak baru berhubungan dengan urusan mencuci pakaian. Di sini orang-orang banyak memilih membayar tukang laundry dalam membersihkan pakaian. Mungkin hanya sedikit yang mencuci sendiri. Itupun sudah ditopang dengan kehadiran mesin cuci di rumah-rumah. Di Kota, tiap rumah memiliki mesin cuci sudah lumrah. Di tempat asalku, mesin cuci masih memiliki kasta.

Maka kemudian lumrah, dalam pergerakan bisnis, mesin cuci itu penanda. Di Majalah Tempo edisi 23 Februari 1991 kita menemukan sebuah iklan mesin cuci buatan Panasonic dengan judul mewah: Kehidupan moderen dimulai dari kemudahan”. Keterangan kemudian terbaca: “Pengalaman ibu-ibu rumah tangga moderen membuktikan bahwa pemakaian Mesin Cuci, jauh lebih efisien dalam waktu, biaya, kemudahan dan kualitas cucian, dibanding mencuci secara konvensional. Sekarang kami himbau ibu-ibu mencoba menggunakan Mesin Cuci National terbaru.”

 Pengisahan lain kita temukan di Majalah Tempo edisi 4 November 2007. Di rubrik elektronik, kita membaca tulisan “Mencuci ala Laundry”. Seorang ibu tampil di sana dengan mengisahkan kegiatan mencuci pakaian dengan mesin. Di sampingnya, seorang anak terlihat sedang bermain. Di tulisan garapan Rifwan Hendri itu menjelaskan babak keberadaan merek mesin cuci dan bagaimana perkembangannya di kehidupan.

Keterangan tertulis: “Ya, mesin cuci telah menjadi salah satu kebutuhan rumah tangga modern. Keluarga, terutama di kota besar yang super sibuk seperti di Jakarta, membutuhkan perangkat mesin cuci yang lebih pintar, bisa bekerja dengan cepat dan efisien. Puluhan stel pakaian, sprei, bed cover, gorden atau boneka mainan anak-anak diharapkan tuntas dicuci dalam waktu singkat.

Mesin cuci telah mengisahkan orang-orang memaknai waktu. Konon, mereka yang di perkotaan itu kerap menemui ketergesaan. Mereka memandang sesuatu hal perlu diselesaikan dengan cepat. Mungkin berbeda dengan apa yang dirasakan Ibu di sebuah daerah pedesaan di Boyolali. Ia pernah bilang bahwa 23 Agustus 2022 sudah tidak menjadi pembantu rumah tangga, sebab orang yang biasa mempekerjakan itu telah pensiun dari pegawai negeri—yang menjadikan pekerjaan bisa dilakukan sendiri. Ibu pasti sudah tidak punya cerita baru lagi mengenai mesin cuci. Kami masih primitif dalam urusan mencuci pakaian.[]


*Joko Priyono. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021), Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022), dan Bersandar pada Sains (2022).

 

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak