Masa
lalu, buku mengisahkan banyak hal. Mulai dari manusia, benda, hewan, tumbuhan,
sifat, karakter, dan lain sebagainya. Bagi para peminat buku-buku bekas, tentu
saja mengisahkan masa lalu adalah kemewahan tersendiri. Pada lembar demi lembar
buku, mereka berjalan setapak demi setapak untuk berkunjung dan bersinggah
sementara. Kadang kejutan muncul. Membuat perasaan berbeda.
Dalam
urusan keluarga, kita tak bisa mengelak akan catatan masa lalu buku. Bagaimana
buku mengisahkan para anggota keluarga, baik itu ayah, ibu, dan anak. Orang
yang hidup pada zaman ini mungkin bisa saja menolak dan mendebat tentang
hal-hal yang telah dikisahkan. Perbedaan prinsip tentu saja jadi alasan
mendasar. Akan tetapi buku yang telah muncul tak menginginkan diubah.
Buku
butuh ketenangan menghadapi masa tuanya. Ia bisa saja berdalih kalau disalahkan
dengan pengakuan masa beredarnya banyak orang tak memberi perhatian. Nasib itu
mungkin salah satunya menimpa sebuah buku berjudul Dirumah dan Disekolah terbitan Penerbit
Chailan Sjamsoe pada 1954. Di halaman
setelah sampul tertulis nama pengarang: Si Guru dengan keterangan: Buku batjaan
jang perlu sekali dipeladjari untuk anak-anak.
Buku
dengan sampul gambar empat anak laki-laki yang sedang menenteng sebuah buku itu
punya gengsi, terlebih punya stempel: Disjahkan PPPK. Artinya buku menjadi
rujukan bagi sekolah pada masanya. Di dalamnya mengisahkan aktivitas keluarga
yang terdiri dari seorang ayah, ibu, dan tiga anak. Keterangan di dalam buku
dilengkapi gambar sebagai pendekatan pada realitas.
Ibu
diposisikan sebagai sosok sentral utama dalam mengurusi rumah. Sementara bapak
adalah pekerja kantor. Bukti itu misalnya terdapat di halaman 8 dalam tulisan
berjudul Ibu dan Bapak dengan
keterangan: “Bapak Baru Pulang. Kerdja Ibu telah selesai. Ibu membukakan pintu.
Dimuka pintu ibu menunggu.” Penjelasan kemudian membawa pikiran ingin lebih
mengerti seluk beluk peranan ibu dalam rumah.
Di
beberapa keterangan, kita menjumpai sosok ibu melekat pada beberapa aktivitas seperti
membuat kopi, memandikan dan menidurkan anak, membayar uang sekolah,
berbelanja, hingga berurusan dengan pintu. Kita menduga ibulah yang memiliki
rumah itu. Di tulisan berjudul Malam hari
menunjukkan peristiwa pengetahuan. Kita mendapat penjelasan: “Ibu dan Bapak
bersenang diri. Bapak membatja surat kabar. Ibu melihat buku. Bibik dan paman
datang”.
Konon,
sosok ibu itu memang lebih banyak pekerjaannya ketimbang bapak. Cerita demi
cerita menempatkan ibu berurusan dengan berbagai dimensi ruang. Baik urusan
rumah, pendidikan keluarga, pangan, hingga kesehatan. Perubahan zaman atas
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengisahkan babak demi babak yang
dilakukan oleh sosok ibu. Tak terkecuali peranan ibu dalam mengerjakan
aktivitas di dalam rumah.
Di
Majalah Intisari edisi No. 94 Tahun
1971, kita menemukan sebuah tulisan berjudul Ibu Rumah Tangga Tidak Bekerja Setjara Efisien. Tulisan terbaca
bernada berani dan penuh evaluasi akan keberadaan sosok ibu. Tulisan garapan
Gabrielle Hoffman mengisahkan hasil riset yang dilakukan oleh REFA. Studi kasus
dilaksanakan dengan melakukan wawancara terhadap kaum ibu di Damrstadt, Jerman
Barat.
Hasilnya
banyak pekerjaan di rumah yang tak dilakukan secara efisien dan terlalu makan
banyak waktu. Penelitian juga mengetengahkan kaum ibu terlambat sadar.
Penjelasan tertulis: “Rumah tangga sebetulnja tempat kerdja paling luas
didunia, tetapi paling sukar diatur karena terdiri banjak “perusahaan satu
orang”. Setiap ibu rumah tangga merupakan “madjikan dan buruhnja” sendiri. Dan
menurut REFA mereka paling sukar diinsafkan untuk melakukan tugasnja lebih
efisien. Padahal terus melakukan pekerdjaan sama sadja, juga membuat seorang
ibu mendjadi bosan.”
Keterangan
membawa pada peneluruan kisah demi kisah perkembangan ibu dan rumah. Kita
tergerak dengan pemosisian teknologi maju yang kemudian berkembang dan menjalar
pada urusan pekerjaan rumah. Alat-alat sebagai produk ilmu pengetahuan kemudian
hadir dan mewarnai pergulatan di dalam rumah. Keberadaannya disokong dengan
mesin yang canggih dan cerdas. Meski tetap ada ketidakseimbangan, tentu produk
yang dijual tak murah itu menjadibagian rumah khususnya mereka kalangan
menengah ke atas.
Kita
menemukan sebuah tulisan garapan E. Sudaryanto di Majalah Mekanik Elektronika Edisi No. 6, September 1971. Tulisan berjudul Robot Sebagai Pembantu Rumah Tangga berkisah
mesin-mesin buatan manusia hasil riset yang diprediksi mengatasi daftar
pekerjaan yang ada di dalam rumah. Tulisan mengajak optimis bahwa sederet
pekerjaan yang kerap kali menyita waktu dapat diatasi dengan keberadaan robot
itu.
Penjelasan
ditulis: “Robot semacam ini dilengkapi dengan memory untuk mengikuti
intruksi-instruksi yang diperlukan dan mempunyai kemampuan dalam batas-batas
tertentu untuk melakukan tugas pada posisi-posisi tertentu untuk obyek-obyek
tertentu pula. Hal di atas dimungkinkan dengan kerja sama dengan mesin-mesin
khusus lainnya misalnya vaccum cleaner (alat pembersih permadani/babut), mesin
cuci pakaian,mesin cuci piring, dsb.”
Pernyataan
itu seakan memberi penegasan bahwa pada masanya sejarah ibu dengan rumah akan
berubah dengan hadirnya teknologi. Zaman, meski selalu menghadirkan tantangan,
namun memberikan optimisme. Ibu dan rumah membawa pada wacana pengembangan
teknologi yang terlihat mewah dan megah. Meski demikian tetap saja perkara uang
yang jadi petauhan. Keterangan itu tersampaikan juga dalam tulisan itu:
“Diperkirakan kalau diadakan riset yang effective, robot semacam ini dapat
dibuat pada sekitar tahun 1984, dan yang akan memakan biaya + 1 juta U.S. dollar.”[]
*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan.