Wanita (di) Pekarangan

 

Buku disusun tak bisa dilepaskan dengan maksud dan tujuan di baliknya. Dengan demikian dalam jangka panjang buku tak sebatas berharap dibaca semata. Namun, melainkan dari itu rupanya makna tersirat selalu muncul dalam setiap keberadaannya menjadi tugas para pembaca yang tabah. Kita sedang menghadap sebuah buku berjudulkan Wanita dan Pekarangan garapan Moh. Abdulrachman. Buku tergunakan sebagai bahan ajar di sekolah pada masanya.

Keterangan kita dapat berupa: Disusun untuk Sekolah-sekolah Landjutan Tingkat Pertama dan Sekolah2 Latihan Guru. Buku itu diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan, Pengadjaran, dan Kebudajaan Republik Indonesia pada tahun 1952. Sekilas membaca pada judul, tak sedikit dari kita menebak, menduga, bahkan mempertanyakan akan keberadaan buku tersebut.


Kita boleh menduga: jangan-jangan buku itu memuat hegemoni bahwa wanita itu berurusan dengan pekerjaan-pekerjaan domestik. Kalau dituruti, sederet dugaan dan tebakan akan tersampaikan. Akan tetapi, kita tak ingin sebatas itu. Kita ingin menyimak secara utuh apa yang terkata pada awal tadi akan maksud dan tujuan. Di bagian pndahuluan penulis menyusun empat paragraf. Dua paragraf terkutip:

“Bertempat tinggal di Kota, terutama Kota2-besar seperti: Djakarta-Raja, Surabaja, Bandung, Semarang, d.l.l., untuk sebagian besar dari kaum Wanita jang berumah tangga setelah petjah perang dunia ke II, pada umumnja tidak memuaskan.

Bukan sadja soal perumahan sangat sukar, akan tetapi karena bahan2 terutama keperluan sehari-hari meningkat harganja, sehingga bagaimanapun djuga pandainja Njonja-rumah, angaran belandja pada tiap2 bulan seringkali tak dapat ditjotjoki.”

Kita terus tergerak sembari gumun: urusan bercocok tanam menjalar panjang pada situasi sosial, politik, kebudayaan, hingga ekonomi. Dengan demikian pekarangan bisa dikatakan sebagai sumber dari perubahan maupun revolusi. Meski kemudian kita akan masih memberikan sederet tanya berurusan hak antara wanita dan pria dalam pekerjaan menanam dan mengurus pekarangan.

Di Majalah Suara ‘Aisjijah edisi Desember 1951, sebuah tulisan bersambung tersampaikan dengan judul Wanita sebagai Djuru Didik. Tulisan membicarakan keberadaan wanita, khususnya di dalam rumah tangga meski tidak menyinggung urusan pekarangan. Ibu diharapkan perlu menjadi guru bagi anak-anaknya dengan tindakan dan perbuatan yang patut ditiru. Penjelasan tersampaikan:

“Dalam susunan rumah tangga, ibu harus tjakap. Hingga berdirilah suatu rumah tangga jg kokoh kuat aman lagi damai. Ibu harus mempunjai actie (perbawa) jg harus di segala gerak dan kata ibu selalu menjadi pandangan anak2, dg biasa, maka djika salah ibu dalam kebiasaannja, akan salah pula pandangan anak terhadap ibunja, dan achirnya sukarlah untuk membawa perbaikan kepada anak2nja.”

Buku Moh. Abdulrachman tak sabar meminta ditafsirkan. Buku terbaca dan memberi simpulan bahwa keberadaannya sebagai panduan maupun petunjuk untuk mengerti dan memahami seluk-beluk dalam mengurusi pekarangan maupun berkebun. Hal menarik dari buku itu adalah narasi ilmiah yang berisi raian maupun penjelasan dengan dapat mudah dipahami dan runtut. Revolusi butuh ilmiah, memang.

Peristiwa terceritakan di dalamnya misalkan berhubungan dengan iklim, istilah yang kita mengira terlalu ilmiah. Abdulrachman menulis: “Jang dimaksudkan dengan iklim itu, jang mengenai hudjan, angin, udara dan sinar mata-hari pada suatu saat jang tertentu. Keadaan itu pada tiap2 tempat dan pada tiap2 musim tidak selalu terbaca.”

Halaman demi halaman bersambung sebagai kaitan antara satu bagian dengan lainnya. Sesekali, juga dilengkapi dengan gambar maupun ilustrasi yang kiranya untuk lebih memudahkan dalam mendapatkan pemahaman akan peristiwa ilmu pengetahuan. Gambar berhubungan dengan jenis alat untuk bercocok tanam, sekian nama jenis tumbuhan baik sayuran maupun bunga, jenis hama yang meski diantisipasi, hingga potret peristiwa terdiri para wanita yang sedang berkebun.

Penulis buku yang notabene ahli pertanian tak sebatas pamrih akan penguraian ilmu pengetahuan terkait bercocok tanam beserta dengan pranatanya. Apalagi buku dimaksudkan sebagai bagian dalam pendidikan. Ia memberikan penegasan bahwa keberadaan lembaga yang berhubungan dengan perkebunan hadir dalam upaya pencerdasan masyarakat Indonesia agar bisa lebih berkembang dalam berkebun. Penegasan itu terbaca di bagian penutup:

“Selain mempeladjari beberapa petundjuk dari buku-buku, ada baik pula untuk berhubungan dengan Djawatan Pertanian Rakjat atau Kantor Perkebunan Rakjat Pasar Minggu, Jakarta, agar soal-soal jang tak atau belum dimengerti betul dapat dibitjarakan bersama-sama. Dengan tjara demikian, kemungkinan untuk mendapat hasil jang lebih memuaskan ada lebih besar.”

Bahkan, penulis buku juga membuat ajakan bahwa kerja-kerja terkait pekarangan perlu dengan penggalakkan gerakan kolektif. Penjelasan tersampaikan: “Sebagai penutup perlu kiranja, bahwa pada permulaan tahun 1951 di Djakarta atas inisiatip dari beberapa penduduk bangsa Belanda telah didirikan suatu perkumpulan kebun (pekarangan rumah) jang diberi nama “Tuinclub”.”

Paragraf yang membuat kita tidak bisa memandang sebelah mata urusan bercocok tanam dan mengurus pekarangan. Kita malah tergerak membuka sebuah buku tipis telah lusuh. Buku berisi pidato Sukarno berjudul Wanita Indonesia Selalu Ikut Bergerak dalam Barisan Revolusioner disampaikan pada Kongres Wanita Indonesia di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta pada 24 Djuli 1964. Ia berkata: Revolusi Indonesia adalah revolusi wanita.[]

 

*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan.


Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak